Sabtu, 27 Januari 2018

KESEMPATAN DALAM KESEMPITAN  (1999)

Satu hari aku dipanggil Kasal. Beliau memberitahuku bahwa beliau sudah menghadap Pangab, untuk melaporkan bahwa akan mempromosikan aku menjadi Danjen Akabri, sebuah jabatan untuk Pati bintang tiga (Letjen). Menurut beliau Pangab sudah menyetujui. Mendengar apa yang beliau sampaikan hatiku sempat berbunga-bunga, namun tidak berkomentar banyak kecuali menyampaikan ucapan terima kasih atas perhatian beliau terhadapku. Hal itu disebabkan karena beberapa bulan sebelumnya aku juga pernah beliau beritau bahwa aku akan diusulkan untuk bisa dipromosikan pada jabatan Irjen TNI, tetapi gagal karena Kasau minta agar beliau mendukung calon yang diusulkan TNI-AU, dan beliau tidak bisa menolak, meskipun sebetulnya aku lebih senior dari calon yang diajukan Kasau. Mungkin karena sifat seperti umumnya orang Jawa yang penuh dengan ewuh-pakewuh. Oleh karena itu aku masih berfikir apakah mungkin sekarang giliranku? Terus terang hati kecilku masih ragu...
Pada pelaksanaan sidang Wanjakti Pati TNI ternyata beliau beserta Pangab dan Kepala Staf Angkatan lainnya tidak bisa hadir karena selaku anggota Fraksi ABRI mereka masih terlibat di dalam Badan Pekerja (BP) MPR, yang pada waktu itu sedang membahas Rancangan Ketetapan (Rantap) dan Rancangan Keputusan (Rantus) MPR yang diajukan dalam Sidang Istimewa MPR tahun 1998. Oleh karena itu Sidang Wanjakti Pati TNI kemudian dipimpin oleh Kasum mewakili Panglima ABRI dan para Aspers Angkatan mewakili Kas Angkatan, termasuk Kasal yang diwakili oleh Aspers Kasal.
Kira-kira tiga hari kemudian aku mendapat undangan untuk meninjau sarana latihan ABRI di Cilodong termasuk peresmian Lapangan Tembaknya. Pada waktu itu aku bertemu dengan Aspers Kasum ABRI, alumni AMN ’68, rekanku satu angkatan. Beliau memanggilku, merangkulku kemudian mengatakan: “Dasar memang bukan rejekimu Dar!”.
Aku balik bertanya “Ada apa ini?”.
“Kemarin kan baru sidang Wanjakti Pati TNI” katanya, “Pada waktu membahas calon untuk jabatan Danjen Akabri, Kasal kan nggak ada karena lagi ikut sidang MPR. Ternyata namamu juga ikut nggak ada.” lanjut beliau sambil tertawa. “Yang muncul nama Aspers yang waktu itu hadir mewakili Kasal”.
“Aku kan nggak ngerti masalahnya” lanjut beliau. “Nah kemarin pada waktu aku menyodorkan hasil rapat untuk ditandatangani Pangab, dia sempat nanya aku, kenapa Danjen Akabri bukan Sudarsono Kasdi? Dia bilang katanya Kasal sudah ngomong sama dia, mau mempromosikan kamu, dan dia juga udah bilang setuju”. Beliau sering menyebut Pangab dengan ‘dia’, karena kebetulan rekanku ini satu angkatan AMN ’68 dengan Pangab.
‘Terus kamu bilang apa?” aku menimpali bertanya.
“Ya aku jawab itulah keputusan sidangnya! Sebetulnya sih dia sempat nyuruh aku nelpon Kasal, tapi ditunggu hampir satu jam nggak bisa nyambung. Mungkin karena lagi sibuk sidang lanjutan di MPR jadi hp-nya dimatiin”.
“Lantas?” tanyaku karena ingin segera tahu akhir ceritanya.
“Waktunya kan mendesak, karena kemarin sudah harus maju ke Presiden.
Akhirnya ya... bim-salabim ..... sreeet.. Pangab teken... !! Wis, pancen nasibmu elek kok Dar, he he he...” jawab beliau sekaligus mengakhiri ceritanya sambil terkekeh....
Mendengar ceritanya aku sempat tertegun. ..!
Ohoooo..!!, rupanya “mengambil kesempatan dalam kesempitan” bukan sekedar joke di warung kopi, tetapi ternyata sebuah taktik konyol yang bagi sementara orang betul-betul dipraktekkan untuk mencapai tujuan. Dan pada kenyataannya ampuh juga...!!!
Ya nggak apa-apa, wong aku juga nggak pernah minta ... cuma kok ya ada .... perwira tinggi yang demikian rendah moralnya .. ..
ALRI lagee, ... he he he ...!

***
(Copas dari buku "Sosok Seorang MARINIR BANYUMAS", Otobiografi Mayjen TNI (Mar) Sudarsono Kasdi)

NYARIS  (1997)

Selama aku menjabat sebagai Gub AAL, aku merasakan tugas begitu mudah aku laksanakan. Hal itu disebabkan selain karena aku merasa menjiwai, dan pimpinan TNI-AL (Kasal) waktu itu sangat memahami permasalahan yang kami hadapi, sehingga semua saran dan usulan hampir semuanya disetujui dan didukung. Namun beliau juga
mempunyai sifat yang over reaktif terhadap sesuatu yang menyinggung perasaannya, sebelum betul-betul memahami persoalan yang sebenarnya.
Ada satu kejadian yang nyaris membuat aku khilaf.

Bermula dari kunjungan Kasal dalam rangka Hari Pendidikan TNI-AL tahun 1997 di Kodikal, Surabaya. Pada kesempatan kunjungan itu, isteri Kasal yang juga selaku Ibu Taruna, diacarakan untuk makan malam bersama taruna. Pada saat menunggu dimulainya upacara, Kasal menginformasikan kepadaku bahwa besok pagi, selesai dari kunjungan ke Gresik beliau akan langsung menuju ke AAL karena Sidang Wanpatjab Pati yang rencananya akan dilaksanakan di Candrasa Armatim, dialihkan ke AAL. Rencananya selesai sidang beliau akan meninjau
peragaan paket kegiatan Kunjungan Wisata ke AAL, yang beberapa hari sebelumnya sudah ditinjau oleh Gubernur Jatim, Basofi Sudirman, Walikota Surabaya Kol Sunarto, dan seluruh Biro Wisata yang ada di Jawa Timur, dibawah kendali Ka Biro Wisata (?) Kol Laut Rio Judojanto. Pada waktu itu aku memang sedang merintis untuk mencoba menjadikan AAL sebagai salah satu sasaran kunjungan wisata di Surabaya.

Selesai upacara di Kodikal Dan Lantamal III menemuiku dengan maksud minta dibantu dua pengemudi, untuk mengemudikan bus yang akan melayani Kasal dan rombongan pada saat peninjauan di AAL. Aku langsung menyanggupi. Kemudian aku perintahkan Dan Denma untuk menyiapkan pengemudi bus yang sudah digeladi untuk acara paket
kunjungan wisata.
Kurang lebih pukul 17.00 WIB Dan Denma melaporkan bahwa 2 bus sudah datang di AAL. Ternyata itu adalah bus brand-new yang interiornya baru saja selesai di up-grade.

Sekitar pukul 18.30 ibu taruna tiba untuk acara makan malam bersama taruna. Aku menerima ibu di ruang audio visual. Sambil menunggu waktu dan kesiapan taruna di ruang makan, ibu taruna menyaksikan beberapa peragaan multi media.
Sekitar pukul 18.50 pada saat rombongan akan berangkat ke ruang makan, aku melihat 2 bus tadi masih berada di tempat parkir di samping gedung Gajah Mada, tidak jauh dari ruang audio visual. Disitu juga ada Dan Denma dan pengemudi yang masih mengadakan pengecekan.
Tanpa pikir panjang aku mempersilahkan ibu-ibu untuk naik dan memerintahkan pengemudi untuk mengantar beliau dan rombongan ke ruang makan. Pertimbanganku adalah selain jaraknya yang cukup jauh, juga suasananya yang sudah cukup gelap yang memungkinkan ibu-ibu akan tersandung batu paving.
Pada saat acara sambutan Ibu Taruna, ADC memberitahuku bahwa Kasal memerintahkan agar bus dikembalikan ke bengkel. Meski agak sedikit bingung tapi aku jawab, “ya”.
Besok paginya, masih pagi sekali, Dan Lantamal menilponku, menginformasikan bahwa Kasal marah besar karena aku memerintahkan bengkel untuk mengirimkan bus ke AAL. Beliau juga kecewa karena bus tersebut digunakan Ibu Taruna dan rombongan, padahal rencananya bus tadi baru akan ditampilkan pada saat beliau dan rombongan tiba di AAL hari ini.
Mendengar informasi dan penjelasan tersebut aku tersentak, dan setengah membentak menanyakan kepada Dan Lantamal, kenapa rencana Kasal seperti itu tidak diinformasikan kepadaku. Aku jelaskan bahwa aku tidak pernah memerintahkan bengkel untuk membawa bus ke AAL, dan aku juga tidak pernah tahu rencana tersebut.

Pada saat aku tiba di gedung Candrasa Armatim sekitar pukul 07.00, Kasarma menginformasikan bahwa sidang Wanpatjab tidak jadi dilaksanakan di AAL, tetapi sesuai rencana semula yaitu di Candrasa Armatim. Sampai saat itu aku masih belum tahu bahwa pemindahan tersebut berkaitan dengan kasus bus. Aku baru menyadari pada saat selesai sidang, dimana Kasal memerintahkan semua perwira untuk keluar ruangan, kecuali aku.
Dengan gaya Kadet Senior beliau memanggilku untuk mendekat. Sambil bertolak pinggang dan mata melotot, beliau mengarahkan jari telunjuknya tepat ke kedua mataku, sambil berkata ketus: “Kamu mau coba-coba sama saya? Kamu tahu, sekarang yang berkuasa di Angkatan Laut adalah saya! Kamu bukan apa-apa, dan bukan siapa-siapa. Kalau saya mau, besok pagi-pun kamu sudah bisa out dari Angkatan Laut. Jangan kamu kira saya tidak bisa memecat kamu, dst….dst….”

Mendapat murka beliau seperti itu aku bukannya keder, tetapi justru sebaliknya. Terasa sekali darahku merambat naik ke kepala. Tapi aku masih mampu menahan diri. Dengan tatapan benci tanpa mengeluarkan satu patah katapun aku pandang tajam mata beliau. Diam-diam aku mulai ancang-ancang. Pelan-pelan telapak tangan kanan aku kepalkan, siap setiap saat untuk melepaskan bogem mentah. Dalam hati aku mereka-reka, “Coba saja berani menyentuh mukaku, apalagi sampai memukulku, aku pastikan kepalan ini akan langsung melesat tepat ke rahang”. Aku yakin betul akan bisa mengenainya, karena selain waktu di pasukan aku rajin berlatih karate, juga di rumah aku masih rajin
memukul sandsack. Aku tidak sempat berpikir apa akibatnya seandainya hal itu terjadi. Bersyukur aku tidak perlu bertindak sejauh itu. Mungkin karena beliau melihat gelagat nekatku.

Setelah beliau berhenti berbicara dan diam, aku berkata, “Mohon maaf Kasal, saya belum bisa memberikan penjelasan sekarang. Saya mohon waktu paling lama satu minggu, saya akan menghadap Bapak di Jakarta, untuk menjelaskan permasalahannya”.

Kembali ke AAL aku langsung memanggil Dan Denma dan ADC, untuk minta penjelasan duduk perkaranya. Kemudian aku susun ke dalam laporan khusus dalam bentuk kronologi apa yang aku dengar, apa yang aku perintahkan dan apa yang aku kerjakan. Intinya adalah sama ksekali tidak ada kesengajaanku atau siapapun untuk menyabot rencana Kasal, kecuali betul-betul karena memang kami tidak pernah diberi tahu.

Tiga hari setelah kejadian, aku menghadap Kasal di Mabesal. Setelah beliau membaca laporanku dengan cermat, kemudian beliau berkata singkat, kira-kira begini: “Di”, (beliau selalu memanggilku Kasdi), “Anggap saja waktu itu tidak terjadi apa-apa. Mari kita sama-sama melupakan apa yang telah terjadi. Kita semua akhirnya nanti juga akan pensiun, dan itu tidak lama lagi. Dan kalau sudah pensiun yang ada tinggal bagaimana kita saling bersilaturahmi, dst.-”.
Memang tidak ada permintaan maaf, tapi aku tahu apa yang beliau sampaikan adalah tulus. Dan bagiku itu sudah cukup, sehingga dari lubuk hatiku yang paling dalam tanpa harus diminta aku sudah memaafkan beliau.

Sejak itu hubungan kami menjadi jauh lebih baik, meskipun gayanya masih tetap saja gaya khas senior anak ambtenaar perkebunan.

