Sabtu, 27 Januari 2018

NYARIS  (1997)

Selama aku menjabat sebagai Gub AAL, aku merasakan tugas begitu mudah aku laksanakan. Hal itu disebabkan selain karena aku merasa menjiwai, dan pimpinan TNI-AL (Kasal) waktu itu sangat memahami permasalahan yang kami hadapi, sehingga semua saran dan usulan hampir semuanya disetujui dan didukung. Namun beliau juga
mempunyai sifat yang over reaktif terhadap sesuatu yang menyinggung perasaannya, sebelum betul-betul memahami persoalan yang sebenarnya.
Ada satu kejadian yang nyaris membuat aku khilaf.

Bermula dari kunjungan Kasal dalam rangka Hari Pendidikan TNI-AL tahun 1997 di Kodikal, Surabaya. Pada kesempatan kunjungan itu, isteri Kasal yang juga selaku Ibu Taruna, diacarakan untuk makan malam bersama taruna. Pada saat menunggu dimulainya upacara, Kasal menginformasikan kepadaku bahwa besok pagi, selesai dari kunjungan ke Gresik beliau akan langsung menuju ke AAL karena Sidang Wanpatjab Pati yang rencananya akan dilaksanakan di Candrasa Armatim, dialihkan ke AAL. Rencananya selesai sidang beliau akan meninjau
peragaan paket kegiatan Kunjungan Wisata ke AAL, yang beberapa hari sebelumnya sudah ditinjau oleh Gubernur Jatim, Basofi Sudirman, Walikota Surabaya Kol Sunarto, dan seluruh Biro Wisata yang ada di Jawa Timur, dibawah kendali Ka Biro Wisata (?) Kol Laut Rio Judojanto. Pada waktu itu aku memang sedang merintis untuk mencoba menjadikan AAL sebagai salah satu sasaran kunjungan wisata di Surabaya.

Selesai upacara di Kodikal Dan Lantamal III menemuiku dengan maksud minta dibantu dua pengemudi, untuk mengemudikan bus yang akan melayani Kasal dan rombongan pada saat peninjauan di AAL. Aku langsung menyanggupi. Kemudian aku perintahkan Dan Denma untuk menyiapkan pengemudi bus yang sudah digeladi untuk acara paket
kunjungan wisata.
Kurang lebih pukul 17.00 WIB Dan Denma melaporkan bahwa 2 bus sudah datang di AAL. Ternyata itu adalah bus brand-new yang interiornya baru saja selesai di up-grade.

Sekitar pukul 18.30 ibu taruna tiba untuk acara makan malam bersama taruna. Aku menerima ibu di ruang audio visual. Sambil menunggu waktu dan kesiapan taruna di ruang makan, ibu taruna menyaksikan beberapa peragaan multi media.
Sekitar pukul 18.50 pada saat rombongan akan berangkat ke ruang makan, aku melihat 2 bus tadi masih berada di tempat parkir di samping gedung Gajah Mada, tidak jauh dari ruang audio visual. Disitu juga ada Dan Denma dan pengemudi yang masih mengadakan pengecekan.
Tanpa pikir panjang aku mempersilahkan ibu-ibu untuk naik dan memerintahkan pengemudi untuk mengantar beliau dan rombongan ke ruang makan. Pertimbanganku adalah selain jaraknya yang cukup jauh, juga suasananya yang sudah cukup gelap yang memungkinkan ibu-ibu akan tersandung batu paving.
Pada saat acara sambutan Ibu Taruna, ADC memberitahuku bahwa Kasal memerintahkan agar bus dikembalikan ke bengkel. Meski agak sedikit bingung tapi aku jawab, “ya”.
Besok paginya, masih pagi sekali, Dan Lantamal menilponku, menginformasikan bahwa Kasal marah besar karena aku memerintahkan bengkel untuk mengirimkan bus ke AAL. Beliau juga kecewa karena bus tersebut digunakan Ibu Taruna dan rombongan, padahal rencananya bus tadi baru akan ditampilkan pada saat beliau dan rombongan tiba di AAL hari ini.
Mendengar informasi dan penjelasan tersebut aku tersentak, dan setengah membentak menanyakan kepada Dan Lantamal, kenapa rencana Kasal seperti itu tidak diinformasikan kepadaku. Aku jelaskan bahwa aku tidak pernah memerintahkan bengkel untuk membawa bus ke AAL, dan aku juga tidak pernah tahu rencana tersebut.

Pada saat aku tiba di gedung Candrasa Armatim sekitar pukul 07.00, Kasarma menginformasikan bahwa sidang Wanpatjab tidak jadi dilaksanakan di AAL, tetapi sesuai rencana semula yaitu di Candrasa Armatim. Sampai saat itu aku masih belum tahu bahwa pemindahan tersebut berkaitan dengan kasus bus. Aku baru menyadari pada saat selesai sidang, dimana Kasal memerintahkan semua perwira untuk keluar ruangan, kecuali aku.
Dengan gaya Kadet Senior beliau memanggilku untuk mendekat. Sambil bertolak pinggang dan mata melotot, beliau mengarahkan jari telunjuknya tepat ke kedua mataku, sambil berkata ketus: “Kamu mau coba-coba sama saya? Kamu tahu, sekarang yang berkuasa di Angkatan Laut adalah saya! Kamu bukan apa-apa, dan bukan siapa-siapa. Kalau saya mau, besok pagi-pun kamu sudah bisa out dari Angkatan Laut. Jangan kamu kira saya tidak bisa memecat kamu, dst….dst….”

Mendapat murka beliau seperti itu aku bukannya keder, tetapi justru sebaliknya. Terasa sekali darahku merambat naik ke kepala. Tapi aku masih mampu menahan diri. Dengan tatapan benci tanpa mengeluarkan satu patah katapun aku pandang tajam mata beliau. Diam-diam aku mulai ancang-ancang. Pelan-pelan telapak tangan kanan aku kepalkan, siap setiap saat untuk melepaskan bogem mentah. Dalam hati aku mereka-reka, “Coba saja berani menyentuh mukaku, apalagi sampai memukulku, aku pastikan kepalan ini akan langsung melesat tepat ke rahang”. Aku yakin betul akan bisa mengenainya, karena selain waktu di pasukan aku rajin berlatih karate, juga di rumah aku masih rajin
memukul sandsack. Aku tidak sempat berpikir apa akibatnya seandainya hal itu terjadi. Bersyukur aku tidak perlu bertindak sejauh itu. Mungkin karena beliau melihat gelagat nekatku.

Setelah beliau berhenti berbicara dan diam, aku berkata, “Mohon maaf Kasal, saya belum bisa memberikan penjelasan sekarang. Saya mohon waktu paling lama satu minggu, saya akan menghadap Bapak di Jakarta, untuk menjelaskan permasalahannya”.

Kembali ke AAL aku langsung memanggil Dan Denma dan ADC, untuk minta penjelasan duduk perkaranya. Kemudian aku susun ke dalam laporan khusus dalam bentuk kronologi apa yang aku dengar, apa yang aku perintahkan dan apa yang aku kerjakan. Intinya adalah sama ksekali tidak ada kesengajaanku atau siapapun untuk menyabot rencana Kasal, kecuali betul-betul karena memang kami tidak pernah diberi tahu.

Tiga hari setelah kejadian, aku menghadap Kasal di Mabesal. Setelah beliau membaca laporanku dengan cermat, kemudian beliau berkata singkat, kira-kira begini: “Di”, (beliau selalu memanggilku Kasdi), “Anggap saja waktu itu tidak terjadi apa-apa. Mari kita sama-sama melupakan apa yang telah terjadi. Kita semua akhirnya nanti juga akan pensiun, dan itu tidak lama lagi. Dan kalau sudah pensiun yang ada tinggal bagaimana kita saling bersilaturahmi, dst.-”.
Memang tidak ada permintaan maaf, tapi aku tahu apa yang beliau sampaikan adalah tulus. Dan bagiku itu sudah cukup, sehingga dari lubuk hatiku yang paling dalam tanpa harus diminta aku sudah memaafkan beliau.

Sejak itu hubungan kami menjadi jauh lebih baik, meskipun gayanya masih tetap saja gaya khas senior anak ambtenaar perkebunan.

***
(Copas dari buku "Sosok Seorang MARINIR BANYUMAS", Otobiografi Mayjen TNI (Mar) Sudarsono Kasdi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar