Minggu, 04 Februari 2018

HUKUMAN ATAS PERINTAH  (1987)

Kejadiannya berawal dari persiapan penggantian Satuan Tugas Pengawal Perbatasan di daerah Kepulauan Natuna. Pada waktu itu penugasan untuk mengawal pulau-pulau di daerah perbatasan sekitar
kepulauan Natuna menjadi tanggung jawab Yonif-2 Mar dimana aku menjabat sebagai komandannya. Personil Satgas berkekuatan sekitar satu Kompi, yang dibagi menjadi beberapa pos jaga, yang berlokasi di
pulau-pulau: Tarempa, Natuna Besar, Jemaja, Matak, Subi, Serasan dan pulau Laut. Penggantian dilaksanakan setiap 6 bulan, tetapi setiap dua bulan dilaksanakan rollering penggeseran antar pos, yang diatur oleh Komandan Satgas. Jarak antar pulau antara belasan sampai ratusan mil.

Penugasan pengamanan perbatasan laut di wilayah Kepulauan Natuna, seperti halnya di wilayah Kepulauan Sangir Talaud, adalah salah satu penugasan yang terberat bagi anggota. Contohnya di P. Laut, yang merupakan pulau terluar yang terletak paling utara dari wilayah Negara kita. Di sana ditempatkan dua pos jaga di pantai terluar, yang masing-masing berkekuatan tiga orang, dilengkapi senapan mesin berat
(SMB) kaliber 12.7 mm. Mungkin sulit dibayangkan, dimana mereka bertiga selama berbulan-bulan hanya mengawasi laut yang tidak pernah menciptakan pemandangan lain kecuali ombak. Lokasi pos jauh dari pemukiman penduduk, sedangkan musuh yang dihadapi tidak jelas apa atau siapa. Mereka justru merasa ada hiburan apabila satu saat ada pengungsi
Vietnam yang terpaksa mendarat karena perahunya bocor atau untuk mencari tambahan bekal.
Satgas dilengkapi dengan sarana perahu karet untuk mendukung pelaksanaan patroli. Namun karena lautnya demikian luas dan pada musim-musim tertentu ombaknya sangat ganas, maka penggunaan perahu karet menjadi kurang begitu efektif, bahkan kadang menjadi sangat berbahaya. Bisa dibayangkan bagaimana seandainya selagi mereka melaut tiba-tiba terjadi masalah dengan perahu karetnya. Oleh karena itu mereka sering memanfaatkan perahu rakyat, yang masyarakat setempat memberi nama pom-pom karena bunyi mesinnya, dengan memberikan imbalan bahan bakar minyak solar (HSD). Oleh karena itu dari hasil monitoring pada Satgas yang sedang bertugas, Pasi-2/Ops Yonif menyarankan agar Satgas pengganti ditambah bekal bahan bakar HSD-nya, sedangkan bahan bakar jenis premium (MT87) yang hampir tidak pernah digunakan kecuali pada pos-pos di pulau Natuna Besar yang diperlengkapi dengan sepeda motor sebagai sarana hubungan antar pos jaga bisa dikurangi. Aku selaku DanYon sudah menyampaikan masalah ini ke Brigif sekitar satu bulan sebelum waktu pergantian.

Namun ternyata pada hari pelaksanaan embarkasi, WadanYon melaporkan bahwa logistik yang diterima dari perbekalan Kormar tidak sesuai dengan permintaan, khususnya BBM, dimana justru MT87 yang lebih banyak diberikan daripada HSD.
Aku kemudian berusaha berkoordinasi dengan Staf Brigif, tetapi ternyata semua pejabat sudah meninggalkan kantor. Aku ingat waktu itu hari Jumat siang. Padahal waktunya sangat mendesak, karena pada sore harinya pasukan dan perbekalan sudah harus embarkasi, karena malamnya kapal akan segera tolak.
Untuk mengatasi masalah tersebut, Wadan menyarankan agar MT87 ditukar dengan HSD. Tanpa berpikir panjang aku langsung setuju, dan aku perintahkan untuk segera dilaksanakan. Malam harinya, dimana aku
kebetulan tugas jaga sebagai Perwira Dinas Brigif, WadanYon melaporkan bahwa masalah BBM sudah bisa terselesaikan, dimana kebutuhan Satgas atas BBM sudah terdukung sesuai dengan pengajuan.
Bahkan dari tukar menukar tadi masih dapat tambahan dua drum kero (minyak tanah) yang juga langsung diberikan kepada Satgas untukdapat digunakan sebagai bahan bakar lampu penerangan. Dilaporkan juga bahwa KRI telah bertolak meninggalkan dermaga Kolinlamil
sekitar pukul 23.00.

Hari Senin, selesai apel siang aku dipanggil menghadap Dan Brigif. Beliau menyampaikan bahwa Dan Kormar menilpon beliau, memberitahu bahwa DanYonif-2 telah mengelapkan BBM Satgas. Mendengar berita tersebut kepalaku terasa seperti disambar petir. Aku jelaskan kepada beliau masalahnya. Aku sampaikan bahwa pada pada hari Jumat lalu aku sudah berusaha minta bantuan perbekalan ke Staf Brigif sesuai kebutuhan Satgas seperti yang pernah aku ajukan, tetapi semua pejabat sudah tidak ada ditempat. Akhirnya aku mengambil keputusan untuk menukar HSD ke pom bensin luar, dan semua hasil penukaran dibawa oleh Satgas. Aku memang tidak melaporkan yang aku lakukan karena aku pikir masalahnya sudah teratasi.
Mendengar penjelasanku beliau mengatakan bisa mengerti apa yang
telah aku kerjakan.

Namun dua hari kemudian, ternyata aku menerima Surat Keputusan Dan Brigif tentang Penjatuhan Hukuman Disiplin berupa Teguran, dimana salah satu alamat tembusan adalah Dan Kormar.
Saat itu juga aku langsung menghadap Dan Brigif untuk menanyakan kenapa bisa demikian. Kemudian beliau menunjukan sebuah nota dari Dan Kormar, yang isinya perintah agar Dan Brigif memberikan peringatan keras berupa hukuman disiplin terhadapku. Aku kemudian minta ijin untuk menghadap Dan Kormar guna menjelaskan masalahnya.

Setelah beliau mengijinkan, aku langsung
berangkat ke Mako Kormar di jalan Prapatan. Tapi ternyata Dan Kormar sedang dinas ke Surabaya, dan Kas Kormar juga sedang tidak berada di tempat. Melihat aku ada di gedung utama Kormar, Irkormar
menanyakan aku ada keperluan apa? Setelah aku sampaikan bahwa aku
bermaksud menghadap Dan Kormar, beliau mengatakan bahwa beliaulah pada saat itu yang tertua di Kormar, dan mempersilahkan aku untuk menghadap beliau. Aku kemudian menghadap beliau di kantornya.
Aku kemudian menunjukkan Skep Dan Brigif tentang Hukuman Disiplinku. Aku sampaikan semua permasalahan dan keberatanku atas nota Dan Kormar yang memerintahkan Dan Brigif untuk menghukumku.

Ternyata beliau bukannya memahami persoalan yang aku hadapi, tetapi malah mengatakan bahwa menurut beliau tidak ada yang perlu dimasalahkan, karena hukumannya hanya teguran, sehingga tidak perlu masuk tahanan.
Atas penjelasan beliau seperti itu aku sampaikan kalau aku tetap tidak bisa menerima. Bagaimanapun hukuman tadi akan menjadi sebuah catatan cela pada buku konduiteku. Oleh karena itu aku
tetap ingin menghadap Dan Kormar untuk bisa membatalkan keputusan tersebut.

Nggak ada hujan nggak ada angin tiba-tiba beliau ‘meledak’, berdiri membungkukkan badannya ke arahku yang duduk di seberang meja kerja beliau, berteriak sangat keras sambil mengacungkan telunjuknya ke mataku, “Matamu picek ya? Lihat ini, baca! Ini kan teguran, kamu
tidak dihukum! Dst, dst, …..”

Darahku terasa langsung naik ke kepala dan dadaku berdebum keras. Aku menatap lurus ke matanya. Sepertinya ada setan di sampingku yang berbisik ke telingaku, “Ludahi saja mukanya!” berulang-ulang. Untungnya aku masih tetap sadar.
Setelah beliau menarik kembali tangannya dan berdiri tolak pinggang sambil matanya masih melotot kepadaku, aku bangkit berdiri dan langsung keluar sambil membanting pintu kantornya. Aku langsung kembali ke Cilandak.

Sejak itu, dimanapun aku bertemu beliau, aku tidak pernah mau menghormat, tetapi justru memasang ‘muka berak’ sambil memandang matanya tanpa berkedip. Kebetulan waktu itu ada beberapa kali kegi-
atan di Cilandak dimana beliau ikut hadir.

Sekitar dua bulan aku perlakukan beliau seperti itu. Sampai pada suatu hari ketika ada kegiatan olah raga bersama perwira di seluruh jajaran satuan Marinir Jakarta, dimana hadir Dan Kormar dan seluruh staf.
Selesai olah raga acara dilanjutkan dengan minum dan makan makanan kecil di depan Mako Brigif. Pada waktu aku menuju ke sana sudah banyak perwira yang terlebih dahulu tiba, termasuk diantaranya pejabat
teras Kormar. Tiba-tiba aku merasa ada yang merangkulku sambil berkata kepada yang hadir, “Ini adikku lho, tolong Dan Brigif diperhatikan!”. Aku menoleh untuk mengetahui siapa yang merangkulku?
Astaghfirullah hal adzim .... ternyata Ir Kormar..!!!
Dan Brigifpun langsung menjawab, “Oh, baru tahu aku! Siap, kebetulan dia memang baik kok”.
Kemudian beliau bertanya kepadaku bagaimana kabarku, apakah baik-
baik saja. Aku betul-betul salah tingkah dibuatnya. Dengan sedikit tergagap aku menjawab, “Baik!”.Aku yakin tampangku pasti tersipu-sipu, karena aku bisa merasakannya. Cukup lama beliau merangkulku sebelum kemudian mempersilahkan aku untuk mengambil minum.