***
(Copas dari buku "Sosok Seorang MARINIR BANYUMAS", Otobiografi Mayjen TNI (Mar) Sudarsono Kasdi)

Jumat, 26 Januari 2018

SAMBUTAN MANTAN KAS KORMAR 
BRIGJEN TNI (MAR) SUDARSONO KASDI
PADA ACARA TEMU PISAH 

Assalamualaikum, Wr.Wb.,
Yang saya hormati para Sesepuh dan Pinisepuh Korps Marinir,
Mayjen TNI (Mar) Djoko Pramono, Komandan Korps, Kepala Staf,
teman-teman Perwira, ibu-ibu dan undangan lainnya.

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena hanya berkat rakhmat dan ridhoNya, kita dapat berkumpul malam ini dalam keadaan sehat walafiat.
Selanjutnya saya ucapkan terima kasih kepada Panitya, yang telah mengikutkan saya pada acara temu-pisah Komandan Korps Marinir, dan memberikan kesempatan kepada saya untuk menyampaikan sepatah dua patah kata, sebelum saya meninggalkan Korps yang saya cintai ini untuk selamanya.

Apa yang akan saya sampaikan ini lebih saya tujukan kepada adik-adik saya, teman-teman Perwira muda Korps Marinir.

Bapak, ibu, dan khususnya teman-teman Perwira muda Korps Marinir yang saya harapkan,

Lebih 27 tahun saya mengabdi di Korps Marinir. Telah banyak yang saya dapatkan dari Korps ini, termasuk menjadikan saya seorang Jenderal.
Selama 27 tahun :
• Berbagai pengalaman telah saya lalui,
• Berbagai suka dan duka telah saya alami
• Berbagai baik dan tidak baik telah saya dapati, dan..
• Berbagai benar dan tidak benar telah saya temui

Melalui berbagai pengalaman tersebut :
• Saya menjadi semakin tau, tetapi tidak mampu memberi tau
• Saya juga semakin mengerti kenapa ada yang tidak pernah bisa mengerti
• Dan saya semakin paham, bahwa banyak hal yang tidak mungkin bisa saya pahami.

Dengan pengalaman yang 27 tahun tadi, saya sendiri tidak tahu apakah saya menjadi semakin bijak atau justru sebaliknya, karena konon, antara bijak dan bodoh hanya dibatasi oleh selaput yang sangat tipis, sehingga hanya kerling mata yang bisa membedakannya.

Teman-teman Perwira muda yang saya harapkan,

Adalah benar bahwa arus globalisasi akan melanda seluruh aspek kehidupan. Namun kita tidak perlu resah, selama kita tetap berpegang pada tonggak idealisme. Karena apapun yang mengglobal pasti sesuatu yang baik – sepanjang kita meninjaunya dari sudut pandang positif.
Yang justru berbahaya adalah dampaknya. Khususnya apabila badai globalisasi ini melanda mereka yang ragu, yang tidak yakin bahwa kita akan mampu tetap tegak, tanpa meliuk. Karena, apabila mereka ini (kebetulan) pemimpin, maka organisasi sesolid apapun akan berubah menjadi serangkaian gerobag sirkus berisi badut-badut yang sangat layak untuk ditertawakan.

Teman-teman Perwira yang saya harapkan.
USMC mengenal 5 tuntunan Korps :
• Faithful to God – Iman kepada Allah
• Faithful to your Country – Bakti kepada Negaramu
• Faithful to the Corps – Mengabdi kepada Korps
• Faithful to your Comerades – Loyal kepada Teman Marinir-mu
• Faithful to Yourself – Hargai Dirimu sendiri
Lima tuntunan tadi, semuanya menyangkut pengabdian dan loyalitas yang bertumpu pada idealisme.

Kita juga mempunyai tuntunan Korps – bahkan 6 butir, yang tidak kalah ideal, mulai dari : ‘Marinir Prajurit Sapta Marga’ sampai ‘Marinir Pasukan Pendarat’.
Pada kesempatan ini saya ingin mengangkat butir yang ke tiga, yaitu :
‘Marinir Bukan Warisan, tetapi Amanat Titipan Generasi’

Saya sengaja mengangkat bitir ini karena relevansinya terhadap situasi lingkungan saat ini, yang sangat sarat dengan dorongan interes yang mampu menyapu harga diri. Butir ini sungguh sangat sakral, dan saya percaya, siapapun yang mendurhakainya akan kualat.

Apa yang sedang saya bicarakan bukanlah masalah sorga dan neraka, tetapi apa yang justru menyangkut masalah tentang fakta yang melanda dunia Korps Marinir yang kita cintai.Saya tau, selagi kita masih aktif berjaya, kita bisa berbuat apa saja,
karena anak buah pasti akan tunduk – atau sekedar menunduk. Tetapi jangan pernah mengira kita akan menyaksikan hal yang sama pada saat kita sudah purnawira nanti. Jangan heran apabila kita berjumpa dengan mantan anak buah, mereka justru menghindar, membuang muka, atau
bahkan meludah di depan kita. Karena itu adalah semata-mata ‘karma’ atas tingkah kita, yang menganggap Korps milik nenek moyangnya.

Untuk itu, pada akhir pengabdian saya di Korps Marinir, saya berharap – harapan seorang kakak kepada adik-adiknya :
• Tetap konsisten kepada niat semula, mengabdi kepada negara melalui Kops Marinir
• Tetap peduli kepada Korps, karena hal itu adalah wujud dari loyalitas yang sebenarnya.
Hanya dengan demikian teman-teman akan mampu menjunjung tinggi amanat generasi, untuk mempertahankan nama besar dan jati diri Korps, yang ‘terlanjur’ diwariskan kepada kita oleh para pendahulu.

Akhirnya, saya pribadi mohon maaf, karena sampai pada akhir pengabdian di Korps Marinir, ternyata tidak mampu mewujudkan harapan teman-teman perwira sekalian.

Saya dan isteri mohon diri,
Dirgahayu Korps Marinir,
Jalesu Bhumyamca Jayamahe

Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jakarta,   Desember 1995,

SUDARSONO KASDI
BRIGJEN TNI (MAR)

***
(Copas dari buku "Sosok Seorang MARINIR BANYUMAS", Otobiografi Mayjen TNI (Mar) Sudarsono Kasdi)

Catatan:
Teks sambutan ini tidak jadi aku baca, karena sesaat menjelang dimulai acara aku tidak diberi ijin untuk menyampaikan sambutan perpisahan. Belakangan aku tau kalau teks sambutan yang diketik telah dibocorkan oleh oknum Sekretariat.

KORBAN REKAYASA  (1996)

Suatu hari aku mendapat tilpon dari Brigjen TNI Adam Damiri, Kasgartap Jakarta yang kebetulan aku kenal baik, menyampaikan
bahwa dari hasil rapat petinggi TNI di Jakarta, pada upacara Hari ABRI tanggal 5 Oktober 1996 yang akan diselenggarakan di Halim PK. Komandan Upacara akan ditunjuk seorang Pati bintang dua Korps Marinir. Oleh karena itu beliau mengatakan bahwa aku ditunjuk sebagai salah satu calon Komandan Upacara. Aku kemudian bertanya siapa saja calonnya. Kasgar menjawab bahwa yang paling mungkin hanya Gubernur AAL dan Dan Kormar. Langsung saat itu juga aku katakan “Tidak!” Ada suara kecewa terdengar dari ujung tilpon. “Adam” kataku, “jangan lagi tunjuk aku untuk kalian kerjain kayak orang bego!” kataku pula. “Aku tahu penunjukkanku ini hanya rekayasa, sama seperti yang pernah terjadi pada tahun 1992 dimana anda tahu persis”. Pada waktu itu Kol Adam Damiri menjabat sebagai Asops Kasgartap Jakarta.
“Kemudian terulang pada tahun 1994 yang lalu” kataku melanjutkan. “Kalau yang dicari Marinir bintang dua, di Mabesal masih ada, yaitu Koorsahli Kasal Mayjen Mar Gafur Chalik, dan Irjenal Mayjen Mar Djoko Pramono. Sampai saat ini sakit hatiku masih belum sembuh Adam,!” kataku menjelaskan alasanku.
Pada Upacara Hari ABRI yang akan diselenggarakan di Lapangan Parkir Timur Senayan, dari hasil seleksi calon DanUp terpilih masing-masing satu dari tiap Angkatan dan Polri, yaitu : Kol.Inf. Johny Lumintang, Kol Pnb. Zaenal Sudarmadji, Kol. Pol. Drs. Soehardi, dan aku sendiri. Dari beberapa kali latihan yang diselenggarakan sampai tahap geladi bersih, seorang pelatih berpangkat Mayor TNI-AD (aku lupa namanya, kalau tidak salah Simanjuntak atau Simorangkir, pokoknya nama Batak he..he), memberitahuku bahwa menurut penilaian dan pertimbangan para pelatih akulah yang diusulkan menjadi DanUp.
Namun ternyata pada pagi tanggal 5 Oktober, Kasgartap memanggil dan memberitahuku bahwa aku tidak terpilih menjadi DanUp dengan alasan terlalu gemuk. Karena itu yang menjadi DanUp ditetapkan Kol.Inf. Johny Lumintang. Pada waktu itu Johny Lumintang memang menjadi salah satu Pamen andalan TNI-AD.
Tentu aku kecewa, sampai aku terpaksa minta maaf atas kegagalanku dalam memperjuangkan nama Korps kepada Dan Kormar Mayjen TNI Baroto Sardadi yang beberapa kali memantau jalannya latihan. Namun jawaban beliau mendinginkan hatiku, “Kamu tidak perlu minta maaf Kasdi, karena aku tau yang ditunjuk pasti dari Angkatan Darat, bukan kamu. Kecuali kalau dia tiba-tiba pingsan atau muntah darah !”
Aku tersenyum mendengar candaan beliau.
Kemudian pada Upacara Hari ABRI tahun 1994, dimana pembaca Saptamarga ditunjuk Pati bintang satu. Pada waktu itu juga terpilih masing-masing satu dari Angkatan dan Polri, yaitu : Brigjen TNI Subagyo, Marsma TNI Nuringtyas, Brigjen Pol. Drs.Pamudji Sutopo, dan aku. Pada gladi bersih yang dilaksanakan dua kali hanya Brigjen Subagyo dan aku saja yang tampil. Kebetulan pada penampilan Brigjen Subagyo terjadi kesalahan ucapan pada salah satu Marga, sehingga harus diulang. Pembina Upacara pada waktu itu memberitauku agar aku besok siap untuk tampil pada saat Upacara, karena mereka tidak mau mengambil resiko salah pada pelaksanaan yang sebenarnya di depan Presiden.
Tetapi ternyata pada hari pelaksanaan yang diperintahkan tampil adalah Brigjen TNI Subagyo yang pada saat itu menjabat sebagai Dan Kopassus. Kali ini aku hanya tersenyum. Ternyata sinyalemen bapak Baroto Sardadi terbukti lagi.

Nah sekarang Kasgartap Jakarta minta aku bersama Dan Kormar menjadi calon DanUp. Aku sudah bisa menduga, adalah tidak mungkin upacara Hari ABRI yang DanUp-nya tahun itu diserahkan kepada Pati Korps Marinir akan ditampilkan Gubernur AAL. Tidak bisa tidak pasti Dan Kormar. Sebab pantas atau tidak pantas, baik atau tidak baik, keliru atau tidak keliru, bagi TNI-AD nothing to lose. Itulah sebabnya aku menolak mentah-mentah, apalagi ini baru pemberitahuan via telpon dari Kasgartap.

Tetapi dengan sangat Kasgartap terus menerus memohon agar aku mau membantu beliau untuk bersedia menjadi calon DanUp. Akhirnya, karena Brigjen Adan Damiri adalah salah satu teman baikku, dengan berat hati terpaksa aku mengalah, untuk kemudian bersedia menjadi pendamping DanUp.

***
(Copas dari buku "Sosok Seorang MARINIR BANYUMAS", Otobiografi Mayjen TNI (Mar) Sudarsono Kasdi)

Rabu, 24 Januari 2018

BATAL KARENA MEMEGANG PRINSIP  (1996)

Setelah aku menjabat sebagai Kas Kormar hampir satu tahun, pada suatu hari setelah sholat Jum’at, aku dipanggil menghadap komandan di ruang kerja beliau..
Setelah aku duduk, beliau menyampaikan bahwa hari Senin lusa akan ada sidang Dewan Penempatan Jabatan Perwira Tinggi (Wanpatjab “A”) yang akan membahas rencana penggantian beberapa jabatan teras TNI-AL. Beliau menyampaikan bahwa namaku sudah masuk di dalam buku merah dan menjadi satu2nya calon untuk jabatan Dan Kormar. Buku merah adalah istilah untuk buku daftar nominasi personil bersifat rahasia, yang akan dibahas di dalam sidang Wanpatjab.
Selanjutnya panjang lebar beliau memberikan pesan dan nasihatnya, sebagai bekal bagiku pada saatnya nanti apabila aku sudah menjadi Dan Kormar. Pesan-pesan beliau pada umumnya baik meski cenderung normatif. Namun pada penghujung pesannya beliau memberikan arahan yang bukan lagi dapat dikatakan normatif.
Inti pengarahan beliau kepadaku kurang lebih demikian :
“Sebagai Dan Kormar kamu tidak boleh memegang prinsipmu sendiri, tetapi sebaliknya harus pandai melihat situasi. Oleh karena itu kamu sebagai adikku, yang insyaallah sebentar lagi akan menggantikanku, aku ingin berpesan.
Pertama: Ada prinsip yang dianut orang Cina ‘Jadilah seperti ilalang di atas bukit’. Betapapun besar badai bertiup ilalang tak akan tercabut, kenapa? Karena kemanapun badai bertiup ilalang selalu ikut. Tetapi demikian badai mereda ilalang akan tegak kembali dengan megahnya.
Kedua: ‘Kamu harus bisa ibaratnya seperti bunglon’, karena dimanapun bunglon berada pasti segera berubah warna, menyesuaikan diri dengan warna lingkungannya. Ketiga : ‘Dunia ini adalah panggung sandiwara’, artinya bahwa kita semua ini adalah sekedar aktor yang dikendalikan oleh sutradara. Kita hanyalah pemain yang memainkan peran yang sudah diatur oleh sutradara sesuai skenario yang sejalan dengan alur cerita yang dikehendaki oleh produser”.
Mendengar apa yang dikatakan komandan seperti itu jantungku terasa berdetak lebih kuat dan darah mengalir naik dengan cepat menuju ke kepala. Aku marah sekaligus kecewa. Tidak tahu kenapa aku betul-betul merasa terhina. Aku merasa seolah disamakan dengan orang yang memiliki sifat seperti itu.
Kemudian beliau menghentikan ucapannya. Mungkin beliau melihat perubahan di wajahku.
Suasana hening sejenak.
Dengan nada suara yang sedikit bergetar aku katakan demikian:
“Kalau komandan menghendaki Dan Kormar adalah orang yang seperti itu, jangan tunjuk saya, karena saya bukan manusia sejenis itu. Komandan cari saja orang lain yang bisa melaksanakan arahan komandan!”
Kontan wajah beliau mendadak menjadi merah, sebentar kemudian berubah menjadi pucat dan tangannya bergetar. Mungkin menahan marah, atau malu, karena tidak menduga arahannya akan aku tanggapi demikian.
Setelah beberapa menit tidak ada yang berbicara kecuali saling memandang dengan perasaannya masing-masing, akhirnya beliau mempersilahkan aku keluar dari ruang kerja beliau.
Beberapa minggu kemudian turun Surat Telegram Kasal yang diantaranya berisi pergantian jabatan Dan Kormar, yang ternyata memang bukan aku.

***
(Copas dari buku "Sosok Seorang MARINIR BANYUMAS", Otobiografi Mayjen TNI (Mar) Sudarsono Kasdi)

SILENT HEART ATTACK  (2010)

Sebetulnya kejadiannya sudah beberapa tahun lalu, tapi ternyata aku masih sering ditanya teman gimana critanya? Karena itu tulisan yang sdh pernah aku posting di grup imel setahun sebelumnya, aku muat di notes fb-ku. Sapa tau ada manfaatnya .. setidaknya untuk meningkatkan awareness manteman atas ancaman jantungan yang bs tiba2 nyeruduk begitu saja ...

*****

SILENT HEART ATTACK – Sebuah Testimoni

Beberapa minggu sebelumnya kalo tidur miring ke kiri trasa denyut jantungku bedebar lebih keras. Pokoke gaenak lah .....    tapi tak biarin :)
Beberapa hari lalu kalo lagi duduk nonton teve pada malem menjelang tidur, kadang, dada/jantung trasa tertekan .. tapi sbentar ilang ....    tak biarin juga  :))
Pas malem minggu (01/05/2010) skitar pkl 23:00 jantung trasa ketekan lagi .... sampe ketiduran.  Tapi besoknya, begitu bangun rasa keteken itu masih ada.  Aku mikir ini mesti ada apa2 ……..  !!!!

Aku trus idupin PC untuk brosing di internet mo nanya mbah Google ada masalah apa sebenarnya dengan dadaku.  Ternyata jawabannya begini :

“Pain is not always a symtom of heart attack. A heart attack often mild symptoms that may not be painfull. Many fictims experience a tightness or squeezing sensation in the chest.  Get emergency medical help immediately if you experience for two minute or more…..”

Trus terang aku terperangah.  Celakanya di rumah saat itu gada orang, soale anakku Cuno sejak tadi malem jaga di RSCM, mantu pagi2 sdh brangkat  ‘magang’ di RS Jantung Harapan Kita dlm rangka persiapan pendidikan spesialis jantung, dan bojo barusan brangkat brenang di Villa Delima.

Pelan2 aku brangkat mandi buwat ngebersihin badan biar kalo dipriksa gak bau apek .. he he. Pintunya gak tak konci, siap2 teriak kalo tiba2 dateng serangan. Abis pakean aku lantas duduk di teras (salah satu protap serangan jantung, biar kalo ada apa2 ada yang ngliat), sambil nunggu bojo pulang.  Kebetulan kok ga lama. Katanya sih ada rasa ga enak jadi brenangnya cuma sbentar, ga pake mandi langsung pulang. Mbuh bener mbuh ora tapi aku ya percaya aja, wong namanya istri lagi perhatian sama suami kok ya .... he he !.
Langsung aku minta istri temenin aku ke UGD RS Puri Cinere yang skarang sudah punya cardiac center “Hospital Cinere”.

Di UGD, aku ditanya sakit apa?  Begitu aku bilang dada rasa tertekan langsung aku ditidurin di brankar(?) dipasangin sgala macem tetekbengek alat kesehatan (kalo ada yang ga bengek mungkin masih bagusan  he he..). Di hidung ada  pipa oksigeen, di skitar dada, kaki dan tangan ditempelin banyak kabel dan diketek diselipin termometer.  Tekanan darah diukur dari kedua lengan.  Di tangan kiri dipasangin infus, dan dari tangan kanan darahku disedot, katanya buat dikirim ke lab.
Trus terang aku lumayan bingung,  wong aku belon bilang apa2 kok udah diperkosa disuruh ngikutin apa maunya. Mreka bilang itu adalah tidakan  SOP  penanganan serangan Jantung.

Tak brapa lama dokter jantungnya, dr Hera, dateng. Aku ditanya mana yang sakit aku bilang ga ada, kecuali rasa ketekan di dada kiri. Dia masih nanya mungkin sakit di dada, di punggung, di tangan, ato di dagu ?  aku bilang pokoke kaga ada yang sakit.  Dia colokin ujung stetoskop ke seantero dada dan peruku. Geli juga sih tapi aku tahan.

Mantuku yang ternyata sdh dikasitau, nelpon bojoku, nanya sapa dokter yang nanganin. Begitu dibilang dr. Hera, mantuku bilang, dr.Ismoyo SpJP, dosen pembimbingnya, mau ngomong sama dr.Hera.  Gatau apa yang mereka bicarakan, tapi kemudian mantuku bilang besok kita disuruh pindah ke RS khusus jantung Bina Waluya di Pasar Rebo, biar ditangani oleh dr.Munawar,SpJP yang katanya sudah dikontak dr.Ismoyo.
Dr Munawar itu konon termasuk salah satu dr. jantung terbaik di negri ini. Sewaktu pak Harto sakit dia juga yang sering mewakiti tim dokter njelasin perkembangan (penyusutan?) kesehatan pak Harto kepada wartawan.  Tapi kenyataannya pak Harto dood juga … he he .
Tak lama kemudian dr Hera-nya pergi gatau ke mana.

Sekitar stengah jam aku dibiarin begitu. Untungnya tiba2 saja konco lichtingku yang biasa dipanggil srs Imot masuk ke UGD. Dia bilang lagi jalan pagi, ngeliat mobilku di depan RS Puri Cinere, jadi pengen tau ada apa? Lantas blionya ketemu bojoku yang lagi ngurus pendaftaran.  Jadinya ada temen deh…
Lantaran belon sarapan sama skali, perut mulai trasa lapar.  Aku panggil perawat buat mesen dua porsi bubur ayam.  Bedua kami makan bubur di UGD dengan segala macem selang dan kabel masih nempel di badan.

Skitar satu jam kemudian aku digeredek ke ICU jantung. Tiap jam dicek EKG dan tekanan darah otomatis yang langsung bisa diliat angka dan grafik denyutnya di monitor.  Hari itu aku betul2 di paksa tiduran, bahkan pipispun di pispot. Padahal rasanya aku gada trasa sakit apa2.  Mana tempat tidurnya gak enak lagee …

Malemnya konco lichtingku yang laen, kang Ngumar sama mantan pacarnya bezoek. Rupanya bojoku memang sempet nelpon kang Ngumar, berkait dengan permasalahan jantungan. Soale belionya kan termasuk senior/alumnus korban jantungan, sehingga diharap akn dapat ngasih pencerahan.   Blio bilang kaga apa2 soale bebrapa kali hasil pemeriksaan enzym negatip.  Dokter juga bilang begitu tapi buat mastiin dokter bilang besok mo di MSCT (Multi Slice Computed Tomography) - scanning buat motret jantung 3 dimensi dari berbage sisi.  Tapi aku bilang besok mau pindah ke RS BinaWaluya. Dr Hera bilang sbetulnya gak perlu, soale di RS Puri smua peralatan selain lengkap juga mutakhir/canggih.  Aku bilang aja yang minta dr. Ismoyo kok, dan bahkan kamarnya sdh disiapin sama dr.Munawar. Dr. Hera ga bisa komen apa2, soale dia juga mantan muridnya dr.Ismoyo dan dr.Munawar.
Sebetulnya ada motip lain knapa pindah, yaitu lantaran RS Puri ga bisa pake Askes, sementara RS Bina Waluya bisa.

Malem aku ga bisa tidur.  Bukan lantaran jantungnya sakit. tapi lebih karena keganggu selang infus dan kabel2 monitor alat ukur tekanan darah yang masih nempel di badan. Mana kasur dan bantalnya juga ga enak.

Paginya dokter lain, dr. Farid, dateng.  Dia bilang pindahnya gausah pake ambulan, tapi pake mobil sendiri saja, wong hasil tindakan sementara itu gada masalah.  Dia juga bilang nanti yang dampingin biar dr.Cuno saja, yang notabene adalah anakku. Surat pengantarnya saja nanti dia siapin. Aku bilang oke gapapa. Aku malahan seneng soale bisa pulang dulu buat mandi, buang air, ganti baju dan sarapan.

Setelah bayar biaya yang lumayan gede aku pulang.
…………………………

Skitar pkl 11:00 diantar istri, anak dan mantu aku masuk UGD BinaWaluya. Prosedur yang mirip sama dilakukan juga di sini.  Hasilnya juga meh sama. EKG dan tekanan darah oke, enzym negatip.  Dr. Munawar bilang nanti akan dilakukan tindakan MSCT buat mastiin. Dia bilang kalo hasilnya baik - seperti dugaannya – aku bisa langsung pulang.

Ternyata hasil scan meragukan.  Sepertinya ada sesuatu yang berbeda dengan kesimpulan hasil pemeriksaan EKG, ronsen thorax dan pemriksaan enzym.  Dr. Munawar bilang terpaksa akan dilakukan kataterisasi buat ngeliat apakah ada penyempitan koroner.  Tapi waktunya ga perlu segra. Dia jadwal hari Rabu minggu depan (12/05/2010)
Malemnya skitar pkl 11:00  setlah nyelesein administrasi aku pulang.  Sama skali gada pembayaran karna smua katanya bisa dikaver Askes.

Besok paginya aku ditilpon staf RS yang ngurusin Askes. Dia bilang Askesnya ga berlaku soale aku langsung pulang, ga nginep, jadi dianggepnya ga gawat.  Weleh .. weleh..  Aku bilang apa sih sulitnya tinggal kluarnya di mundurin?
Setlah beradu argumen lumayan cukup lama, akhirnya Ny. Munawar, Kabag Keuangan, yang notabene adalah istri bos RS, mutusin hari itu aku harus kembali ke RS, dan kateterisasi dilaksanakan Rabu esok harinya.  Aku nanya apa dr.Munawar sdh setuju?  Dengan enteng dia jawab “bisa diselipin”. Bahkan dia bilang, “bpk nanti giliran ke dua”.
Besoknya aku baru tau ternyata ibu Munawar ini memang yang banyak berperan dalam me-menej RS termasuk  ngatur apa yang hrs dilakukan sang suami.  Presis sperti yang banyak terjadi di lingkungan keluarga pangsiunan Moro Embe .. he he .. !!

Jadilah sorenya aku balik masuk RS.
Rabu tanggal 05/05/2010 pkl 07:30 aku digredek masuk ruang oprasi. Pelaksananya dr. Munawar dibantu dr.Benny dan bebrapa tenaga medik. Kateter dimasukan lewat pangkal paha, lantaran katanya jantungku rada aneh saengga kagak bisa via pergelangan tangan.  Buat aku sih terserah pakar saja..

Ternyata keanehan jantungku betul2 aneh dalam arti yang sebenarnya karna berbeda dengan jantung manusia biasanya. Dr Munawar pake istilah ‘anomali’. Aku jadi ragu apa aku ini masih termasuk jenis manusia ato bukan. Ato jangan2 justru mereka semua yang bukan manusia … he he. !
Mungkin keanehan ini akhirnya tersiar, soale kemudian banyak dokter yang ikut nimbrung, ngariung nonton, baik di ruang monitor maupun langsung masuk ke ruang operasi.

Upaya kateterisasi dicoba bebrapa kali tetep ga bisa. Aku sampe nanya, “sebetulnya ada apa sih dok?” Dijawab “belum ketemu, saluran arteri jantungnya ada kelainan, anomali”.  Sambil becanda aku tanya apa jantungnya masih ada? Ternyata dijawab juga, “masih, jangan kuatir”.  Smua yang ngariung pada ketawa.

Sampe 6 kali ‘kabel kateter’nya diganti dengan berbage tipe dan ukuran, baru dr Benny setengah teriak : “At Last..!!”. Aku tanya lagi ada apa?  Dijawab bahwa sudah ketemu.  Tapi itupun mreka bilang melalui modifikasi.  Hasilnya?
Sungguh mengejutkan.

Ternyata ada penyempitan (stenosis) di dua cabang arteri kiri masing2 sebesar 90% dan 70%.  Setelah dokter koordinasi dengan bojo utk jenis stent (ring?) yang dipilih, akhirnya di saluran arteri kiri jantungku dipasang 2 stent :  stent DES Cyper 2.75x13mm, dan stent DES Cyper 2.5x23mm.

Akhirnya proses kateterisasi yang biasanya hanya ½ sampe 1 jam, kali ini memakan waktu 2 jam (pkl 08:00 – 10:00) baru kelar.
………………………

Sebetulnya apa sih maksudku crita ini smua?

Begini..

Yang pertama.  Ternyata Olah Raga saja tidak bisa menjamin kita terhindar dari serangan jantung.
Aku kira temen2 lichting AAL rayon Jaksel tahu presis kalo aku termasuk yang sangat aktif olah raga buat jaga kesehatan.  Sebelum clubhouse Villa Cinere terbakar aku berenang hampir tiap hari, pake fin rata2 50 x panjang kolam @ 50 meter tanpa brenti.  Pada waktu HUT AAL ke 50 aku bahkan sempat ikut brenang lintas selat Madura yang konon lebarnya skitar 4.5 mil.
Setlah clubhouse terbakar dan kolam ditutup aku ganti olahraga jalan cepat di treadmill (kebetulan di rumah ada ruang fitness) dengan kecepatan 5.5 – 6 km selama ½ - 1 jam. Beban ditambah dengan naikin sudut tanjakan. Abis itu aku narik-2 beban 10 keping (total skitar 45 kg?) masing2 gerakan 20 x tarikan.  Abis itu aku misih angkat barble 9 kg.  Pada menjelang tidur aku masih perlukan angkat barble yang ada di kamar tidur @ 6kg.
Itu smua aku kerjakan hampir setiap hari.
Kalo kebetulan nganter anakku yang bontot kuliah, aku langsung jalan keliling kampus UI Depok selama paling sedikit 1 jam. Kang Imam, koncoku satu lichting  pernah dua kali ikut tapi kemudian mundur tanpa sebab.

Aku crita ini bukan mau nyombong, tapi justru sebaliknya. Wong aku yang sudah berusaha – boleh dibilang maksimal – saja ternyata masih terkena serangan jantung, dan nyaris fatal.
Bayangkan kalo tiba2 kebuntuannya ningkat jadi 100%?  Ya usai sudah  lah … he he..
Trus bagemana dengan yang kaga ato kurang berusaha?.
Oke mungkin memang ada faktor genetika, tapi kan sapa yang tau presis penyakit kakek ato cicit kita?

Yang ke dua.  Ternyata serangan jantung tidak slalu pake aba2.  Ga pake bilang2 dia. Bayangin aku selama itu ga pernah terasa apa2 kok tiba2 dalam tempo yang relatif singkat menyerang dan hampir fatal.  Padahal skitar 5 bulan lalu aku tes treadmill di RSAL, hasilnya exellent.

Yang ke tiga. Ternyata sakit jantung itu muahaaall.  Bayangkan brapa biaya semua itu kemarin yang cuma selama 4 hari (Minggu – Kamis)?  Sama dengan pendapatan pangsiunan bintang dua selama 4 tahun bo …  . Itu betul kang,  aku ga bohong. Untungnya yang 40 jt dibayar askes
Belum lagi setelah operasi ini, aku harus minum obat selama hayat dikandung badan, ga boleh putus. Mana harga obatnya juga bukannya murah lagee … (skitar Rp.40.000 / hari)
…………………………

Nah, setlah baca truestory yang cukup panjang, sila mentemen pada mulai mikir CB / CA (Cara Bertindak/ Course of Action) apa yang akan dilaksanakan baik oleh sendiri ato kluarga, kalo kejadian yang sperti ini terjadi pada diri mentemen. Pasti smua tidak menghendaki, tapi siapa tau .. ;(

Pikirkan juga tindakan preventipnya.

Dari  pengalamanku selama ini, kayaknya kesalahanku lantaran terlalu ngabaikan tingkat kolestrol darah, yang dari dulu hampir slalu diatas 250.
Olah raga, paling tidak buat aku, sama sekali tidak bisa nurunin tingkat kolesterol.
Tingkat LDLku juga slalu tinggi, jauh diatas tingkat ideal 70. Sebaliknya HDL terlalu rendah.
Konon penyebabnya adalah rokok. Soalnya - kata yang ngerti – rokok akan menahan tingkat HDL (kolestrol baik) tetap rendah ga akan bisa naik.
Aku juga masih berharap mudah2an mulai skarang bisa brenti merokok .. he he ..
……………………………………..
Trims sudah ikut baca,  mudah2an manfaat...

/esKa. 05/06/10

Senin, 22 Januari 2018

COFFEE... EH, CAPUCHINO  (Italia 1978)

Selesai makan kami meneruskan perjalanan ke arah Padua (PANDOVA). Di antara Bologna – Ferrara mobil aku masukkan ke sebuah rest area, untuk sekedar buang air kecil dan mengganti pampers baby Cula. Aku lihat di atas motorway terdapat jembatan yang digunakan sebagai café. Kami naik ke salah satu counter minum semacam Starbuck yang aku lupa namanya, sekedar untuk duduk sambil melihat pemandangan dan kendaraan-kendaraan yang melintas di bawahnya.
Untuk sekedar basa-basi agar tidak diusir, aku memesan secangkir kopi dengan menggunakan bahasa Inggris. “Coffee please !” kataku. Pramuria yang melayaniku kemudian mengambil cangkir, meletakkannya di bawah satu alat yang aku kira sebuah coffee maker, dan menarik sebuah tuas. Kemudian cangkir itu disodorkan kepadaku sambil menyebutkan harganya. Aku lihat di dasar cangkir ada sedikit, kalau tak hendak dikatakan beberapa tetes, cairan hitam yang beraroma kopi. Meski terheran-heran tetap saja aku bayar sesuai harga yang dia minta. Aku mencoba meminum cairan hitam yang tidak lebih dari satu teguk itu. Ternyata itu memang kopi. Tapi ... kenapa sedikit amat?
Aku kemudian memanggil kembali pramuria tadi. Dengan bahasa Inggris yang aku upayakan sefasih mungkin, mencoba lagi memesan kopi dengan menyebut “a cup of coffee”, dengan harapan akan diberi secangkir penuh kopi. Ternyata yang disodorkan tetap saja beberapa tetes kopi di dasar cangkir. Sambil garuk kepala yang tidak gatal aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Kebetulan aku lihat ada pengunjung yang sedang menikmati secangkir penuh kopi. Aku memberitahu si pramuria dengan bahasa isyarat sambil menunjuk cangkir kopi yang ada di depan tamu tadi. “O.. capuchino ..!” katanya. Kemudian dia menarik kembali cangkir “kopi” yang disodorkannya tadi, dan beberapa saat kemudian kembali menyodorkan secangkir penuh kopi ... eh capuchino.

***
(Copas dari buku "Sosok Seorang MARINIR BANYUMAS", Otobiografi Mayjen TNI (Mar) Sudarsono Kasdi)

TIDAK PERCAYA "ORANG PINTAR"  (Baluran 1983)

Pada latihan AJ-V/84, dimana pendaratan dilaksanakan di pantai Tg. Jangkar terjadi hal yang diluar kenalaranku. Begini ceritanya :
Pada waktu itu proses pendaratan sedang dilaksanakan. Beberapa gelombang penyerang bahkan sudah sempat didaratkan. Namun pada saat pendaratan satuan pendukung sedang berjalan tiba-tiba turun hujan lebat bercampur badai yang sangat besar. Ombakpun langsung bergejolak sangat tinggi. Kapal-kapal yang bertonase kecil diperintahkan untuk berlidung di balik P.Kambing, sebuah pulau kecil di timur P.Madura. Hantaman ombak ke pantai menyebabkan beberapa LCVP tidak bisa mendaratkan pasukan dengan semestinya, karena posisi perahu melintang arah ke pantai dan dalam keadaan miring. Beruntung pasukan sempat meloncat dan berenang ke darat sebelum perahu terbalik. Semua perlengkapan termasuk senapan ditinggal di dalam LCVP. Tidak tercatat adanya korban personil, namun duklog pasukan banyak yang tumpah dan musnah ditelan gelombang.
Pada saat cuaca reda, aku pimpin beberapa anggota Markas Yon dan mereka yang kehilangan senapan kembali ke pantai untuk mencari senapan yang ditinggalkan di LCVP. Aku lihat cukup banyak LCVP yang terdampar di pantai, dalam posisi miring atau tertelungkup. Di dalamnya penuh berisi pasir. Lima LCVP yang terbuat dari viberglass bahkan pecah berantakan. Aku perintahkan anggota untuk menggali pasir yang ada di LCVP. Ternyata kebanyakan senapan masih tetap di dalam perahu, kecuali satu senapan yang tidak berhasil ditemukan. Aku perintahkan semua personil yang ada bersama penduduk setempat yang sedang mencari nener (bibit udang) untuk ikut mencari. Tapi sampai sore hari satu senapan tetap belum ditemukan. Saat hari mulai gelap terpaksa pencarian dihentikan untuk sementara.
Malam harinya datang seorang bintara anggota TrianMar ‘Sutedi Senoputro’ Karang Tekok. Dia menginformasikan bahwa di kampung sebelah ada ‘orang pintar’. Dia mengusulkan agar kami meminta bantuan kepadanya. Meskipun tidak percaya tetapi aku pikir tidak ada salahnya menyetujui usulannya. Malam itu juga aku perintahkan BamaYon diantar oleh bintara Trian untuk menemui ‘orang pintar’ tadi.
Keesokan harinya Bama Yon melaporkan bahwa menurut ‘orang pintar’ semalam posisi senapan yang hilang ada di sekitar muara aliran air ke laut (semacam sungai kecil), kurang lebih 300 meter arah ke barat dari posisi jatuhnya senjata. Aku langsung tidak percaya karena menurut almanak nautika pada tanggal dan waktu saat kejadian arah arus di sekitar tanjung Jangkar justru menuju ke timur.
Kami kemudian berangkat ke pantai untuk meneruskan pencarian. Kembali aku minta bantuan penduduk yang sedang mencari nener, dengan janji akan aku berikan pengganti harga nener yang didapat dalam satu hari masing-masing sebesar Rp.5.000,- dan iming-iming hadiah Rp.100.000,- bagi yang berhasil menemukan senapan yang hilang. Ada sekitar 15 orang yang ikut mencari.
Pencarian dipusatkan di sekitar jatuhnya senjata ke arah timur, sesuai dengan arah arus waktu itu. Tetapi pada saat orang-orang sedang mencari, ada satu orang yang selalu memisahkan diri, tetap saja mencari nener dengan sesernya ke arah barat. Sudah beberapa kali dipanggil tetapi diam-diam dia melepaskan diri lagi, mengambil sesernya, untuk kemudian kembali mencari nener ke arah barat. Karena habis akal akhirnya aku perintahkan untuk membiarkan saja, karena mungkin dia tidak setuju dengan besarnya imbalan yang akan kami berikan.
Sementara kami sedang melanjutkan pencarian, tiba-tiba kami mendengar orang berteriak, “Haaiii!!” Kami semua menoleh ke arah suara tadi yang ternyata adalah pencari nener yang memisahkan diri tadi. Aku lihat kedua tangannya diangkat keatas, sambil memegang sesuatu yang nampak seperti senapan. Kami buru-buru menuju ke sana. Setelah kami periksa, ternyata memang benar bahwa dia telah menemukan senapan M16 dengan nomor seri yang sama dengan senapan yang sedang kami cari. Menurut keterangannya posisi ditemukannya adalah persis di muara aliran air kecil sekitar 300 meter dari tempat terbaliknya LCVP.
Bukan main...!!!

***
(Copas dari buku "Sosok Seorang MARINIR BANYUMAS", Otobiografi Mayjen TNI (Mar) Sudarsono Kasdi)

“YOU MUST BE INFANTRY!”  (Fort Gordon 1980)

Situasi di Fort Gordon sangat jauh berbeda dibandingkan dengan di Fort Benning. Kalau di Fort Benning, jam berapa saja, bahkan di malam hari sekalipun, kita akan berjumpa dengan orang yang sedang berolah raga lari. Nampaknya “Run for Live” sudah menjadi budaya bagi setiap insan infantri. Khusus bagi prajurit infantry setiap enam bulan diadakan pengujian kesamaptaan jasmani. Meskipun hasil nilai kemampuan fisiknya maksimum, tetapi apabila batas toleransi berat dibanding tinggi badannya tidak masuk dalam kriteria, tetap saja dinyatakan overweight. Konsekwensinya yang bersangkutan harus mengikuti program penurunan berat badan yang sangat ketat, dan berpengaruh langsung pada nilai conduite-nya. Aturan yang diberlakukan bagi anggota korps infantry, overweight adalah salah satu alasan yang membuat seorang prajurit di ‘grounded’ dari kesatuan infantry. Bagi seorang infantry itu adalah sesuatu yang dianggap cela. Oleh karena itu, mereka yang terkena program penurunan berat, pada jam makan siang mereka bukannya makan, tetapi menggantinya dengan berlari untuk membakar lemak yang terlanjur terbentuk.
Tetapi di Fort Gordon sama sekali tidak ada terlihat kegiatan berlari. Mungkin karena di sini adalah domisilinya Korps Perhubungan, yang dalam penugasan operasinya tidak perlu bergerak dengan berlari.
Pada satu pagi sewaktu aku sedang berolah raga lari, aku berpapasan dengan seorang G.I. (istilah baku untuk tentara Amerika) yang sedang berjalan santai. Seperti biasa aku menyapanya dengan “How you doing?”. Sebuah sapaan baku yang lebih bernuansa basa-basi yang selalu diucapkan oleh siapapun di Fort Benning apabila berpapasan dengan orang lain. Biasanya ucapan seperti itu akan disahut dengan ucapan yang sama, tetapi orang yang aku sapa tadi sambil tersenyum malah menyahut “You must be Infantry!”.
Weleh, weleh, weleh ... !!!

***
(Copas dari buku "Sosok Seorang MARINIR BANYUMAS", Otobiografi Mayjen TNI (Mar) Sudarsono Kasdi)

LANDNAV TEST  (Fort Benning 1980)

Pagi hari menjelang keberangkatan ke daerah latihan, kepada kami sudah dibagikan peta, kompas, penggaris, pensil dan karet penghapus. Kami diberangkatkan dengan bus menuju ke daerah hutan yang khusus disiapkan untuk latihan Navigasi Darat. Selama dalam perjalanan aku lihat teman-teman bule matanya jelalatan memandang ke luar sambil sekali-sekali melihat ke peta. Aku mencoba ikut memperhatikan ke luar untuk mengetahui apa yang menarik perhatian mereka. Aku lihat pemandangan di luar hanyalah hutan biasa saja, tidak beda dengan hutan belukar yang terdapat di Puslatpur Baluran, sehingga aku menganggapnya sama sekali tidak istimewa. Aku tidak tahu, dan kebetulan tidak ingin tahu kenapa teman-teman selalu memperhatikan ke luar. Aku pikir mereka pasti sedang menikmati pemandangan hutan yang mungkin di kota asalnya tidak ada, yang menurutku sama sekali tidak menarik. Karena merasa mengantuk selama perjalanan aku justru memejamkan mata. Demikian juga yang dilakukan oleh beberapa siswa asing lainnya.
Sampai di tempat tujuan kami diperintahkan turun, kemudian diarahkan menuju ke satu tempat dengan berjalan kaki. Seorang perwira instruktur kemudian membagikan selembar kertas yang ternyata lembar LandNav test. Lembaran tes tadi terdiri dari sepuluh persoalan Navigasi Darat, yang belakangan aku tahu kalau materinya untuk setiap siswa berbeda. Setelah lembaran kuterima aku segera membaca soalnya. Ternyata pertanyaan pertama adalah: Berapa koordinat posisi dimana kami berada saat itu? Aku sempat bingung sejenak, wong kita baru saja tiba kok sudah ditanya kita ini dimana? Sambil menyodorkan peta yang sudah aku buka, aku bertanya kepada salah seorang perwira siswa G.I (US Army) keturunan Filipina berpangkat Letnan, dimanakah kita saat itu berada? Ternyata dia menjawab dengan sangat ketus : “It is part of the test Captain, you’re not allowed to ask me, nor anyone else! You must do it by yourself, Captain Kasdi!”.
Aku terperangah kaget. Aku baru sadar kalau itu adalah bagian dari tes yang harus dicari jawabnya. Aku mencoba menenangkan pikiran. Saat itu sebagian besar teman-teman sudah meninggalkan tempat. Aku kemudian melihat ke sekeliling tempatku berdiri. Kebetulan posisi dimana kami berada adalah sebuah pertigaan jalan tanah. Segera aku menuju tepat ke tengah-tengah pertigaan. Aku kemudian membuka peta lebar-lebar, dan meletakkannya tepat di tengah pertigaan. Aku ambil kompas dari tas, kemudian membukanya dan meletakkannya di tengah peta, dimana ujung kompas searah dengan arah utara bujur peta. Lalu aku putar-putar lembaran peta sampai arah bujur utaranya sesuai dengan arah utara yang ditunjukkan oleh jarum kompas. Itu adalah cara baku langkah awal prosedur orientasi medan dengan peta yang aku pelajari di Sedaspako. Aku perhatikan di peta ternyata ada beberapa pertigaan, tetapi yang ketiga jalannya mengarah sama dengan gambar di peta hanya ada satu. Aku baring (membidik dengan kompas) ketiga arah jalan tadi untuk lebih meyakinkan. Ternyata sudut baringannya sama dengan sudut baringan yang ada di peta. Aku yakin bahwa aku sudah menemukan jawaban pertanyaan pertama. Setelah menuliskan koordinat pada kolom jawaban, kemudian aku teruskan membaca persoalan yang ke dua. Mengawali pertanyaan pada persoalan yang kedua aku diminta untuk mencari tongkat bernomor tertentu yang ada tepi jalan di sekitar kita. Setelah tongkat itu aku temukan, aku meneruskan membaca soal berikutnya. Ternyata aku diminta menuju ke satu tempat, yang jarak tempuh dan arah kompasnya sudah ditentukan di dalam soal.
Pertanyaannya: Tongkat dengan tanda nomor/huruf apakah yang aku temukan di sana?.
Sebelum menuju ke arah kompas yang diminta dalam soal, aku cari dulu posisi yang akan aku tuju di dalam peta, yaitu dengan cara memindahkan sudut baringan dan jarak yang sudah ditentukan ke dalam peta dengan bantuan mistar dan pensil. Setelah aku temukan titiknya, ternyata untuk menuju ke sasaran harus ditempuh dengan menembus rawa. Tentu saja aku tidak terlalu bodoh untuk begitu saja menuju ke sana dengan menyeberangi rawa, meskipun banyak siswa yang melakukannya. Aku pelajari terlebih dahulu contour medan di peta untuk mencari jalan pendekat ke sasaran yang relatif mudah ditempuh. Aku memilih jalan melalui punggung bukit meskipun jaraknya relatif lebih jauh karena harus memutari rawa hampir separuh lingkar tepinya. Aku lipat peta sedemikian rupa sehingga mudah untuk dibawa sekaligus mudah untuk dilihat/diamati setiap aku ingin mencocokkan dengan kondisi medan sekitar yang akan aku lalui nanti. Sampai ke tempat tujuan yang aku sudah perkirakan sebelumnya, aku menemukan tongkat yang kucari tanpa kesulitan. Untuk lebih meyakinkan aku orientasi kembali medan di sekitar letak tongkat di sesuaikan dengan bentuk medan yang tergambar di peta. Demikian seterusnya sampai aku menyelesaikan ke sepuluh persoalan yang ada.
Menurutku problem Landnav ini sama sekali tidak sulit, bahkan dapat aku katakan sangat mudah. Bagaimana tidak? Selama di tanah air, baik dalam latihan maupun operasi yang sebenarnya, kita (baca: TNI) selalu menggunakan peta yang dibuat oleh Belanda pada tahun 1942 atau 1943. Tentu saja keadaan medannya sudah sangat banyak berubah. Sedangkan pada tes Landnav kali ini kami menggunakan peta yang sama sekali baru, betul-betul brand-new. Selain tanda-tanda medannya sangat jelas, kita juga tidak perlu lagi meng-konversi arah baringan dengan apa yang di kelas IMMP (Ilmu Medan & Membaca Peta) dikenal dengan istilah ikhtilaf UP/UM. Setelah aku menulis jawaban pertanyaan yang ke sepuluh, kertas aku masukkan ke dalam kartentas (tas peta). Kemudian aku bergabung dengan beberapa teman yang sudah lebih dahulu tiba, ikut ngantri di mobil kantin yang sudah siap di sana untuk membeli beef burger, apel dan sekaleng coca-cola untuk makan siang. Setelah pesanan aku terima, aku menuju ke bawah pohon yang cukup rindang kemudian duduk melepaskan lelah sambil makan siang.
Satu persatu teman-teman muncul dari dalam hutan. Beberapa dari mereka ada yang basah kuyup. Rupanya mereka termasuk yang nekat menembus rawa sesuai arah kompas. Aku lihat pasis sponsorku berjalan mendekat ke arahku sambil menenteng kantong kertas berisi makanan yang baru dibelinya dari kantin mobil. Dia menanyakan apakah aku sudah menyerahkan kertas jawaban, yang aku jawab, belum. Kemudian dia memberi tahu agar aku segera menyerahkan kepada petugas pengumpul. Tiba-tiba terdengar bunyi peluit panjang dan seseorang berteriak “Time’s up!” Segera aku berlari menuju ke meja petugas untuk menyerahkan kertas jawabanku. Ternyata aku dianggap terlambat satu menit. Cpt.Steven memberi tahuku, karena aku terlambat menyerahkan satu menit maka nilaiku akan dikurangi satu. Keesokan harinya hasil tes sudah bisa diambil di locker masing-masing. Ternyata aku mendapat nilai 99. Ada rasa penyesalan kenapa kemarin tidak segera menyerahkan hasilnya, padahal aku bisa mendapatkan nilai maksimum. Menyadari bahwa itu adalah karena kebodohanku sendiri, akupun kemudian bisa menerimanya dan cukup puas karena teman G.I. Phillippino yang ketika aku tanya menjawab dengan ketus, ternyata hasilnya NO GO (nilainya kurang dari 60), sehingga harus mengulang. He he ...


***
(Copas dari buku "Sosok Seorang MARINIR BANYUMAS", Otobiografi Mayjen TNI (Mar) Sudarsono Kasdi)

Minggu, 21 Januari 2018

MARINIR KESASAR  (1974)

Ketentuan tidak tertulis yang berlaku di Angkatan Laut, setiap prajurit yang tiba di satu tempat, dalam waktu 1X24 jam sudah harus memahami situasi lingkungan di sekitarnya. Dengan demikian aku wajib dan harus segera melaksanakan orientasi medan pada kesempatan pertama. Bagi prajurit KKO ketentuan seperti itu sudah menjadi habit, kebiasaan yang sudah menyatu di dalam kehidupannya. Oleh karena itu, pada keesokan harinya, karena kebetulan hari libur Sabtu, aku mulai melaksanakan orientasi pengenalan mulai dari lingkungan pekarangan sampai dengan jalan-jalan di sekitar dengan berjalan kaki. Pada hari berikutnya aku ingin melaksanakan orientasi pada jalan-jalan di sekitar yang agak sedikit jauh.
Hari Minggu keesokan harinya, dengan mobil Mercy CPM-1 aku mencoba menelusuri jalan-jalan yang mengarah ke kediaman. Kebetulan aturan mengemudi di Inggris pada jalur kiri, sama dengan ketentuan yang berlaku di Indonesia, sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Yang menjadi masalah adalah karena semua jalan-jalan diberi median yang membagi dua jalur arah yang berlawanan. Susunan rumahnya juga tidak diatur dalam blok-blok seperti bangunan kota modern pada umumnya. Mungkin karena daerah pinggiran. Dengan demikian usahaku dengan membelok di persimpangan, dengan harapan bisa kembali ke jalan semula, ternyata tidak membantu. Sampai satu saat dimana aku tidak lagi tahu sudah berada di mana. Kebetulan aku melihat sebuah kios suvenir di pojok jalan. Aku hentikan mobil ditepi jalan, kemudian turun dan masuk ke kios. Kepada penjaga kios aku bertanya jalan yang menuju ke Bishop’s Grove, sambil menyodorkan kertas bertuliskan alamat kediaman Dubes yang sudah aku siapkan sebelumnya. Penjaga kios seorang perempuan setengah tua kemudian mengambil sebuah buku peta ukuran pocket-book, membuka-buka halamannya sebentar kemudian memberi tanda dan menunjukkannya kepadaku. Aku mengangguk-angguk meskipun sebetulnya tidak paham. Dia katakan harga peta itu 34 pence. Aku ambil segenggam koin yang ada di kantong celanaku, kemudian menaruhnya di meja dan mempersilahkan penjaga kios untuk mengambilnya sendiri. Setelah mengambil kembali sisa koin dan mengucapkan terima kasih, aku kemudian keluar kios dan kembali masuk ke mobil karena cuaca London waktu itu sudah cukup dingin.
Aku kembali duduk di belakang stir kemudian membalik-balik lembaran buku peta dalam upaya mempelajari arah jalan pulang. Ternyata tidak mudah. Terus terang itu adalah pertama kalinya aku melihat peta dalam bentuk buku. Aku kemudian menghidupkan kembali mobil dan mencoba mengikuti jalan yang tergambar di peta. Beberapa kali aku terpaksa berhenti untuk mempelajari peta tetapi ternyata tetap gagal. Kemudian aku hentikan mobil di pinggir jalan yang cukup aman, untuk mencoba mempelajari peta kembali.
Setelah hampir putus asa tiba-tiba aku melihat ada taksi yang melintas. Tanpa berpikir panjang aku berteriak “Taksi!”. Setelah taksi berhenti aku datang menghampiri.
Pengemudi taksi mempersilahkan aku naik dan menanyakan tujuanku, tetapi aku menolak. Dia sedikit bingung. Kemudian aku sodorkan kertas yang sudah aku tulisi alamat tadi. Aku jelaskan bahwa aku kesasar, dan tidak tahu lagi jalan pulang. Aku minta kepadanya mengemudikan taksinya menuju ke alamat yang aku tunjukkan. Aku sendiri tidak ikut naik karena harus mengemudikan mobilku sendiri. Pengemudi taksi nampaknya memahami apa mauku karena kemudian menerima kertas alamat yang aku berikan, membaca sekilas, kemudian sambil tersenyum memberi tanda kepadaku untuk mengikutinya.
Tidak sampai sepuluh menit taksi sudah sampai di Bishop’s Grove.
Ternyata Marinir, prajurit andalan ALRI, masih bisa kesasar....?!!

***
(Copas dari buku "Sosok Seorang MARINIR BANYUMAS", Otobiografi Mayjen TNI (Mar) Sudarsono Kasdi)

BAJU LETNAN PANGKAT JENDERAL  (1973)

Salah satu tugas ADC adalah menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan
kelengkapan yang diperlukan oleh pejabat yang diajudani, mulai dari menyusun acara dan mengkoordinasikan jadwal kegiatan, menyiapkan naskah pidato atau sambutan, sampai dengan menyediakan alat kelengkapan pribadi termasuk pakaian. Ada kejadian menggelikan berkaitan dengan hal terakhir :
Hari itu adalah tanggal 26 Agustus 1973, di kapal RI Samadikun, dalam rangka kunjungan Kasal ke Armatim, yang merupakan kunjungan pertama ke Kotama ALRI setelah pelantikan beliau sebagai Kasal. Pada kunjungan dinas yang pertama itu beliau berkenan naik kapal perang, dalam hal ini RI Samadikun.
Karena aku baru beberapa hari menjabat sebagai ADC, maka yang menyertai beliau adalah Ltn Budhi, ADC Kasal yang sudah menjabat sejak beliau menjabat Kasum Abri. Aku sendiri hanya mengantar sampai ke pelabuhan Tanjung Priok.
Dua hari kemudian aku menjemput beliau di Airport Kemayoran. Pada waktu rombongan turun dari pesawat terbang, Kasal menunjuk kearahku sambil tersenyum- senyum. Bahkan ibu dan ADC ibu, Srs Lucy Spidjan, nampak tertawa geli sambil memandangiku. Sebaliknya Ltn Budhi aku lihat tampangnya kecut, dan nampak
bersungut-sungut sambil menunjukkan kepalan tangan kepadaku. Aku tidak habis pikir apa yang salah dengan diriku. Baru setelah kami semua tiba di kediaman, Srs Lucy menceritakan apa yang telah terjadi:
Ceritanya, pada saat RI Samadikun mendekati dermaga Madura, Pangkalan ALRI Ujung, Surabaya, Kasal masuk ke kamar untuk menukar pakaian dengan tenue upacara PDU-I. Beberapa menit kemudian terdengar pengumuman agar ADC Kasal segera menghadap AL-1 di ruang komandan. Setelah Ltn Budhi masuk ke kamar, Kasal menanyakan tenue PDU-I beliau. Dengan mantap Ltn Budhi menunjuk pada PDU-I yang tergantung di kapstock yang sejak pagi sudah dia persiapkan. Kasal kemudian mengangkat PDU-I yang ada di gantungan baju, kemudian mencampakannya ke lantai sambil berkata: “Mana ada baju PDU-I saya yang celananya cutbray?” katanya, “Ini bukan baju saya” lanjut beliau. Sampai saat itu Ltn Budhi masih belum sadar apa yang terjadi. Tetapi setelah memungut dan mengamati PDU-I yang dicampakkan Kasal, barulah Ltn Budhi merasa tubuhnya lunglai seolah dilanda penyakit lumpuh, layu secara tiba-tiba.
“Baju siapa itu?” tanya Kasal lagi. Dengan suara bergetar Ltn Budhi menjawab lirih “Letnan Sudarsono Kasdi”.
Rupanya Ltn Budhi telah keliru memasang pangkat Laksamana pada PDU-I milikku yang berada di gantungan baju di ruang ADC, yang juga digunakan untuk menggantung pakaian dinas Kasal. Ltn Budhi mengira pakaian PDU-1 itu adalah kepunyaan Kasal karena warna putihnya yang nampak paling bagus. Tentu saja, karena baju itu adalah milikku yang baru aku ambil dari penjahit.
Ltn Budhi kemudian diperintahkan untuk memanggil pejabat teras peserta rombongan Kasal yang ada di kapal yang postur tubuhnya kira-kira sama dengan badan Kasal. Ltn Budhi kemudian menuju ke longroom perwira dimana para Pati pejabat teras Mabal berkumpul menunggu. Dia kemudian memilih salah satu Pati yang diperkirakan posturnya sama dengan Kasal, kemudian memberitahu bahwa beliau diperintahkan menghadap Kasal. Ltn Budhi sendiri tidak berani memberi tahu untuk apa pejabat tadi dipanggil, sehingga yang bersangkutanpun menjadi bingung karena setiap kali pejabat yang dipanggil tadi masuk ke ruangan, Kasal hanya mengatakan “Kebesaran!” atau “Kekecilan!”. Sampai akhirnya tiba gilirannya Laksma TNI M. Mochtar, dimana Kasal langsung memerintahkan : “Buka bajumu, kamu tidak usah ikut upacara!”.
Laksma Mochtar sempat bingung sejenak, tetapi begitu menyadari kalau Kasal masih berpakaian kaos oblong dan celana kolor, beliau segera faham apa maksudnya. Segera pak Mochtar kembali ke kamarnya diikuti oleh Ltn Budhi, kemudian membuka
pakaiannya dan menyerahkannya kepada Ltn Budhi, yang segera menukar pangkat- nya dengan pangkat Laksamana.

***
(Copas dari buku "Sosok Seorang MARINIR BANYUMAS", Otobiografi Mayjen TNI (Mar) Sudarsono Kasdi)

Sabtu, 20 Januari 2018

ANJANGSANA ALA KADET

ANJANGSANA ALA KADET (1968)

Pejabat Kepala Regu yang tergabung dalam Peleton kami adalah rekan Siswa (Sms Tal) Parluhutan Batubara, Achmad Yan dan aku sendiri. Ada kejadian yang tidak mungkin aku lupakan. Ceritanya begini:
Setelah hari gelap rekan A.Yan dan Batubara mengajakku untuk ngampung (maksudnya bertandang ke kampung), untuk mencari tambahan gizi. Aku tanya apakah ada yang punya uang, mereka menjawab tidak ada. Tapi A.Yan punya ide brilyan. Caranya adalah dengan berlagak bertamu seolah sedang tugas anjangsana ke rumah-rumah penduduk. Batubara dan aku setuju. Jadilah kami jalan masuk ke kampung. Kebetulan kami melihat ada satu rumah yang tidak tahu sedang berhajat apa, tapi di atas balai-balai teras rumahnya ada sekitar sepuluh orang duduk bersila membentuk lingkaran. Salah seorang dari mereka terdengar sedang membaca ayat- ayat suci Al Qur’an.
Kami bertiga mendekat dan A.Yan menyampaikan salam “Assalamualaikum!” yang dibalas oleh mereka dengan “Alaikumsalam!”. Sesuai rencana A.Yan langsung menyampaikan maksudnya untuk beranjang-sana. Dengan antusias mereka menerima kami dan mempersilahkan kami untuk ikut duduk melingkar di atas balai-balai.
Posisi duduk kami, yang paling kanan selang satu orang dari orang yang sedang membaca kitab suci, adalah Batubara, yang ditengah A. Yan, dan aku ada di posisi paling kiri. Tiba-tiba aku lihat begitu surat selesai dibaca, Al Qur’an diberikan kepada orang yang duduk di sebelah kirinya. Semula aku tidak curiga, tetapi setelah orang yang diberi kitab tadi selesai membaca ternyata Kitab diberikan kepada orang yang berada di sebelah kirinya yang tidak lain adalah rekanku Batubara. Batubarapun kemudian juga membacanya. Aku sempat terkesiap dan was-was, karena setelah Batubara selesai membaca pasti akan diserahkan kepada giliran berikutnya yaitu A.Yan, yang pada gilirannya nanti pasti akan diberikan kepadaku. Padahal sepotong huruf Arab-pun aku tidak tahu. Dengan siku tangan kananku aku senggol tangan kiri A.Yan sambil aku bisiki kalau aku nggak bisa baca Qur’an. Tapi konyolnya A.Yan tidak bereaksi apapun. Berulang-ulang aku senggol tangannya tetap saja tidak bereaksi.
Dugaanku ternyata benar, karena setelah Batubara selesai membaca kemudian menyerahkan kepada A.Yan yang kemudian juga membaca dengan fasihnya. Bisa dibayangkan bagaimana dahsyatnya detak jantungku menghadapi situasi yang tidak mungkin bisa aku atasi selain bertekuk lutut menyerah tanpa syarat.
Tapi ternyata drama sebabak berakhir dengan happy-ending. Rekan A.Yan yang aku duga setelah selesai membaca akan menyerahkan kepadaku ternyata kemudian meletakkan kitab suci Al Qur’an ke tengah lingkaran dan mulai mengajak ngobrol kesana-kemari. Terasa darahku yang tadi terasa membeku mencair kembali, dan senyum basa-basipun mulai bisa aku tampilkan.
Beberapa saat kemudian keluarlah tumpeng besar dengan segala kelengkapannya di letakkan ditengah lingkaran. Salah seorang yang mengenakan sorban kemudian membaca doa, sebelum tumpeng kemudian dibongkar untuk kami makan bersama. Tumpeng yang ternyata terbuat dari tepung jagung dengan lauk ayam bakar, ikan asin dan sayur urap aku rasakan demikian nimat. Setelah selesai makan sisa tumpeng seluruhnya diberikan kepada kami yang katanya untuk makan malam anak buah. Ternyata rencana siswa A.Yan berjalan sesuai yang diharapkan.

***
(Copas dari buku "Sosok Seorang MARINIR BANYUMAS", Otobiografi Mayjen TNI (Mar) Sudarsono Kasdi)

KADET MABUK

KADET MABUK  (1965)

RI ABN adalah unsur Komando Jenis Kapal Amfibi (Kojen Amfib) Armada RI yang tergabung dalam Satuan Gugus Angkut dalam Operasi Dwikora.
Pada waktu itu KRI ABN bertugas mengangkut kendaraan amfibi (ranfib) tank dan panser KKO dari Surabaya menuju ke Bintan, dalam rangka persiapan serbuan pasukan ke Singapura. Kami para Kopral Kadet mendapat tugas sebagai Pengawas di atas anjungan. Sesekali kami diperintahkan untuk memegang kemudi. Waktu itu kebanyakan dari kami baru pertama kali naik kapal laut. Tidak heran kalau banyak dari kami yang mabuk laut. Kebetulan ombak di sekitar selat Karimata memang sedang besar-besarnya.
Pada satu hari hampir seluruh awak kapal yang sedang bertugas jaga larut malam mabuk semua kecuali Palaksa, seorang Bintara Jaga dan aku sendiri. Di anjungan sudah siap dua ember untuk menampung muntah. Salah satunya oleh palaksa dikalungkan ke leher kelasi pengemudi karena terlalu seringnya dia muntah. Begitu kapal oleng ke kiri dan ke kanan yang cukup besar si kelasi sambil tetap berpegang pada kemudi bergumam seolah bertanya kepada dirinya sendiri : “Pirang derajat iki leee?”.
Seorang temanku yang kebetulan juga bertugas jaga malam itu tidak hadir. Palaksa bertanya kepadaku, yang aku jawab bahwa temanku tidak bisa bangun karena mabuk laut. Palaksa memerintahkan aku memanggilnya, tetapi tetap saja temanku tadi tidak mau bangun. Kemudian Palaksa sendiri didampingi aku untuk menunjukkan tempat tidurnya, turun ke kamar kami untuk membangunkannya. Ternyata temanku tadi tetap tidak mau bangun, bahkan menjawab dengan suara pelan sedikit gemetar: ”Tembak saja kepala saya Palaksa!” Rupanya semenjak kapal memasuki selat Karimata dia sudah mabuk laut sehingga sama sekali tidak bisa makan, karena bau makanan saja meskipun hanya roti kabin (semacam roti keras pengganti makan yang disiapkan apabila dapur kapal tidak bisa berfungsi) mau muntah, meskipun sebetulnya sudah tidak ada lagi yang keluar dari dalam perutnya kecuali cairan lambung berwarna kuning bercampur liur. Waktu itu memang belum dikenal obat anti muntah semacam ‘Antimo’ seperti yang sekarang banyak kita temukan di apotik.
Mendengar jawaban temanku tadi Palaksa bukannya marah tetapi malah membetulkan letak selimutnya dan kembali ke anjungan.
Keesokan harinya setelah ombak reda Palaksa memerintahkan temanku tadi ngenteng geladak kapal (membersihkan karat dengan palu) hampir sehari penuh.

***
(Copas dari buku "Sosok Seorang MARINIR BANYUMAS", Otobiografi Mayjen TNI (Mar) Sudarsono Kasdi)

THREE MUSKETEER MASUK KOTA

THREE MUSKETEER MASUK KOTA (1965)

Seperti halnya di AAL, pada hari-hari pesiar kepada kami, "Kadet Cilandak", juga diberikan kesempatan untuk pesiar.
Suatu hari aku bersama dua temanku asal Banyumas, Kpl Kdt Hantopo dan Kpl Kdt Paiman Eko Susanto, berniat ikut-ikutan pesiar. Tujuannya tidak jelas, tapi kalau bisa kami ingin melihat tempat-tempat terkenal yang sering kami dengar di radio atau membaca di koran, seperti Tugu Monas, Lapangan Banteng, atau Gelora Bung Karno. Menurut sopir bus, sesuai rute pengantaran pesiar yang akan dilalui kami bisa turun di Pasar Minggu, Pancoran, Jatinegara, atau Kwini sebagai tujuan akhir. Ditambahkannya bahwa bus penjemputan nanti akan melalui tempat itu juga. Kami memilih akan turun di Jatinegara, sebuah nama yang sepertinya lebih familiar di benak kami. Tiba di satu tempat yang belakangan aku ketahui adalah pertigaan Gg Kelor dan Matraman - Jatinegara (sekarang Jalan Slamet Riyadi) bus berhenti dan kami bertiga dipersilahkan turun. Kepada kami diingatkan untuk menunggu penjemputan di sini juga tidak lebih dari pukul sebelas malam.
Dengan berpakaian tenue II/B (gabardine abu-abu) lengkap dengan ponyard di kiri paha, kami turun. Setelah tolah-toleh sebentar kami bertanya kepada seseorang yang kebetulan kami temui di sana, kemana arah menuju Gelora Bung Karno, Lapangan Banteng atau Monas? Kami mendapat jawaban katanya jauh sekali.
Mendengar jawaban seperti itu Paiman langsung menyahut, "Kadet AAL sudah terbiasa berjalan jauh". Ditambahkannya, "kami bahkan pernah berlari dari Bumi Moro ke Wonokromo pulang pergi!"
Yang ditanya tidak berkomentar. Mungkin karena dia tidak faham Surabaya, atau mungkin juga karena dia berfikir akan percuma saja menanggapi ucapan Three Musketeer gendeng yang lagi kesasar di Jakarta. Dia lantas menunjuk jalan Matraman ke arah utara. Bertiga kami berjalan mengikuti arah yang ditunjuk orang tadi.
Dalam formasi syaf tiga khas kadet, dengan langkah mantap kami susuri jalan Matraman. Pada waktu itu khususnya pada malam hari, jalan Matraman belum ramai seperti saat ini. Kendaraan yang melintaspun masih sangat jarang. Suasana terasa sangat sepi. Yang terdengar hanya “pyek,... pyek,... pyek,...” bunyi rantai kecil yang beradu dengan tiga ponyard yang menggantung di samping kiri paha kami, diselingi dengan bunyi khas “kiyet, ...kiyet” dari sepatu pesiar ALRI yang jarang kami pakai. Kombinasi bunyi ponyard dan sepatu yang ditimbulkan oleh langkah teratur tiga kadet mampu menciptakan komposisi bunyi-bunyian indah layaknya irama lagu merdu tanpa syair.
Kami merasa sepertinya semua orang yang kami jumpai, termasuk para pengendara mobil yang berpapasan maupun yang menyalip, semuanya melihat ke arah kami.
Sampai di jalan pertigaan Salemba kami sempat ragu, karena langit di ujung jalan yang mengarah ke kiri lebih terang dari pada jalan yang lurus. Kami bertanya kepada seseorang kemana arah jalan itu, yang dijawab bahwa jalan itu menuju ke Hotel Indonesia (HI).

Mendapat jawaban itu kami kemudian berunding sebentar. Temanku Hantopo mengusulkan ke HI saja, alasannya selain langit di atasnya lebih terang, juga karena dia pernah mendengar HI adalah hotel termegah di Indonesia. Akhirnya kami sepakat untuk merubah arah haluan 90 derajat ke kiri menuju HI. Kaki sudah mulai terasa lemas tetapi masih mampu tetap berjalan tegap gaya kadet.
Sampai bunderan HI kami berhenti untuk menikmati pemandangan Hotel Indonesia, hotel termegah yang ada pada waktu itu. Kami kitari jalan melingkar yang mengelilingi dua lempeng tiang beton yang di puncaknya berdiri patung sepasang muda-mudi yang sedang melambaikan tangan sambil memegang seikat bunga. Belakangan aku tahu itu adalah patung ‘Selamat Datang’ yang dibangun bersamaan dengan pembangunan Hotel Indonesia dan Gelanggang Olah Raga (Gelora) Bung Karno untuk menyambut datangnya para atlit peserta pesta olah raga negara-negara berkembang atau Ganefo.
Rasa penat sementara tidak terasa. Mungkin karena terhibur oleh perasaan bangga menyaksikan bangsa ini telah memiliki hotel megah. Kami lihat jalan ke arah selatan langitnya terang benderang. Dari seseorang kami mendapat penjelasan bahwa di arah sana adalah Gelora Bung Karno, yang menurut keterangannya sudah tidak jauh lagi. Tanpa berpikir panjang kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Gelora Bung Karno sesuai arah yang ditunjukkan oleh orang tadi.
Belum terlalu jauh berjalan ternyata rasa penat dan loyo mulai muncul kembali. Aku tarik tangan Paiman untuk melihat jam di tangan kirinya. Jarum jam menunjukkan pukul 21.50. Aku berucap seperti bertanya kepada diriku sendiri, “Apa kira-kira bisa sampai di Gang Kelor sebelum jam sebelas ya?”. Tiba-tiba temanku Hantopo berhenti. Tanpa diperintah lagi aku juga ikut berhenti kemudian diikuti pula oleh Paiman. “Bagaimana ini Man?” tanya Hantopo kepada Paiman.
“Memangnya jam berapa tadi kita dari Gang Kelor?” Paiman malah balik bertanya, yang aku jawab, “sekitar jam setengah delapan”. Dengan suara datar seolah tidak ada yang perlu dipersoalkan Paiman berkata, “Ya, nggak nyampe dong!”. Mendengar apa yang dikatakan Paiman aku langsung balik kanan, dan berjalan kembali menuju ke arah HI sambil setengah berteriak “Ngaco tenan kalian, ayo sudah, kita kembali, wong Gelora Bung Karno nggak kemana-mana, kapan-kapan kan bisa!”. Paiman ikut balik kanan mengikuti dibelakangku sambil tertawa cekikikan, yang kemudian diikuti oleh Hantopo sambil mengerutu, “Dasar kamu, Man... Man!”.
Ternyata perjalanan kembali jauh lebih sengsara ketimbang berangkatnya. Sampai di UI Salemba badan betul-betul sudah loyo. Rasa penat, capai, dan haus campur-baur melanda kami. Kaki sudah mulai kaku dan bahu sudah sulit untuk diangkat dan ditarik ke belakang agar tetap bisa terlihat tegap. Sementara itu jalan masih cukup jauh. Di sepanjang jalan yang kami lalui sama sekali tidak ada restoran atau rumah minum yang pantas untuk disinggahi kadet. Di depan RS. St. Carolus kami lihat ada warung dorong dimana di depannya terdapat dua becak yang sedang parkir. Beberapa botol limun yang terlihat dipajang di depan lampu petromak menciptakan semburat korona sinar kuning, hijau dan merah yang sungguh menggoda selera tiga insan dahaga. Namun meski leher rasa tercekik dan jakun bergerak naik turun seirama dengan langkah kaki pemiliknya, namun indahnya pancaran sinar petromak belum mampu menggoyahkan kepribadian tiga kadet laut yang sedang dirundung dahaga. Kami hanya bisa memandang dan membayangkan betapa nikmatnya, tetapi tidak ada keberanian untuk mampir di situ. Motto ‘Hree Dharma Shanti’ benar-benar kami tegakkan, meskipun sikap dan cara berjalan khas kadet ‘kepala tegak, dagu ditarik, dada dibusungkan dan pandang lurus ke depan’ sudah tidak lagi bisa dipertahankan. Perasaan lemas dan loyo memaksa kedua pundak jatuh terkulai dan punggung terpaksa harus sedikit membungkuk. Apabila ada kendaraan lewat yang lampunya menyorot kearah kami, kami berusaha berjuang sekuat tenaga menegakkan kepala dan membusungkan dada sambil mengumpat pelan, “Sialan, cepat lewaaaat, monyong!” Untunglah saat itu jalan sudah sepi, sehingga hanya sesekali saja ada kendaraan yang melintas.
Sampai di Gang Kelor keadaan sudah sangat sepi. Rumah di sekitar tempat menunggu bus juga sudah gelap, kecuali satu dua lampu penerang di luar rumah. Tanpa ada yang memberi komando kami bertiga mengambil sikap jongkok, kemudian meluruskan lutut untuk melemaskan kaki. Kemudian kami duduk di broeg yang menutup got di depan salah satu rumah. Sikap yang tidak akan ditemui di buku Pedoman Kehidupan Kadet atau Ketentuan Pemakaian Tenue II-B. Apa boleh buat, dari pukul 19.30 tadi kami belum sempat menekuk penuh lutut atau meluruskan kaki. Saat itu jarum jam Paiman menunjukkan hampir pukul dua belas malam. Berarti tidak ada lagi harapan akan ada jemputan. Kami semua diam tanpa mendiskusikan jalan keluar dari ‘nasib’ yang sedang melanda dan akan menimpa kami bertiga. Untung tidak begitu lama ada kendaraan lewat yang menuju ke arah Manggarai. Bertiga kami berdiri memandangi dengan penuh harap. Betapa kecewa karena kendaraan yang ternyata sebuah mobil Gaz Komando warna gelap lewat melintasi kami begitu saja. Terdengar jelas hembusan panjang napas keluar dari hidung kami bertiga menandakan sikap pasrah pada situasi yang sedang kami alami. Tetapi tiba-tiba terdengar bunyi berderit gesekan ban mobil dengan aspal jalan. Kemudian kami lihat mobil tadi berhenti sekitar 30 meter dari tempat kami berdiri. Sesaat kemudian mobil tadi mundur kembali kearah kami, dan berhenti tepat di depan kami bertiga. Kami dengar pengemudinya berteriak, “Kadet, kalian mau kemana malam-malam begini?” Kami jawab bahwa kami mau pulang ke asrama KKO Cilandak. Kemudian pengemudi tadi mempersilahkan kami naik. Tanpa menunggu perintah ulangan kami langsung naik ke kabin belakang. Kami lihat disamping pengemudi duduk seorang ibu muda. Dari pembicaraan selama di kendaraan kami tahu bahwa pengemudi tadi adalah seorang perwira menengah TNI-AD berpangkat Mayor bersama isterinya. Menurut ceritanya, beliau tinggal di kawasan Cijantung. Kami hanya bergumam seolah faham apa yang disampaikan, meskipun sebenarnya tidak seorangpun dari kami bertiga yang tahu dimana itu Cijantung. Kami diantarkan sampai ke depan pintu gerbang ksatrian KKO Cilandak.
Pada saat kami melapor ke petugas jaga, aku lihat jam dinding di penjagaan menunjukkan sudah hampir pukul dua malam. Kebetulan Perwira Jaga sudah istirahat. Oleh Bintara jaga kami hanya diminta mencoret nama kami di daftar pesiar, sebagai tanda bahwa kami sudah masuk kembali ke asrama. Alhamdulillah, Tuhan Maha Tahu kami sudah sangat loyo. Bisa dibayangkan seandainya Perwira Jaga mengetahui kami terlambat pulang pesiar, pasti kami diperintahkan berlari untuk mengukur keliling lapangan apel Ksatrian Cilandak beberapa kali putaran.

***
(Copas dari buku "Sosok Seorang MARINIR BANYUMAS", Otobiografi Mayjen TNI (Mar) Sudarsono Kasdi)

SENIOR KAYA BAGONG

SENIOR KAYA BAGONG  (1964)
Selama masa perploncoan kadet waktu itu  semua aturan hukum tidak berlaku kecuali hukum yang ditetapkan oleh para senior, yaitu ‘Senior can do no wrong’.
Aturan hukum tidak tertulis ini, yang nampaknya berlaku universal bagi calon kadet atau mahasiswa, ditanamkan melalui lagu yang harus kami nyanyikan pada setiap kami berbaris, yang liriknya demikian :
We following the senior, the senior, the senior,
We following the senior, wherever they may go,
Senior, senior, senior can do no wrong ( X 3)
Senior can do no wrong, can do no wrong!.
Pada kegiatan di luar asrama, dimana kami hanya didampingi bintara instruktur, kalimat “can do no wrong” biasa kami ubah menjadi “kaya Bagong”, sehingga bait terakhir liriknya menjadi :
Senior, senior, senior kaya Bagong, X 3
Senior kaya Bagong, kaya Bagong.

***
(Copas dari buku "Sosok Seorang MARINIR BANYUMAS", Otobiografi Mayjen TNI (Mar) Sudarsono Kasdi)

DRAMA SEBABAK DI RUANG TAMU KBRI LONDON

DRAMA SEBABAK DI RUANG TAMU KBRI LONDON  (1975)

Banyak yang tidak tau kalo aku pernah bertugas 4 tahun di London. Aku memang rada introvert, tertutup. Aku tdk ingin jeroanku diketahui banyak orang, sehingga kalo ditanya teman, ngapain selama 4 tahun di London? aku cuma bilang, "enjoy life, nongkrong di Pub atau kalo lagi iseng ke Playboy Club, main judi, sambil minum2 bir.."

Cerita ini adalah pengalamanku yang paling mengesankan selama aku dinas aktip, yang tidak pernah aku ceritakan selama lebih dari 30 tahun. Seperti halnya CIA, dimana dokumen rahasianya boleh dipublish setelah 30 tahun, demikian juga aku sekarang mau buka rahasia yang bagi sementara orang mungkin memalukan, tapi tidak bagiku...

Crita ini rada panjang, jadi kalo ada yang bosan langsung didelete saja... hehe..

***
Kisah ini diawali pada tahun 1970 ketika aku bertugas di Kompi Kawal Hankam, dibawah Detasemen Keamanan Korp Markas Hankam. Dan Korma Hankam waktu itu Mayjen TNI Herman Sarens Sudiro, dari Korps Kavaleri. Aku tidak tau apakah beliau dari korps kavaleri berkuda, tapi yg jelas beliau mengelola banyak kuda di kawasan Jl. Buncit Raya. Itulah sebabnya mengapa aku sudah bisa naik kuda, jauh sebelum Prabowo mengenal kuda.

Tugas Ki Kawal sesuai namanya, adalah mengawal pejabat teras dan tamu2 Hankam. Kalo ada tamu dari luar negeri nginapnya di HI, satu-satunya hotel bonafid yang ada waktu itu. Untuk mendukung pengawalan kepadaku diberikan satu kamar yang digunakan sebagai Posko pengamanan. Makan apa saja aku tinggal teken. Kesempatan itu aku gunakan untuk mentraktir teman-temanku dari Cilandak, untuk makan gratis di hotel. Idep2 ngasih pengalaman teman2 KKO yang selama itu hanya kenal makanan asrama.

Pada penugasan itu aku jadi sering bertemu teman ADC para pejabat teras Hankam. Aku suka ngeledek mereka dengan panggilan Gary Cooper. Garry Cooper adalah bintang film Amerika tahun 50-an, yang dulu kita kenal dalam film High Noon bersama Grace Kelly, yg kemudian dinikahi oleh Pangeran Rainier III dari Monaco. Tapi nasibnya tragis, meninggal karena kecelakaan mobil yg dikendarai Stephanie, anaknya yang baru berusia 17thn, masuk jurang sedalam 20 meter.
Kenapa aku panggil Garry Cooper?  karena yg aku liat ADC tugasnya ng-carry-in koper boss..

Sialnya ketika Kasum Hankam, Laksdya TNI Subono diangkat menjadi Kasal, beliau bilang sama Pak Herman Sarens, "Aku mau KKO yg di Kompi Kawal itu jadi ADC-ku."

CELAKA 13!  (Celaka 12 saja sudah parah..hehe).  Bayangin.., aku yg selama itu ngeledek teman-teman ADC, taunya aku sendiri mau dijadikan ADC.

Begitu diinfo pak Herman Sarens aku langsung berusaha menolak, dengan alasan masih ingin berkarier di pasukan. Kebetulan beliau tidak keberatan sehingga aku tenang.
Tapi berselang tiga hari aku dipanggil menghadap lagi, dan tanpa basa-basi beliau langsung berkata, "saya baru ditilpon Kasal, kamu sekarang juga dipanggil menghadap beliau".  Aku langsung jawab, "Siap kerjakan!", menghormat trus balik kanan, banting...

Di Mabesal aku diterima Aspers Kasal. Aku kena damprat, "Kamu diperintah Kasal jadi ADC beliau, berani menolak? Sekarang kamu menghadap, Kasal sudah menunggu!"
Aku katakan, "Siap kerjakan!", kemudian menghormat balik kanan banting.., persis seperti yg aku kerjakan didepan Dan Korma Hankam tadi pagi.

Aku langsung menghadap Kasal. Beliau tidak memberi arahan apapun kecuali, "Sekarang kamu tidak lagi pulang ke asrama Kiwal di Slipi, tapi pulang ikut aku ke Wisma Elang Laut". (Wisma Elang Laut adalah kediaman Kasal waktu itu).
Untuk ketiga kalinya hari itu aku ucapkan "Siap Kerjakan!"  menghormat, balik kanan banting.

***
Laksamana Subono menjadi Kasal ternyata tidak lama. Beliau kemudian ditugaskan menjadi Dubes RI di London.
Culakanya, beliau memerintahkan aku untuk menjadi Sekpri Dubes (Private Secretary to the Ambassador.)
Pertanyaannya, Kenapa Celaka? padahal gajinya 60 kali lebih besar dari gaji seorang Kapten KKO waktu itu?
Jawabannya, "Karena bahasa Inggris saya NOL BESAR".

Mungkin ada yg belum tau kalo aku SMAnya hanya 2 tahun. Bukan karena aku berhasil menyelesaikan SMA dalam dua tahun, tapi karena pada kenaikan ke klas tiga aku dipecat, dikeluarkan gara2 nilai bhs Inggrisku 2 (nilai mati), disamping juga karena prestasiku dibidang kabur dari kelas, khususnya pada pelajaran bhs Inggris juga cukup tinggi. SMA Bruderan memang menerapkan disiplin dengan sangat keras.

Kembali pertanyaannya, "Kenapa aku sering kabur dari kelas pada mata pelajaran bahasa Inggris?"
Jawabannya karena aku malas ikut pelajaran Bhs Inggris, karena guru bahasa Inggrisku keliatannya sentimen sama aku. (Suudzon ni yee.. hehe.)
Kenapa?  Karena, ketika beliau naksir cewek, aku malah iseng pindah kos di rumah cewek itu, padahal rumahku sendiri tidak sampe 1 km jaraknya dari rumahnya si cewek.
Dampaknya, beliau jadi tidak pernah berhasil ngapelin cewek itu, karena setiap kali ngapel hanya ditemui oleh ibunya yang kebetulan juga guru bhs Inggris di SMP Susteran. Dan si cewek itu sendiri malah ngajak aku kabur lewat pintu samping.. hehe.  (Tapi tolong crita itu jangan disampaikan ke bojoku... bisa-bisa aku tidur dapat punggung dan gak diajak ngomong seminggu... hehe)

Jadi riwayat sekolahku itu kira2 sama dengan ibu Susi, cuma aku lebih beruntung, karena pada tahun berikutnya dengan modal "Ijazah Pelengkap" di klas dua, aku bisa ikut ujian SMA melalui program ekstranee. Dan alhamdulullah lulus, sehingga dengan modal ijazah SMA aku bisa mendaftar masuk AAL..

***
Kembali ke crita tadi .. sampe dimana? O ya, aku diminta ikut ke London.

Untuk menghindar dari perintah itu aku juga sempat lapor ke Dan Kormar supaya gak diberangkatkan ke London, dengan alasan karena lichtingku akan segera masuk sekolah Diklapa. Tapi ternyata Dan Kormar malah memberi surat jaminan untuk aku BEBAS DIKLAPA, meski belakangan sekembali dari London, ketika aku minta diikutkan Pasmar yang akan berangkat operasi ke Timtim, beliau menolak dan surat jaminan yg dibuat oleh DanKorps lama beliau sobek. Beliau memerintahkan aku ikut pendidikan Diklapa yang segera akan dibuka, dengan alasan demi karier saya ke depan.

Habis deh usahaku, Tidak ada lagi alasan yang bisa membatalkan perintah Kasal. Siap tidak siap aku harus berangkat ke London menjadi Sekpri Dubes.
Akhirnya aku coba menghibur diri, "Tarzan saja bisa bicara sama monyet, mosok aku gak bisa ngomong sama sesama manusia?"

Dalam perjalanan dari Indonesia ke London, tentu saja aku yang bertindak sebagai kepala rombongan. Rombongan sempat mampir dan menginap di Singapore dan Amsterdam.
Ternyata perjalanan lancar-lancar saja, dan petugas custom di airport maupun petugas hotel di Singapore dan Amsterdam tidak lebih bodoh dari monyet... hihihi

***
Nah sekarang, Sampailah ke topik cerita pengalaman yg paling mengesankan saya selama 32 tahun dinas aktif.

Pada akhir tahun 1975 tepatnya tgl 7 Des 1975, headline koran2 di London memuat berita, kalo Indonesia, dengan menggunakan pesawat dan kapal sisa PD-II menyerbu dan menduduki Timtim.  Pagi2 penjaga kedutaan sudah menilpon, memberitau bahwa menerima informasi dari polisi, kalau KBRI nanti akan didemo.

Ketika Dubes tiba di KBRI, di Grosvenor Square, taman di depan KBRI sudah penuh dengan orang-orang yang demo sambil mengacung2kan poster memprotes Indonesia yang telah menganeksasi Timtim. Di depan pintu dijaga dua polisi Inggris dengan topinya yang khas.

Dubes langsung masuk dan naik ke kamar kerjanya. Kabag Politik kemudian melapor ke Dubes bahwa perwakilan pendemo minta untuk menghadap Dubes.
Dubes kemudian memanggil aku dan merintahkan agar aku saja yang menemui mereka.
Waduh.. CELAKA 14

Tapi tanpa berpikir lagi aku langsung "Siap Kerjakan!"   Aku hanya ingat satu motto Marinir manapun, bahwa, "Pada situasi kritis Marinir harus tampil paling depan".
Pokoknya, To be or not to be... apapun yg akan terjadi aku hrs hadapi mereka..

Aku langsung turun ke ruang tamu yang cukup besar tanpa ditemani siapapun. Dua orang aku silakan masuk dimana aku sudah siap berdiri di tengah ruangan. Aku tidak persilahkan mereka duduk, tapi langsung aku tanya, "What do you want?"
Kemudian mereka nyerocos ngomong panjang lebar, tapi aku cuma liatin saja karena sebetulnya gak mudeng apa yang mereka omongkan. Sebaliknya ketika aku yang ganti ngomong giliran mereka yang bengong... keliatan kalau teu nyaho naon2.. hehe
Akhirnya aku omelin saja mereka pakai bahasa Indonesia campur Banyumas, "Jangan penjorangan loe, skarang kalian ada di wilayah otoritas negara Republik Indonesia, jangan macem2.. Sekarang loe mau apa..?"  kataku sambil melotot ...

Keliatan mereka tambah bingung, mungkin mereka bahkan tidak tau apa yang sedang terjadi. Berdua mereka saling pandang2an tanpa mengucapkan sepatah kata.
Akhirnya salah seorang  mengambil amplop dari kantong jasnya dan menyerahkan amplop kepadaku untuk disampaikan ke Dubes.

Aku langsung terima amplopnya dan printahkan mereka keluar.. "Now you get out..!"

Kemudian aku serahkan surat tadi ke Dubes yang diterima sambil senyum2.
Aku jadi curiga, jangan2 beliau tadi ngintip drama sebabak yang aku mainkan di ruang tamu...
😅😃😂