Sejak itu perasaan marah dan benciku terhadap beliau lenyap sama sekali, dan aku kembali bersikap sebagaimana seharusnya seorang bawahan terhadap atasan.

***
(Copas dari buku "Sosok Seorang MARINIR BANYUMAS", Otobiografi Mayjen TNI (Mar) Sudarsono Kasdi)

Sabtu, 03 Februari 2018

TOUR KE WASHINGTON DC  (1980)

Washington DC adalah salah satu dari sedikit kota didunia yang benar-benar dirancang dengan sangat detil dan dibangun dengan sangat teliti. Kawasan yang sebelumnya hutan belantara, kini berdiri sebuah ibukota yang terindah di dunia. Pierre Charles L’Enfant seorang arsitek, sekaligus sarjana tehnik dan tatakota keturunan Perancis yang kala itu
bertugas di Continental Army, pada tahun 1790 direkomendasi oleh Presiden George Washington untuk merancang sebuah ibukota yang terletak di negara bagian Maryland di tepi sungai Potomac yang
berbatasan langsung dengan Virginia di seberangnya. Lokasi umum diberikan oleh presiden Washington namun excact location ditetapkan oleh Pierre Charles L’Enfant. Dia kemudian menetapkan satu titik yang secara geografis akan menjadi pusat atau jantungnya kota sekaligus
sebagai titik sentral pemerintahan, yaitu gedung konggres yang dikenal sebagai The Capitol. Sebagai penghormatan kepada the founding father, presiden pertama AS, George Washington kota itu kemudian
dinamakan Washington DC.

Bagi siapapun yang ingin mengunjungi Washington DC, tempat pertama yang di rekomendasi untuk dikunjungi adalah Washington Monument, sebuah obelisk raksasa setinggi 555 feet 5 inch (±170
meter) yang dibangun untuk mengenang presiden pertama AS, karena dari sini kita bisa melihat salah satu pemandangan terindah yang pernah dilihat manusia. Dari tempat ini,apabila kita memandang ke arah timur kita melihat lapangan luas kosong yang sangat panjang, diapit jalan beraspal, dimana di sisinya berdiri bangunan-bangunan pemerintah, yang dikenal dengan National Mall. Tepat di ujungnya terlihat The Capitol Hill berdiri megah dengan kubah agungnya. ‘The Capitol Hill’ adalah nick-name dari The United States Congress.
Disebelah kiri dan kanannya berdiri bangunan Senat yang mengisi hampir setengah blok. Di belakang Capitol sebelah kanan terlihat Library of Congress, dan di sebelah kiri Mahkamah Agung Amerika
Serikat. Di depannya berdiri bangunan megah Galeri Seni Nasional dan Smithsonian Institute.

Apabila kita memandang ke arah utara terlihat di kejauhan kediaman resmi Presiden AS yang dikenal dengan nama The White House, yang berada di ujung jalan dari US Capitol ke arah sedikit utara yaitu jalan Pennsylvania Avenue yang terkenal itu. Gedung Departemen Keuangan berada tepat di sebelah kanannya.
Apabila pandangan kita arahkan ke barat akan tampak pemandangan yang memberikan kepada kita gambaran indahnya Reflecting Pool, dimana di ujung kejauhannya terlihat Lincoln Memorial, sebuah bangunan dengan 12 pilar besar beratap rata. Di dalamnya terdapat patung besar presiden Abraham Lincoln dalam posisi duduk. Beliau adalah presiden AS yang memperjuangkan penghapusan sistim perbudakan dan menjunjung tinggi kesetaraan hak bagi seluruh warga negara
Amerika Serikat.
Lain lagi bila kita arahkan pandangan kita ke selatan, dimana terdapathamparan air yang disisinya berjajar pohon cherry, yang dinamakanTidal Basin, yang berujung pada Jefferson Memorial, sebuah bangunan
kecil berpilar dengan kubah berbentuk sepertiga bulatan. Pada musim semi konon semua pohon chery akan tertutup bunga putih yang semakin menambah indahnya panorama.

Di kejauhan, tepat di seberang Potomac River di kawasan negara bagian Virginia, terlihat Arlington National Cemetery. Arlington Cemetarydulunya adalah lahan tidur milik keluarga Jenderal Robert E.Lee. Di tanah makam seluas 624 acre (2,53 km2) yang konon adalah pemakaman
pahlawan terluas di dunia dimakamkan pahlawan-pahlawan AS yang gugur mulai dari masa perang saudara (Civil War) di awal tahun 1800-an, PD-I, PD-II, Perang Korea dan Perang Vietnam. Di situ terdapat kawasan pemakaman prajurit yang tidak dikenal, yang disebut Tomb of the Unknown Soldier.

Makam Presiden AS termuda, John F. Kennedy yang terbunuh pada 22
November 1963 di Dallas, Texas, juga terletak di sini. Makamnya sangat sederhana, hanya terdiri dari sepetak tanah pekuburan yang tidak terlalu luas, ‘di hias’ dengan paving conblock, dengan lubang api gas yang dibiarkan terus menyala (Eternal
Flames). Sedikit di bawahnya terdapat
lempengan-lempengan beton dengan
pahatan kata-kata mutiara yang pernah
disampaikan beliau selama menjabat
presiden. Salah satunya adalah kata-
katanya yang sangat terkenal sbb :

“And so my fellow Americans, ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country. My fellow citizens of the world, ask not America will do for you, but what together we can do for the freedom of man.” 

Di sebelah utaranya sedikit di luar cemetary terdapat Marine Memorial di mana berdiri patung 5 prajurit US Marine dan seorang Kelasi Kesehatan (Corpsman) US Navy yang sedang berusaha memancangkan Stars & Stripes di bukit Suribachi pada penyerbuan pasukan Marinir AS bulan Pebruari 1945 untuk merebut pulau Iwo Jima dari tangan Jepang.
Pertempuran yang kemudian dikenal dengan ‘The Battle of Iwo Jima’ adalah salah satu pertempuran terbesar di teater
perang Pasifik pada Perang Dunia II. Dalam sejarah perang Pasifik, kampanye perang AS di Pasifik yang kemudian dikenal sebagai Pacific War yang dipimpin oleh Jendral Douglas McArthur secara keseluruhan memakan korban tewas 12.000 prajurit AS dan 100.000 tentara Jepang.

Masih di seberang Potomac, yang masuk wilayah Arlington, Negara bagian Virginia, kami sempat mengunjungi Pentagon. ‘The Pentagon’, yang bangunannya berbentuk segi lima (Yunani: pentagon), adalah
markas besar empat Angkatan Perang AS, yaitu: US Army, US Navy,US Air Force dan US Marine Corps.
The Pentagon adalah salah satu gedung di atas lahan 11 hektar yang dirancang sangat efisien. Sistem gang di dalam gedung ini panjangnya sekitar 28 kilometer, namun setiap tempat di dalam gedung ini bisa
dicapai hanya dalam waktu tujuh menit berjalan kaki.

Pada malam hari kami diajak nonton Marines on Parade di Marine Corps Barracks, dimana diperagakan kolone senapan yang menampilkan keterampilan baris-berbaris dan olah senjata tanpa aba-aba (silent drill) prajurit muda US Marine yang membuat banyak penonton berdecak kagum.

The United States Marine Corps Silent Drill Platoon adalah penampilan gerakan senyap kolone senapan dari 24 prajurit Peleton Senapan dengan bersenjatakan M-1 Garand dengan sangkur terpasang, yang sangat mashur di dunia. Penampilan perdananya pada Sunset Parades di tahun 1948 mendapat respon positif yang sangat luas, sehingga kegiatan tersebut kemudian dijadikan acara parade tetap (rutin) di Marine Barracks, Washington, DC, ksatrian tertua USMC yang dibangun pada tahun 1801, yang juga menjadi tempat kediaman
resmi Komandan USMC. Kini ksatrian tersebut lebih dikenal dengan sebutan “8th
and I”, karena letaknya tepat di pertigaan jalan 8th dan I street.

Melihat itu semua aku membayangkan kapan ibukota negeriku bisa seperti itu. Setidaknya mendekati. Barangkali aku bermimpi. Namun, mimpi, bahkan yang tidak mungkin, kadang justru perlu. Indonesia Merdeka adalah mimpi besar dari para pendiri Republik ini. ‘To dream the impossible dream’. Dan untuk mewujudkan the impossible dream dibutuhkan kenekadan yang cenderung mendekati insanity. Dan itu terdapat pada generasi muda waktu itu: bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir dan bung-bung lainnya. Dan kita semua sebagai penerusnya wajib untuk berusaha mewujudkannya.

***
(Copas dari buku "Sosok Seorang MARINIR BANYUMAS", Otobiografi Mayjen TNI (Mar) Sudarsono Kasdi)

TRAVELING KELILING EROPA  (1977)

Lebih dari satu tahun sejak menikah dan mengajak isteriku tinggal di London, kami tidak banyak melakukan perjalanan ke luar London, apalagi ke luar negeri Inggris. Hal itu dikarenakan pada dua minggu setelah
kami menikah dokter memberitahuku
bahwa isteriku mengandung. Dengan
pertimbangan untuk menjaga segala
kemungkinan yang tidak kami harapkan
terjadi pada ibu dan atau calon bayi,
maka selama isteriku mengandung
perjalanan kami batasi hanya di dalam
negeri Inggris. Itupun dengan catatan
harus bisa pergi pulang dalam satu hari.
Obyek wisata di dalam kota London
yang terkenal di seluruh dunia seperti:
Big Ben, Trafalgar Square, Westminster
Abey, Buckingham Palace, Tower of
London, dan Piccadilly Circus dengan
patung Eros (Anteros) sudah semuanya
pernah kami kunjungi. Juga obyek-obyek kunjungan turis lainnya. Di sekitar Piccadilly Ciscus ada obyek turis terkenal yang namanya London Hippodrome, sebuah bangunan tua di pojokan Charing Cross Road dan Leicester Square, terdapat cabarete restaurant ‘The Talk of the Town’,
tempat dimana bintang penyanyi dunia seperti Diana Ross, Judy Garland, Shirley Bassey, The Temptations, Frank Sinatra, Sammy Davis Jr, Tom Jones, Engelbert Humperdink, Lulu, Cliff Richard, Matt Monro, Stevie Wonder, Neil Sedaka dan masih banyak lagi pernah tampil. Di dekat sini, di Covent Garden, juga ada gedung sandiwara yang namanya St. Martin’s Theatre. Kami sempat nonton lakon sandiwara (play) fenomenal ‘The Mousetrap’ yang sudah dimainkan terus menerus di sini sejak tahun 1952. Sampai hari ini di St. Martin Theatre, Covent Garden, West End, London, telah digelar “The Mousetrap”, cerita misteri pembunuhan yang ditulis pengarang novel Agatha Cristie, lebih dari 24.000 kali. Tercatat pada tanggal 22 April 1955 adalah pagelaran yang ke-1000 kali, 9 Desember 1964 yang ke-5.000 kali, 17 Desember 1976 yang ke-10.000 kali, dan pada tanggal 16 Desember2000 adalah pagelaran yang ke-20.000 kali.

Tempat bersejarah yang tidak terlalu jauh seperti Windsor Castle, salah satu istana kerajaan Inggris terkenal yang terletak di Windsor, wilayah Berkshire, juga pernah kami kunjungi. Pada waktu isteriku hamil tua kami bahkan sempat juga menonton Farnborough International Air Show, pameran kedirgantaraan yang digelar setiap tiga tahun di Farnborough, Hampshire.

Sampai satu hari, kami mendapat informasi Dubes akan segera ditarik kembali ke tanah air. Aku lantas berfikir kapan lagi akan ada kesempatan untuk bisa mengajak keluarga lagi ke Eropa?. Kemudian aku ajak isteriku berunding, bagaimana kalau sebelum kembali ke tanah air terlebih dahulu
kita mengadakan perjalanan ke daratan Eropa. Sebab kalau kita sudah kembali ke Indonesia berarti aku juga harus kembali ke Korps Marinir. Sejak saat itu rasanya akan sangat sulit bagi kami untuk bisa mendapatkan kesempatan pergi ke luar negeri lagi. Apalagi aku pikir, melihat
banyak negara pasti akan menambah pengalaman sekaligus memperluas
wawasan, yang pasti akan sangat bermanfaat bagi masa depan karirku.

Waktu itu usia anakku Cula, sudah lebih sepuluh bulan, dan selama itu kami happy-happy saja, dalam arti tidak pernah ada masalah berarti yang berkaitan dengan kepengasuhan bayi.
Isteriku setuju dengan catatan bahwa semua sudah aku pertimbangkan dan persiapkan dengan baik. Sama sekali tidak terfikir bahwa kembali ke Korps berarti harus siap hidup dengan fasilitas yang sangat terbatas, khususnya sarana transportasi dan rumah tinggal. Artinya adalah bahwa kami harus punya uang untuk membeli atau menyewa rumah untuk tempat tinggal kami dan keluarga, atau setidaknya untuk ‘over-vebe’ rumah dinas, sebuah ‘budaya’ konyol yang insyaallah sudah aku niatkan untuk aku tabukan.

Aku ajukan cuti selama dua minggu. Itinerary route aku buat melalui delapan negara yaitu: Perancis, Monaco, Italia,
Swiss, Austria, Jerman, Belanda, dan Belgia. Sebetulnya aku juga ingin ke Spanyol, tetapi aku khawatir tidak akan cukup waktu, karena ijin cutiku hanya selama dua minggu. Permintaan visa kunjungan sama sekali tidak ada kesulitan. Mungkin karena aku dan isteriku pemegang paspor diplomatik.

Sehari menjelang keberangkatan semua pakaian, perlengkapan tidur dan makan termasuk rice cooker, beras dan lauk-pauk yang tahan lama, yang menurut kami akan
diperlukan selama dalam perjalanan, kami susun rapi di dalam bagasi mobil. Cot (tempat tidur bayi) dan segala perlengkapan, pakaian, makanan dan minuman bayi kami susun di jok belakang.

Sekitar pukul enam pagi, tanggal 9 September 1977 dengan mengendarai mobil pribadiku FIAT 132 nomor plat PGH292L kami berangkat dari London menuju ke pelabuhan penyeberangan.
Dari London aku menuju Dartford kemudian masuk motorway M2. Rochester dan Chatham kami by-pass, sampai akhirnya kami keluar M2 di Faversham. Selanjutnya kami ke Dover melalui Canterbury.
Kami bermaksud menyeberang ke benua
Eropa melalui celah sempit di sisi utara
English Channel yang bernama selat
Dover (strait of Dover). Orang Perancis
menamakannya Pas de Calais. Calais
adalah kota pelabuhan penyeberangan
Perancis. Pas de Calais juga dijadikan
nama wilayah di sekitar sana (Prancis
Utara) dengan ibukota Arras (ATRECHT).
Sebetulnya ada pilihan kapal yang lebih
cepat yaitu hoovercraft, tapi aku memilih menggunakan kapal biasa dengan
pertimbangan selain ongkosnya lebih
murah juga karena kami bisa lebih santai bernostalgia menikmati indahnya
suasana laut. Yang kami tuju juga bukan Calais, tetapi Boulogne, pelabuhan penyeberangan lain yang berada 34 mil di selatan Calais. Pada waktu itu penyeberangan hoovercraft hanya antara Dover – Calais.

Setelah sekitar satu jam pelayaran, kapal merapat di Boulogne. Begitu debarkasi keluar kapal tiba-tiba aku sadar bahwa saat itu aku sudah berada di daratan Perancis, dimana aturan lalu lintasnya – yang juga berlaku di seluruh negara di daratan Eropa – menggunakan jalur kanan. Berbeda dengan aturan berlalu lintas di Inggris dan negara-negara Commonwealth lain yaitu di jalur kiri seperti juga yang berlaku di Indonesia.

Awalnya aku rada kagok. Setiap kali aku akan masuk ke jalan selalu saja aku menengok ke kanan. Itu adalah keharusan bagi setiap pengemudi untuk mewaspadai kemungkinan adanya mobil yang akan melintas dari arah kanan. Tentu saja aku terkejut setengah mati karena
tiba-tiba saja ada mobil yang justru melintas dihadapanku dari arah kiri.
Kekagokanku tadi sempat berlangsung sekitar setengah jam sebelum kemudian aku terbiasa untuk mengemudi di jalur kanan.

Dari Boulogne kami menuju ke Paris melalui Arras. Menjelang masuk ke kota Paris aku mampir ke sebuah rest area untuk mengisi bahan bakar. Lahan parkirnya cukup luas. Nampak beberapa kendaraan pengangkut container terparkir di sana. Di situ juga terdapat restoran yang menjual makanan cepat saji dan mini market yang menjual berbagai keperluan. Toiletnya lumayan banyak, berjejer rapi pada bangunan tersendiri, lengkap dengan kloset BAB dan douche mandi yang bersih. Karena hari sudah menjelang malam maka aku putuskan untuk istirahat di sini. Namun karena di sekitar situ tidak ada dormitory
untuk kami menginap maka terpaksa kami tidur di mobil. Kebetulan sejauh itu si baby Cula tidak ada masalah.

Keesokan hari setelah makan pagi kami meneruskan perjalanan masuk ke kota Paris. Kotanya demikian bersih, indah dan tertib. Konon kota ini tidak pernah berubah bentuk sejak tahun 1860.
Semua jalan di dalam kota tidak menggunakan aspal atau semen, tetapi
conblock. Dengan panduan ‘Road Book of Europe’ keluaran AA yang sudah aku siapkan dari London tidak ada kesulitan sama sekali untuk menuju dan menemukan tempat-tempat yang ingin kami kunjungi.
Sasaran utama tentu Eiffel Tower dan Arc de Triomphe. Mobil aku parkir tepat di bawah tower, kemudian kami turun untuk melihat-lihat dan berfoto-ria dengan latar belakang Eiffel Tower dan Arc de Triomphe.
Pada tahun 2006 aku bersama isteri dan anakku yang bontot, sempat berwisata ke Prancis, ternyata untuk melihat Eiffel kami harus berjalan kaki karena kendaraan sudah tidak lagi bisa melintas di bawah tower.

Kami juga sempat mengunjungi Notre-Dame Catedral, sebuah gereja yang dijadikan ajang cerita novel Victor Hugo yang ditulis pada tahun 1829 berjudul The Hunchback of Notre-Dame.
The Huncback of Notre-Dame yang dalam versi Perancis berjudul Notre-Dame de Paris (“Our Lady of Paris”) adalah sebuah cerita drama yang mengisahkan tentang seorang penarik lonceng gereja bertubuh bungkuk yang bernama Quasimodo, yang gagal menyelamatkan Esmeralda, seorang gadis Gypsy cantik yang diasuh oleh seorang paderi (archdeacon) gereja Notre-Dame, yang dicintai banyak pemuda termasuk Kapten Phoebus.

Setelah menginap satu malam di sebuah hotel kecil, keesokan harinya 11/09/77 kami meneruskan perjalanan melalui A6 melintasi kota-kota Marne dan Auxerre, menuju Dijon. Dari Dijon kami meneruskan perjalanan menuju Pontarlier, kota terluar Perancis yang berbatasan langsung dengan Swiss (SWTZERLAND).
Di pos perbatasan Swiss paspor kami diminta petugas custom untuk dicap. Kemudian kami melanjutkan perjalanan melalui kota Neuchatel di tepi danau yang namanya juga Neuchatel. Kami sempat berhenti tapi tidak lama, sekedar untuk melemaskan kaki sambil melihat peman-
dangan danau Neuchatel yang sangat luas. Hari sudah cukup sore ketika kami masuk kota Bern (BERNE). Langsung aku mencari hotel untuk bermalam.

Bern adalah ibukota Negara Swiss. Kotanya tidak besar tetapi rapi dan bersih. Hampir semua bangunannya, khususnya di pusat kota peninggalan jaman lama sehingga tidak mengherankan kalau ‘kota lama’ yang berada di tengah kota Bern belakangan dijadikan salah satu dari sepuluh
historic old town yang dilindungi Unesco (UNESCO World Heritage Sites).

***
Pagi-pagi keesokan harinya kami sudah bersiap untuk berangkat ke Grindelwald, sebuah resor wisata gunung yang sangat terkenal di Swiss. Grindelwald terletak di sisi utara pegunungan Alpen (ALPS) dan
dikelilingi tiga puncak spektakuler pegunungan Alpen yaitu: Eiger, Mönch dan Jungfrau.
Dalam perjalanan menuju Interlaken kami disuguhi dengan pemandangan alam yang sangat indah. Mungkin yang terindah yang pernah aku saksikan. Kadang kami harus menembus kawasan dimana pada sisi kiri dan kanan adalah hutan khas Eropa, tapi
lebih sering kami harus melalui kawasan terbuka lembah hijau yang sangat luas. Di sana-sini terlihat beberapa noktah pohon, yang menambah indahnya pemandangan. Di celah hamparan rumput nun jauh di sana kadang terlihat sekumpulan titik bangunan rumah. Salah satunya nampak sangat menonjol dilihat dari bentuknya, yang kami tengarai sebagai gereja. Di tepi jalan raya kami justru tidak menemukan sebuah bangunan rumahpun, kecuali beberapa cekungan datar dimana ditempatkan
sebuah kran air dibentuk seperti kayu bercabang yang bertuliskan “Trinken
Verboten”. Aku tidak tahu apa maksudnya, kenapa air pegunungan yang demikian
jernih dan sejuk tidak boleh diminum. Karena khawatir airnya tidak sehat maka kamipun tidak berani meminumnya, kecuali untuk membersihkan si baby dan membasuh muka dan tangan. Jauh di depan sana nampak berderet rangkaian gunung cadas berwarna merah bata yang seolah menyala diterpa matahari pagi. Di sana-sini terlihat salju yang menyelimuti
punggungnya.

Kemudian kami sampai ke jalan yang menyusur tepi sebuah danau besar, sebelum berbelok di pertigaan mengikuti petunjuk arah menuju ke Grindelwald.
Cukup banyak kendaraan yang menuju
ke atas, meski tidak sampai memacetkan trafik. Di kiri dan kanan sepanjang jalan yang relatif sempit berderet rumah-rumah khas Switzerlad yang nyaris mepet ke jalan. Rata-rata rumah bertingkat dua dengan balkon yang dihiasi bunga warna-warni. Juga di daun pintunya. Indah dan lucu
karena terkesan layaknya rumah boneka
mainan anak-anak.

Di Grindelwald kami sempat naik cable car ke Pfingstegg, tempat awal pendakian para turis yang ingin bemain ski atau sekedar akan mendaki gunung salju. Mereka yang naik bersama kami semuanya menggendong ransel punggung dengan dua stick penahan terlipat rapi di atasnya. Beberapa orang diantaranya juga menenteng sepasang papan luncur ski.
Tepat di depan pintu keluar pemberhentian kereta gan-tung di puncak bukit terjal terdapat café yang menyediakan minuman dan makanan cepat saji. Kami mengambil tempat duduk di salah satu payung tenda. Dari sini kita bisa melihat berbagai kegiatan wi-sata, seperti skiing, hiking, dan layang gantung. Di kejauhan aku lihat kereta api merayap pelan mendaki gunung menuju puncak.

Cukup lama kami berada di sini. Hari sudah menjelang sore ketika kami kemudian turun. Kami menginap di sebuah penginapan yang masih berada di kawasan Grindelwald.
Pagi hari 13/09/77 kami turun kembali ke Bern, tidak berhenti tetapi langsung menuju ke kota berikutnya yaitu Geneve (GENEVA). Geneve atau Jenewa adalah ibukota Swiss yang sekaligus juga kota dunia, pusat berbagai kegiatan diplomasi antar negara-negara anggauta PBB. Setiap anggauta militer pasti mengenal, atau setidaknya pernah mendengar Konvensi Jenewa, yaitu hukum internasional tentang kemanusiaan
dalam menangani personil non kombatan dan tawanan perang yang ditanda tangani oleh 194 perwakilan negara-negara anggauta PBB pada tahun 1949. Palang merah Internasional juga berpusat di sini.

***
Dari Geneve kami kembali masuk ke wilayah negara Perancis melalui Chambery, Grenoble dan Chateau Arnoux, kemudian mengambil jalan simpang ke kiri menuju Cannes, kawasan elit di pesisir laut Mediterania yang sebagian besar penghuninya adalah para milyarder dan
selebriti tingkat dunia. Mungkin seperti Beverly Hills di West Hollywood, California, USA.
Cannes dulunya adalah desa kecil yang dihuni oleh petani dan nelayan. Pada tahun 1830 Raja Henry Peter Brougham dari Inggris dalam satu perjalanan politiknya ke Italia melalui tempat tersebut. Tertarik keindahan alamnya King Henry kemudian membeli sebagian kawasan di sini, dan mengajak rekan-rekan politiknya untuk mengembangkan Riviera Perancis. Kaum
bangsawan Perancis dan asing kemudian membangun rumah berlibur di wilayah ini, dan menjadikan Cannes sebagai kota peristirahatan (resort). Cannes kini dikenal sebagai tempat diselenggarakannya festival film dunia (Cannes Film Festifal) yang rutin dilaksanakan sejak 1946 pada setiap bulan Mei.

Setelah berfoto dengan latar belakang bangunan dan pantai yang kami pikir cukup mewakili kekhasan Cannes, kami kemudian melanjutkan perjalanan menyusur pantai ke arah timur menuju Nice. Nice (baca: Niez) adalah kota Perancis yang juga berada di pesisir laut Mediterania yang merupakan kota turis utama dan resort nomor satu di Riviera Perancis.
Riviera adalah nama kawasan pesisir teluk Mediterranean Sea (laut Tengah) di selatan Perancis sampai barat laut Italia. Tapi sekarang ‘riviera’ digunakan untuk sebutan kawasan pantai bukan hanya di laut Mediterania tetapi juga untuk kawasan pesisir lain yang pada musim panas dipadati oleh turis.

Di sisi utara jalan raya yang menyusuri pantai berdiri banyak bangunan yang begaya khas Romawi. Mungkin karena dulu Romawi pernah menguasai negeri ini.
Nice adalah kota Perancis yang berbatasan langsung dengan Monaco.
Kami sempat bermalam di salah satu hotel tidak terlalu besar, presis menghadap ke Laut. Ribuan perahu layar (yaht) terparkir di sepanjang pantai yang terletak di sebuah cekungan besar teluk. Ada satu hotel besar baru yang dibangun bertingkat-tingkat seperti potongan piramida yang aku lupa namanya.

***
Lepas dari Nice 15/09/77 kami langsung masuk ke Monaco. Sama sekali tidak ada pemeriksaan untuk keluar Perancis dan masuk ke Monaco.
Monaco adalah sebuah negara kota (city-state) terkecil kedua setelah Vatikan. Isteriku sempat heran, ada apakah gerangan, kok banyak bendera merah putih berkibar di atas gedung-gedung, termasuk di atas tower istana yang menjulang tinggi di depan latar bukit batu.
Negerinya Prince Rainier III yang memperistri aktris cantik AS Grace Kelly ini, yang rasanya lebih tepat disebut kota Monaco, terlihat demikian indah dan bersih. Sepanjang jalan yang biasa digunakan sebagai circuit balap mobil Grand Prix Formula I berdiri bangunan-bangunan bernuansa khas Romawi yang relatif berhimpit satu sama lain. Suasananya waktu itu terkesan sepi. Tidak banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Juga di Monte Carlo, kawasan judi yang sangat terkenal itu. Mungkin akan berbeda suasananya apabila di malam hari, seperti
halnya Las Vegas di Nevada, USA, yang keduanya adalah kota judi dan hiburan malam.

Dari Monaco kami melanjutkan perjalanan dengan tetap menyusuri motor way ke arah timur menuju Italia.
Begitu keluar dari Monaco, sebelum menyeberang perbatasan Italia, kami masuk kembali ke wilayah Perancis. Monaco memang negara yang semua sisinya berbatasan dengan Perancis, kecuali sisi selatan yang langsung menghadap ke laut Tengah (Mediteranean Sea).
Sampai saat itu motorway yang aku lalui begitu mulus dan enak untuk dilalui. Namun begitu masuk ke wilayah Italia motorwaynya begitu terasa berbeda. Mungkin karena dibuat dari beton cor, yang pada waktu itu belum dikenal di negeri kita. Namun yang jelas biaya pembuatannya pasti jauh lebih mahal karena daerahnya yang berupa jurang dan bukit yang terdiri dari batu cadas. Maka tidak heran kalau hampir seluruh motorway di kawasan San Remo yang merupakan pintu masuk ke Italia dari arah barat harus dibuat terowongan menembus bukit dan jembatan yang menyeberangi jurang. Dan itu bukan hanya satu, dua, atau lima, tapi berpuluh jumlahnya. Aku sampai tidak sempat
mematikan lampu mobil karena begitu keluar dari terowongan dan melintasi jembatan menyeberangi jurang tiba-tiba harus masuk kembali ke terowongan dan jembatan berikutnya dan berikutnya.

Genoa (GENOVA) kami lalui tanpa singgah kecuali untuk mengisi bahan bakar. Lepas dari Genoa kami tidak lagi melalui motorway tetapi mencoba jalan alternatif sekaligus untuk melihat keadaan pedesaan di Italia. Ternyata jalannya berkelok-kelok dan berputar menyusuri bibir jurang memutari bukit-bukit cadas. Alhasil tidak ada keindahan alam yang sempat aku nikmati karena mataku lebih berkonsentrasi pada jalan berliku yang harus kami lalui. Hampir tidak pernah kami berpapasan dengan kendaraan lain kecuali sebuah truk penghisap debu jalan (street sweeper) yang sedang menyapu debu dan pasir batu reruntuhan dari atas bukit.

Hari sudah mulai gelap ketika kami masuk ke pedesaan. Desanya terlihat sangat sepi, bahkan kendaraanpun hampir tidak ada yang terlihat lalu lalang. Cukup lama kami mencari tempat untuk menginap. Sampai akhirnya kami menemukan sebuah penginapan kecil, sebuah rumah biasa yang kamarnya disewakan bagi pendatang. Receptionistnya seorang perempuan setengah tua berpostur tinggi besar dengan tampang angker khas Italia. Sementara aku mencoba berkomunikasi dengannya, istriku nempel di sisiku sambil memegang erat lenganku. Aku rasa ini adalah pertanda bahwa hatinya keder melihat penampilan perempuan Italia berwajah angker yang ada di depanku. Apa boleh buat, tiada pilihan lain kecuali harus menerima kenyataan bahwa kami butuh tempat menginap.
Apalagi malam sudah semakin larut. Namun, begitu melihat bayi Cula yang kami bawa, perempuan tadi wajahnya berubah cerah dan sangat bersahabat. Didekatinya Cula, mengelus pipinya dengan punggung
jarinya dan menanyakan berbagai pertanyaan yang kami sama sekali
tidak tau artinya tetapi faham maksudnya. Maklum karena sepotongpun aku tak faham bahasa Italia, kecuali grazie yang artinya “terima-kasih”.

Setelah berkomunikasi menggunakan bahasa seadanya akhirnya kami diterima menginap di sini. Aku lihat tidak ada tamu lain yang menginap waktu itu. Tidak ada juga makanan yang disiapkan untuk tamu.
Untungnya kami membawa rice cooker sehingga kami bisa menanak nasi untuk makan malam dan makan pagi besok harinya.
Hampir semalaman Cula rewel dan menangis. Kami sampai berfikir, jangan-jangan rumah ini ada ‘penunggu’ nya. Ternyata pada pagi harinya kami lihat gigi Cula sudah tumbuh. Bukan satu atau dua tapi empat. Pantesan semalaman rewel terus. Ternyata hantunya adalah empat gigi yang nongol secara bersamaan.
Kami tertawa gembira melihatnya. Demikian juga Cula.

***
Kota Italia yang pertama kami kunjungi
adalah Pisa, dimana terdapat Menara
Miring Pisa (Leaning Tower of Pisa) atau
dalam bahasa aslinya disebut Torre
Pendente di Pisa. Menara setinggi sekitar
55 meter ini memang terlihat miring.
Cukup banyak turis yang mengantri untuk
naik ke atas menara. Kami sendiri tidak
berminat untuk naik, selain pasti akan
repot karena harus mengendong bayi juga
karena kami pikir tidak ada manfaatnya.
Aku perhatikan kawasan sekeliling-nya
juga bukan obyek pemandangan yang
bagus karena kelihatannya hanya rumah-
rumah penduduk biasa.

Setelah berfoto ria kami meneruskan perjalanan, kembali masuk ke jalan raya yang menyusuri pantai menuju ke Roma (ROME). Mulai dari Livorno sudah tidak ada lagi jalan bebas hambatan atau motorway. Oleh karena itu kami terpaksa melalui jalan biasa menembus kota-kota kecil di sepanjang pantai barat Italia.

Sampai Roma mobil langsung aku arahkan ke Colosseum, yang merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia yang paling dikagumi. Colosseum adalah sebuah bangunan arena pertun-jukan berbentuk elips yang disebut Flavian Amphitheatre yang dibuat pada sekitar tahun 70 SM dan dirancang untuk bisa menampung 40.000
penonton. Aku tidak tahu apakah nenek moyang kita pada waktu itu sudah lepas dari jaman batu.
Bangunan yang dimaksudkan sebagai
arena pertunjukan spektakuler pertarungan antara gladiator, antara binatang, atau bahkan antara manusia (tahanan) dan binatang, sebagian sudah runtuh termakan usia, namun masih nampak megah, sehingga kita masih bisa membayangkan bagaimana majunya
bangsa ini, dikala bangsa kita mungkin masih hidup pada zaman pra-sejarah.

Tidak jauh dari Amphi-theatre terdapat peninggalan sebuah istana yang
dinamakan Domus Aurera. istana yang dibangun oleh Kaisar Nero setelah
kebakaran Roma pada sekitar tahun 64M ini juga sudah hancur dimakan usia.
Pada saat kami duduk santai sambil memandangi Colosseum ada segerombolan anak remaja yang mendekati kami. Tadinya aku sedikit curiga, tapi
ternyata mereka hanya ingin melihat bayi Cula yang duduk dengan tenangnya di kereta dorong. Mereka minta ijin untuk bisa melihat.

Setelah aku ijinkan rame-rame mereka mengajak bicara dan bercanda dengan Cula. Aku lihat Cula seperti menanggapi ucapan mereka dengan gerak tangan dan suara baby-nya. Tidak jarang Cula tertawa terkekeh mendengar atau melihat canda remaja Italia itu. Aku tidak tahu apakah
Cula yang belum satu tahun usianya sudah menguasai bahasa Italia.
Melihat aku membawa kamera mereka minta untuk bisa difoto bersama Cula. Sungguh satu foto kenangan, khususnya bagi Cula, yang sulit untuk diulang.

***
Dari Roma 17/09/77 kami berputar kembali ke arah utara dengan tujuan Venice (VENEZIA) melalui Florence (FIRENZE).
Memasuki Florence aku sengaja melambatkan kendaraan sambil sight-
seeing. Tiba-tiba aku seperti mendengar ada bunyi gesekan di roda belakang sebelah kiri. Aku minta isteriku untuk membuka jendela, dan ternyata bunyi gesekan terdengar lebih jelas. Khawatir akan menjadi masalah dalam perjalanan maka begitu aku lihat ada service station
berlogo FIAT aku langsung masuk. Aku jelaskan maksudku dengan bahasa seadanya. Roda kemudian dibongkar. Ternyata kampas remnya (brake pad) habis, sehingga batang logamnya menggesek sampai melukai piringan rem (brake disk). Piringan lantas dibuka dan diganti baru. Pembongkaran dan penggantian hanya memakan waktu sekitar 30 menit.

Karena hari sudah waktu makan maka kami mampir ke sebuah resto/café yang rame dikunjungi orang. Rupanya mereka adalah para pekerja yang sedang break untuk makan siang. Aku lihat hampir semuanya memesan spaghetti, dan satu botol plastik besar ukuran 2 liter berisi cairan bening yang bertuliskan ‘Aqua Minerale’. Mereka enak saja makan spaghetti dengan garpu dan minum air itu yang langsung ditenggak dari botolnya. Akupun ikut-ikutan memesan spaghetti dan satu botol besar minuman yang bertuliskan Aqua Minerale itu. Begitu aku teguk isinya aku langsung tersentak dan air mata mengalir keluar tanpa bisa dibendung (mbrebes mili). Botol yang tadinya aku duga berisi air putih bermineral ternyata air soda yang sangat keras untuk ukuranku.

Selesai makan kami meneruskan perjalanan ke arah Padua (PANDOVA). Di antara Bologna – Ferrara mobil aku masukkan ke sebuah rest area, untuk sekedar buang air kecil dan mengganti pampers Cula.
Aku lihat di atas motorway terdapat jembatan yang digunakan sebagai
café. Kami naik ke salah satu counter semacam Starbuck yang aku lupa
namanya, sekedar untuk duduk sambil melihat pemandangan dan kendaraan-kendaraan yang melintas di bawahnya.
Untuk sekedar basa-basi aku memesan secangkir kopi dengan menggunakan bahasa Inggris. “Coffee please !” kataku. Pramuria yang melayaniku kemudian mengambil cangkir, meletakkannya di bawah satu alat yang aku kira sebuah coffee maker, dan menarik sebuah tuas.
Kemudian cangkir itu disodorkan kepadaku sambil menyebutkan harganya. Aku lihat di dasar cangkir ada sedikit, kalau tak hendak
dikatakan beberapa tetes, cairan hitam yang beraroma kopi. Meski terheran-heran tetap saja aku bayar sesuai harga yang dia minta. Aku mencoba meminum cairan hitam yang tidak lebih dari satu teguk itu.
Ternyata itu memang kopi. Tapi … kenapa sedikit amat?
Aku kemudian memanggil kembali pramuria tadi. Dengan bahasa Inggris yang aku upayakan sefasih mungkin, mencoba lagi memesan kopi dengan menyebut “a cup of coffee”, dengan harapan akan diberi
secangkir penuh kopi. Ternyata yang disodorkan tetap saja beberapa tetes kopi di dasar cangkir. Sambil garuk kepala yang tidak gatal aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Kebetulan aku lihat ada pengunjung yang sedang menikmati secangkir penuh kopi. Aku memberitahu si pramuria
dengan bahasa isyarat sambil menunjuk cangkir kopi yang ada di depan
tamu tadi. “O.. capuchino ..!” katanya. Kemudian dia menarik kembali cangkir “kopi” yang disodorkannya tadi, dan beberapa saat kemudian kembali menyodorkan secangkir penuh kopi … eh capuchino.

***
Venice yang dikenal sebagai ‘City of Water’, ‘City of Bridges’, City of Canals’, atau ‘The Floating City’ aku lihat betul-betul kota dimana air menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari rumah tinggal penduduknya. Di tepi kanal-kanal langsung tanpa berbatas berderet rapat bangunan-bangunan termasuk bangunan rumah tinggal penduduk. Meski dikelilingi kanal-kanal tapi aku tidak melihat ada alat trans-
portasi bermesin seperti speed-boat. Yang ada hanya Gondola yang di dayung oleh satu orang Gondolier, yang berdiri di atas
trap papan di atas buritan yang sengaja dibuat lebih tinggi, sambil memainkan satu dayung panjang yang dicantolkan pada lambung perahu. Mirip dengan cara meng-
umpil sekoci di steger-nya pak Goro sewaktu praktek mendayung di jaman kadet AAL dulu. Bedanya kalau mengumpil dayungnya dikaitkan di buritan sekoci, tetapi kalau gondola selain dayungnya panjang juga mengayuhnya dari salah satu
sisi perahu.
Di sini juga banyak kami temukan perajin seni berbagai bentuk binatang dan bunga yang dibuat dari pipa kaca yang dibakar dengan seprotan api pembakar (welding-torch). Kami sempat membeli satu, berbentuk dua burung walet yang sedang
meloloh anak-anaknya di sebuah sarang diatas dahan pohon. Sayang dalam perjalanan ada beberapa bagiannya yang patah.

Dari Venezia kami kembali masuk motorway ke arah Verona, kemudian belok ke kanan meluncur ke arah Trento dan Bozen (BOLZANO) sebelum masuk ke wilayah Austria. Tujuan kami adalah
INNSBRUCK, sebuah kota kecil yang masuk wilayah Austria.
Kami menginap di sebuah hotel kecil, sebuah bangunan berlantai satu yang berada presis di tepi danau. Aku lihat hampir seluruh bangunan hanya satu lantai. Hanya beberapa yang dua lantai, sehingga semua bangunan yang berdiri berjenjang di lereng bukit terlihat jelas dan indah, Suasana malam itu sungguh sepi, tapi justru karena itu terasa sangat damai, indah dan aman. Kebetulan langit juga sangat cerah. Nampak dengan jelas kerlip jutaan bintang-bintang, mengimbangi
gemerlapnya ribuan lampu yang berserak di sekeliling danau.

***
Keesokan harinya 19/09/77 kami meneruskan perjalanan ke Jerman.
Kota pertama yang kami kunjungi adalah Munich (MUNCHEN). Sengaja Munchen aku jadikan salah satu tujuan karena di sini terdapat bangunan stadion dengan artistektur modern yang baru saja digunakan sebagai ajang pertandingan Olimpiade 1972, dimana 11 atlet Israel
tewas pada saat terjadi serangan aksi kelompok teroris ‘Black September’ pimpinan Muhammad Oudeh alias Abu Daoud.

Kami sempat mampir ke sebuah restoran. Kebetulan pengunjungnya cukup banyak. Dan semuanya aku lihat minum bir
dari gelas bertangkai ukuran satu pint. Di
tengah meja juga tersedia ceret beling yang
juga berisi bir. Isteriku mencoba memesan air putih tapi ternyata tidak ada. Juga teh tidak tersedia. Yang ada hanya bir. Kami sampai sempat menduga kalau orang Jerman, baik pria maupun wanita, minuman sehari-harinya adalah bir. Bukan wine, bukan sampagne, dan bukan air putih, apalagi teh.

Di Munich kami menginap satu malam. Di kamar kami masak air untuk minum dan bekal esok hari.
Dari Munich 20/09/77 kami lanjut ke STUTTGART melalui Augsburg – Ulm. Beberapa puluh mil sebelum Stuttgart, pada saat kami sedang beristirahat setelah mengisi bensin di sebuah pom bensin, tiba-tiba datang puluhan mobil polisi yang mengadakan razia terhadap mobil mobil yang lewat. Waktu itu sekitar pukul 9 malam. Mobilku sendiri tidak diperiksa. Mungkin selain karena nomornya Inggris, juga karena ada sticker CD (Corps Diplomatic) menempel di butt belakang. Aku sempat bertanya kepada seseorang, ada apa? Aku mendapat jawaban bahwa beberapa minggu terakhir memang sering diadakan razia, untuk menemukan Andreas Baader, tokoh teroris Jerman yang paling dicari waktu itu, yang pada tahun 1970 berhasil melarikan diri dari penjara
dibebaskan oleh teman-teman kelompoknya.
Andreas Baader adalah salah satu pentolan teroris Jerman beraliran ekstrim kiri yang menamakan diri mereka Rote Armee Faktion (RAF) atau yang lebih kita kenal dengan ‘Tentara Merah’, bersama mantan jurnalis kawakan Ulrike Meinhof, dan Gudrun Ensslin yang tidak lain adalah kekasih Andreas Baader itu sendiri. Pada waktu itu Gudrun dan Ulrike beserta tiga tokoh lain (Andreas, Holger dan Paspe)
pada tahun 1972 sudah berhasil ditangkap dan ditahan di penjara Stammheim, Stuttgart.

Pada mulanya RAF adalah kelompok gerakan generasi muda yang menginginkan tumbangnya rezim kapitalisme Jerman Barat, yang menurut mereka masih lekat dengan citra Nazi. Kanselir Jerman 20
tahun setelah berakhirnya Perang Dunia II, Kurt Georg Kiesinger, adalah mantan anggota Nazi. Pada tahun 1967, dalam sebuah demonstrasi untuk menentang kunjungan pasangan Shah Iran, Mohammad Reza Pahlevi, dan istrinya yang terkenal, Farah Diba, polisi menembak mati seorang mahasiswa bernama Benno Ohnesorg. Salah seorang tokoh gerakan yang bernama Gudrun Ensslin kemudian menyerukan radikalisme dalam aktivitas gerakan untuk melawan apa yang dia sebut sebagai babi-babi Generasi Auschwitz. Auschwitz adalah kamp konsentrasi yang sangat mengerikan di jaman Nazi. Untuk itu mereka perlu mempersenjatai diri. Maka lahirlah Red Army Faction (RAF) yang beranggotakan kalangan intelektual, antara lain mahasiswa perfilman, pengacara, hingga bekas anggota Partai Komunis Jerman.

Dari Stuttgart kami menuju Frankfurt melalui Karlsruhe – Heidelberg – dan Darmstadt. Autobahn (istilah Jerman untuk motorway), sangat mulus dan nampaknya tidak ada sama sekali pembatasan kecepatan berkendara. Mobilku sempat bergetar hebat sewaktu sebuah mobil lain
menyalib dengan kecepatan yang tidak dapat aku bayangkan. Speedo-meter mobilku saja sudah menunjuk angka 130 mil. Mungkin karena itu Highway Patrol yang di Jerman disebut Die Autobahn-polizei mengendarai sedan sport Porche dengan sunroof di atap yang digunakan untuk nongolin separuh badannya.

Di Frankfurt kami hanya melihat-lihat sebentar, karena selain tidak ada obyek yang menarik, juga karena kami akan meneruskan ke Bonn, ibukota Jerman Barat, dimana salah satu oom isteriku kebetulan tinggal untuk belajar di sini.
Di Bonn kami sempat mampir ke KBRI sebelum dipindahkan ke Berlin paska runtuhnya tembok Berlin pada tahun 1989.
Empat tahun setelah selesainya Perang Dunia II, pada tahun 1949 Jerman
dibagi dua : Jerman Barat (Westdeutsche Bundesrepublik) dengan ibukota Bonn,
dan Jerman Timur (Deutsche Demokratishe Republik) dengan ibukota Berlin Timur. Setelah berakhir perang dingin dan tembok Berlin diruntuhkan, pada tahun 1990 ke dua Jerman melaksanakan reunifikasi menjadi satu Jerman yang
kemudian dinamakan Bundesrepublik Deutchland (Federal Republic of Germany)
dengan ibukota Berlin.

Bonn adalah salah satu kota di daratan Eropa yang terletak di pinggir sungai Rhine. Kotanya relative tidak besar dan sepi. Hampir seluruh bangunannya adalah bangunan lama, termasuk gedung KBRI di
Bernkasteler Strasse 2, yang selain tua juga tidak besar kalau tak ingin disebut sangat sempit. Nyaris sama sempitnya dengan KBRI London di Grosvenor Square 38.
Keesokan harinya 21/09/77 kami meneruskan perjalanan ke Belanda
melalui Köln – Dusseldorf dan Arnhem.

***
Begitu masuk ke negeri Belanda kesan saya yang pertama adalah bahwa negeri ini betul-betul datar. Tak ada sedikitpun gundukan tanah yang pantas disebut bukit - apalagi gunung. Betul-betul flat, rata.
Di kiri dan kanan motorway banyak terdapat dataran padang rumput yang dipagari dua lajur papan kayu setinggi dada orang dewasa. Beberapa puluh sapi yang kebanyakan berkulit belang hitam dan putih nampak sedang merumput, persis seperti gambar pada bungkus kaleng sebuah merek susu kental manis. Jumlahnya tidak terlalu banyak, tidak seperti yang bisa kita lihat di padang rumput/ranch di Arizona atau Texas, yang jumlahnya bisa ratusan atau bahkan ribuan.

Kota Belanda pertama yang kami kunjungi adalah Utrecht. Dari Utrecht kami
meneruskan perjalanan ke Amsterdam, salah satu kota terbesar Belanda. Beberapa
restoran Indonesia kami temukan di sini, namun rasa masakannya jauh berbeda
dengan rasa aslinya. Mungkin karena sudah disesuaikan dengan lidah Eropa.
Kami juga sempat berkunjung ke Volendam di muara sungai IJ, yang dulunya sebuah teluk yang kemudian direklamasi. Volendam adalah sebuah kota kecil di selatan Edam, Holland Utara, yang merupakan waterfront-nya Amsterdam di IJsemeer Lake. Kota nelayan yang sangat spesifik dengan bentuk bangunan-bangunan dan budaya asli Belanda.
Kami sempat berfoto di sebuah studio
foto dengan berpakaian tradisional
Belanda: jubah panjang, selop kayu wungkul dan kopiah tinggi berwarna hitam sambil menghisap pipa panjang, sementara isteriku dan si baby Cula berpakaian rok lebar barwarna-warni, dan juga berselop kayu wungkul.

Dari Volendam kami kembali ke Amsterdam. Keesokan harinya 22/09/77 kami langsung menuju ‘s-Gravenhage atau DEN HAAG (The Hague), kota pemerintahan dan parlemen Belanda, dimana juga terletak kantor-kantor perwakilan Negara asing termasuk KBRI, sehingga dapat dikatakan de facto Den Haag adalah ibukota Belanda, meskipun de jure ibukota Belanda adalah Amsterdam, dimana Ratu dan keluarga kerajaan bertahta di Royal Palace (Koninklijk Paleis op de Daam) yang persis
berdiri di tengah kota.

***
Pagi sekali tanggal 23/09/77 kami sudah berangkat menuju Belgia (BELGIUM) melalui Breda. Breda adalah kota dimana The Dutch Royal Academy atau Koninklijke Militaire Academie (KMA) berada.
Kadet KMA sesuai major yang dipilihnya dapat menjadi perwira The Dutch Army atau The Dutch Air Force. Beberapa mantan petinggi TNI alumni KMA diantaranya adalah: alm. Marsekal Soeryadarma (KSAU) lulusan KMA 1929, Mayjen TNI R. Poerbonegoro (Sekmilpres) dan R.
Soewardi (Gubernur pertama Akmil) lulusan KMA 1930, Mayjen Untung Sridadi dan Jenderal Rudini (Kasad) lulusan tahun 1953. Konon sewaktu menjadi kadet KMA, karena bentuk tubuhnya yang pendek
kekar, pak Rudini oleh para instrukturnya dipanggil Hannibal, panglima pasukan Romawi yang memimpin perang Kartago yang konon terhebat di sepanjang
sejarah Romawi.

Sekitar pukul 9 pagi kami sudah
masuk ke Brussels (BRUXELLES).
Salah satu obyek yang kami kunjungi
tentu patung anak kecil yang sedang pipis
Manneken Pis, yang merupakan symbol
kedekatan (cohabitation) antara Belanda
dan Perancis.
Tidak lupa kami juga mengunjungi Atomium di Heysel Park, yang dibangun dalam rangka Brussels World’s Fair 1958
Bangunan setinggi 102 meter yang
terdiri dari 9 bola logam besar yang
dihubungkan satu sama lain, yang
menggambarkan struktur atom kristal
baja yang diperbesar milyaran kali. Dari
bola yang paling atas kita bisa melihat
pemandangan kota Brussels.
Setelah puas berfoto ria kami melan-
jutkan perjalanan menuju ke Ostend
(OOSTENDE) yang juga pelabuhan
penyeberangan dari daratan Eropa
menuju ke pelabuhan Dover.

***
Sekitar tengah hari kami sudah sampai kembali ke daratan Inggris, dan langsung meluncur menuju ke London.
Alhamdulillah pada tanggal 23 September 1977 sesaat setelah gelap kami tiba kembali di rumah, dalam keadaan sehat walafiat, tidak kurang suatu apa.
Ada perasaan gembira yang berlebih, kangen dengan rumah, seolah kami telah meninggalkannya demikian lama. Padahal tidak lebih dari dua minggu lamanya, bahkan hanya 13 hari.

***
(Copas dari buku "Sosok Seorang MARINIR BANYUMAS", Otobiografi Mayjen TNI (Mar) Sudarsono Kasdi)

NASI GORENG RANJAU MADURA  (Karang Tekok 1967)

Pendidikan Sedaspako yang kami alami waktu itu lebih banyak ditekankan pada aplikasi teori perang yang diwujudkan melaluiPendidikan Komando dan Perang Hutan (Kohut). Mungkin karena diilhami oleh tuntutan kebutuhan operasi KKO sebelumnya di belantara Irian Barat (Ops Trikora) dan di perbatasan Kalimantan (Ops Dwikora).
Hampir tiga bulan kami berkutat pada latihan Komando di Purboyo, untuk mempraktekkan pengetahuan teori dan taktik perang perorangan prajurit komando dan gerakan maneuver pertempuran satuan kecil.
Untuk menambah gizi makan yang memang kurang memenuhi standar kebutuhan, kami sering secara sembunyi-sembunyi mengadakan barter makanan dengan penduduk setempat, dengan apa saja yang kami miliki, mulai piyama, celana, sepatu PDH, handuk, atau baju bekas.

Satu malam sepulang latihan serbuan malam, empat orang teman ex Kawanua ngumpul di satu sudut di luar bangunan asrama. Rupanya salah seorang sebelumnya sudah mengorbankan miliknya untuk ditukar dengan nasi goreng. Berempat tanpa cuci tangan terlebih dahulu mereka langsung melahap nasi goreng yang ditempatkan di helm luar (topi baja) salah satu teman.
Setelah beberapa suap salah seorang mengatakan seperti ada bau kotoran manusia. Karena menduga ada kotoran didekatnya makamereka bergeser pindah ke tempat lain, kemudian meneruskan menikmati hasil barter teman tadi. Tidak berapa lama salah seorang mengatakan masih juga mencium bau kotoran, sehingga mereka terpaksa bergeser lagi. Begitu pula ditempat yang baru mereka juga masih
mencium bau kotoran, sehingga mereka mulai curiga kalau ada salah seorang yang sebelumnya menginjak kotoran manusia. Oleh karena itusemua sepatu kemudian diperiksa. Tetapi hasilnya nihil, sehingga
pencarian kemudian lebih mempercayakan pada kemampuan hidung untuk melacak sumber bau.

Ternyata temuannya sungguh luar biasa,
karena sumber bau ternyata ada di telapak tangan salah satu teman. Mungkin pada waktu merayap mendekati sasaran pada problem serbuan malam tangannya telah menyentuh ‘ranjau madura’, istilah becandaan yang kami gunakan untuk kotoran manusia yg sering kita temukan di pinggir pantai tempat latihan pendaratan di pulau Madura.

***
(Copas dari buku "Sosok Seorang MARINIR BANYUMAS", Otobiografi Mayjen TNI (Mar) Sudarsono Kasdi)

Jumat, 02 Februari 2018

*Obituari Buat Seorang Sahabat*

Innalillahi waina illaihi rojiun...

Tadi pagi, kembali dari sholat subuh, spt biasa aku duduk di meja makan, makan potongan pepaya seperti biasanya, sambil minum kopi pait dan buka2 WA. Tiba2 masuk postingan dari sobatku Benu Isfadjar yg mengabarkan berita duka yg sangat mengagetkanku, yaitu berpulangnya sahabat lamaku, mas Ripa Gamhadi Prawirosastro.

Tiba2 bayangan sahabatku ini seperti muncul di depanku.. Dalam imajinasiku mas Ripa ada di hadapanku sambil mengingatkan kisah lama yg pernah kita alami bersama.. Aku jadi ingat kala itu..

Mas Ripa,

Masih ingatkah sahabat di Akademi dulu, ketika di pagi buta sempat dikokang senjata oleh kopral kadet pengawal pos jaga, waktu kita sedang berusaha menerobos pagar kawat duri di samping penjagaan untuk membolos week-end gelap pulang kampung, dan baru dibiarkan lepas ketika aku bisikkan identitas kesenioran kita yg kala itu berpangkat sersan kadet.

Juga msh ingatkah sahabatku, ketika di ruang Kadet Komando di gedung Patimura, dikala kamu menjabat Danton di Kompiku. Selepas apel siang di bulan puasa yg sangat terik, aku beritau kamu kalo aku menyimpan satu mug kopi yg aku ambil waktu saur semalam di lemariku di ruang kadet komando. Kemudian diam2 kamu membuka lemariku, ngumpet dari pandangan teman2 kadet komando yg lain. Belakangan aku ketahui ternyata satu mug kopiku hampir tuntas kamu buat "berbuka".

Masih ingat jugakah kamu kenangan lain ketika aku tugas di London, dan kamu mengikiti pendidikan di Potsmouth (?), kamu bersama Kpt Sjahrul Imran (alm) selalu nginap di rumahku saat week end. Bahkan ketika anak pertamaku lahir kamu jg turut mengantar istriku ke Edgware Hospital. Aku ingat betul 5 hari seblm anakku lahir, tepatnya pada tgl 7 Feb 1977 anak pertamamu yg kamu beri nama Roy Aquary jg lahir. Olh krn itu kamu terlihat sangat menyayangi dan senang sekali menimang Cula, anak pertamaku, krn mungkin kamu membayangkan putera kecilmu yg jauh di tanah air. 
Kamu jg membeli perlengkapan bayi spt yg aku beli utk anakku. Celakanya ketika mau boarding pulang kembali ke tanah air selesai pendidikan, petugas custom tdk mengijinkan kamu masuk ke pesawat terbang, krn dianggap smugling bagasi, krn tentengan kamu yg terlalu banyak. Akhirnya terpaksa kamu dan Sjahrul batal berangkat, kecuali kopernya yg sdh terlanjur masuk pesawat.
Sekitar dua minggu kamu berdua Sjahrul tinggal di rmhku menunggu kopernya yg sdh terlanjur trkirim ke Jakarta dibalikin lagi. Selama dua minggu itu waktumu kamu habiskan utk nonton film2 porno di Soho yg selama mengikuti pendidikan blm sempat kamu tonton. Bahkan Sjahrul Imran yg semula malu2 akhirnya malah brangkat sendiri kalo kamu berhalangan. Hampir semua judul film porno sdh kalian berdua tonton, kadang bahkan sampai dua ato tiga kali.

Ripa sahabatku... Kini engkau telah tiada.. Rasa tercekik leherku ini setiap mengingatmu.. 
Selamat jalan sahabat.., semoga Allah mengampuni semua dosa dan kesalahanmu.., dan menerimamu husnul khatimah di tempat termulia di sisiNya.
Aamiin ya rabbal alamin! 

Selamat jalan sahabat, sampai jumpa..., kelak di a!am sana...

Jkt, 1/2/2018
esKa

Kamis, 01 Februari 2018

*Peringatan Allah: "JANGAN SOMBONG!"*.

Bermula dari kunjunganku menengok cucu anak pertamaku pd winter menjelang Natal thn lalu di Shanghai, dimana kala itu cuacanya sangat dingin. Tanpa diduga sendi lutut kiriku mulai merasa terganggu bila digunakan utk jalan dan duduk sholat. Sekembali ke tanah air aku brangkat lagi ke Pekanbaru utk nengok cucu anak keduaku skaligus utk memeriksakan radang sendi lututku. Dari hasil foto, anakku yg kebetulan dokter SpS di AwalBros menengarainya sbg osteoarthritis tahap -1. Penyakit degenerasi yg biasa trjadi pada ortu seusiaku. Utk itu aku dianjurkan utk kembali berenang, spt yg bertahun2 aku lakukan sebelum sport center Villa Cinere dimana aku biasa berenang terbakar.
Sejak kejadian itu, krn aku lihat di sekitar tempat tinggalku gada kolam renang lg yg cukup memadai maka sbg gantinya salah satu kamar rmhku aku rubah jadi ruang gym. Sejak saat itu aku beralih ke treadmill ato narik beban dan angkat barbel. Lama2 aku terbiasa menarik dan mendorong beban seberat 8-9 keping 4×30 hitungan. Sayang bbrp bulan lalu terhenti krn slingnya putus, dan blm berhasil menemukan gantinya.
Hari Senin lalu secara kebetulan aku menemukan kolam renang yg cukup representatip di Admiralty, meski hanya 1/2 ukuran Villa Cinere yg Olympic size. Utk jadi memberpun jg tdk terlalu berat. Jadilah aku mendaftar sbg member utk 1 thn pertama.

Hari Rabu pkl 6 pagi spt yg biasa aku lakukan dulu, aku brangkat utk berenang. Kolam sepi gada seorangpun yg berenang. Setelah pasang fin dan masker yg sdh aku siapkan aku mulai berenang. Awalnya lutut kiriku terasa sakit tapi setelah menempuh jarak 200m lutut tdk sakit lagi. Aku pikir ini rupanya terapi yg tepat utk sakit lututku. Dari situ aku mulai sombong. Dulu setelah pensiun aku biasa berenang setiap hari tdk kurang dari 2500 m. Bahkan thn 2001 aku sempat ikut sbg peserta tertua renang Selat Madura yg konon berjarak sekitar 5 mil. Jadi dengan sombongnya aku mulai mengawali berenang pagi itu sekitar 600 m, dgn harapan dlm 1-2 minggu sdh bs mencapai 2000m lagi.
Setelah selesai aku mandi dan ganti pakaian. Tiba2 aku teringat di lantai dua ada fasilitas gym. Aku naik dan mulai narik2 beban 7 keping 3×20 hitungan. Sengaja aku kurangi berat dan hitungan krn sblmnya sdh lumayan lelah berenang, dan bbrp bln berhenti menarik beban.
Kemudian aku lanjutkan dgn mengangkat dumbel 8 kg spt yg biasa aku lakukan di rmh. Setelah terasa capai dan berkeringat aku berenti dan turun kembali ke locker.

Ketika membereskan perlengkapan renang tiba2 keringat dingin mengucur dari seluruh badan. Bahkan jacket yg aku kenakan basah kuyup. Pandanganpun mulai nanar. Aku sadar ini masalah jantungku yg memang pernah dipasang ring dua kali, thn 2010 dan 2013. Pelan2 aku ke parkiran, naik ke mobil dan meletakkan 2 butir cedocard yg selalu aku siapkan di dompet, ke bawah lidah. Ternyata efeknya tdk atau kurang berpengaruh. Keringat tetap mengucur dan smua bagian badan terasa sakit. Rasanya spt habis digebugin amok FPI, hehe. Bersyukur aku membawa sebotol herbalife shake yg aku pikir bs sedikit mengurangi dehidrasi.
Aku tilpon istri minta dijemput krn rasanya tdk mungkin lagi bs mengemudi sendiri sampai ke rumah. Aku sungguh merasakan spt yg banyak orang bilang, "menunggu adl pekerjaan terkutuk." Aku bahkan sempat berpikir usiaku akn habis di parkiran Admiralty. Kulempar pandanganku kesekitar mencari 2 malaikat penjemput yg konon akan mendatangi di saat menjelang ajal. Tapi yg aku lihat hanya ada 1 satpam di kejauhan. Dan aku haqulyakin dia bukan malaikat.
Dlm perjalanan pulang yg jaraknya hanya sekitar 3 km, aku ngomel krn macet. Istriku menasihati agar aku lbh baik dzikir menyebut asma Allah drpd ngomel yg jelas tdk bs mengubah macet.

Tiba dirumah istri langsung telpon mantuku di Pekanbaru yg kebetulan dr jantung. Mantuku nanya brapa tensi darahku saat itu. Aku ukur ternyata hanya 70/40. Mantuku langsung minta aku dibawa ke RSJP Diagram dekat rumahku di Cinere.
Di UGD aku langsung dipasang infus dan direkam jantung, diambil darah dan difoto torax. Aku tdk tau utk apa itu semua, tp terserah sj apa katanya.

Sementara penanganan aku di UGD Diagram, rupanya mantuku menghubungi RSJP Harkit, dimana dia sebelumnya berpraktek. Prosesnya memakan waktu cukup lama krn nampaknya ada sedikit miskomunikasi atr Diagram dgn Harkit. Mejelang sore baru aku diangkat ke ambulance utk dibawa ke RSHK. Saat2 dimana traffic sdg sangat padat. Bersyukur ada seorang pengendara motor berplat nomor B 3061 SDZ mengenakan jacket gelap dgn kombinasi kuning, yg dgn sukarela berinisiatif membantu membuka jalan di sepanjang jalan Tentara Pelajar yg saat itu macet total. Istriku yg duduk disebelah sopir sempat merekamnya.

Videonya bisa ditonton di:
https://youtu.be/W68f6WpuM54

Melihat videonya aku sempat trenyuh dan bersyukur ke hadirat Allah swt krn dlm situasi gawat Engkau hadirkan seorang anak muda tdk tau dari mana yg membantu memperlancar jalannya ambulance. Aku sungguh telah berhutang budi kepadanya. Oleh krn itu seandainya ada yg mengetahui siapa dan dimana tinggalnya anak muda ini sudi kiranya utk memberitahuku. Aku sungguh ingin sekali bertemu utk sekedar mengucapkan terima kasih yg sedalamnya.

Tiba di RSHK aku langsung didorong masuk UGD. Prosedur yg hampir sama, kecuali foto rontgen, jg dikerjakan. Dokter jg menanyakan proses terjadinya serangan. Aku bisa merasakan penanganan di RSHK sangat amat profesional. Bkn suatu yg aneh krn RSHK adl Pusat Jantung Nasional.
Bbrp saat kemudian aku didorong masuk ICCU, terus dipasang kabel2 monitor tensi, pulse, infus dan perekam jantung. Setiap 30 menit dilakukan echo (EKG) utk mengetahui perkembangan keadaan jantungku. Aku diberitau keadaannya mudah2an tdk segawat yg diduga semula. Aku sendiri tdk tau segawat apa yg mereka duga semula. Namun kateterisasi ttp akn dilakukan utk mengetahui lebih detil masalahnya.

Besoknya aku didorong ke catlab utk tindakan katerisasi. Yg melaksanakan Prof Dr Sunarya SpJp. Beliau jg yng memasang stent 4 tahun lalu. Mantuku mmg minta beliau yg melakukan krn jantungku anomali, shg apabila dikerjakan dr lain mungkin perlu waktu utk mempelajari jantungku yg tdk sama dgn jantung manusia pd umumnya. Ato jangan2 memang bkn jantung manusia yg dipasang ditubuhku.. hehehe.

Dari katerisasi ketahuan ternyata satu stent yg dipasang thn 2010 sdh buntu total dan mengeras shg tdk bs ditembus. Beruntung selama itu aku cukup aktif olahraga shg sdh terbentuk banyak pembuluh2 collateral yg menggantikan fungsinya utk menghantar oksigen ke jantung bagian kanan. Terbentuknya pembuluh2 halus pengganti itu trnyata jg mengakibatkan gangguan penyempitan tdk termonitor lebih awal, shg stent sempat sampai buntu total dan mengeras tanpa disadari.

Dari hasil pengamatan kondisi jantung, Prof Sunarya memutuskan utk tdk dipaksakan ditembus krn selain dikhawatirkan akn robek juga darah bs muncrat mendadak sampai ke otak yg bs mengakibatkan trjadinya stroke. Akhirnya diputuskan utk hanya dibalon pd bbrp pembuluh.

Hasil pengecekan total akhirnya diketahui kalo jantungku ada gangguan denyut yg gak beraturan (aritmia) dan badanku jg resistan thd obat pengencer darah Plavix yg bbrp thn sempat aku minum. Terpaksa bbrp jenis obat yg hrs aku minum selama hayat dikandung badan jg harus diganti.

Demikian sekelumit kisah serangan jantung yg menimpaku, yg lbh disebabkan krn rasa sombong gak ngukur diri, bahwa jantungku sebetulnya sdh tdk lagi bs mengikuti kemampuan fisikku. Mungkin pepatah "Besar pasak dari tiang", bs mewakili..hihihi

Mudah2an ada manfaatnya khususnya bg teman2 Jantungers...


Jkt, 02/2017
/esKa
MUNDUR DEMI KEHORMATAN

Pada satu hari sekitar bulan September 2003 aku menerima berita bahwa Tim Itjenal akan mengadakan wasrik khusus ke Yasbhum. Sepengetahuanku Wasrik khusus dilaksanakan apabila ada indikasi pelanggaran atau penyimpangan. Aku bertanya dalam hati, ada apa dengan Yasbhum? Kok selama ini tidak ada laporan apa-apa dari pejabat Pengawas?

Aku kemudian mengecek kepada Pengurus tetapi semua mengatakan tidak ada masalah. Kemudian aku bertanya kepada Pengawas Yayasan yang seharusnya menjadi counterpart Inspektorat dalam hal pengawasan terhadap Yayasan, ternyata jawabannya juga tidak merasa pernah
dihubungi.

Keesokan harinya tim wasrik yang dipimpin Irbin Itjenal tanpa didahului dengan entry briefing seperti lazimnya wasrik, langsung memeriksa yayasan. Aku sengaja membiarkan saja karena ingin tahu apa maunya. Mereka minta AD/ART, Prokera Tahun 2003, dan surat-surat lain yang berkaitan dengan keuangan yayasan.

Pada hari keempat pemeriksaan aku mendapat informasi dari Pengurus
bahwa tim wasrik sudah sampai pada tahap akhir pemeriksaan.
Temuan yang berhasil di monitor diantaranya adalah adanya kegiatan
yang tidak terdapat dalam program tetapi dilaksanakan. Hal ini mereka anggap sebagai penyimpangan Prokera.
Tim juga menemukan adanya pemberian pinjaman yang dinilai sebagai
pelanggaran terhadap UU Perbankan.
Disamping itu juga ditemukan adanya beberapa piutang yang sudah jatuh tempo tetapi tidak dilaksanakan eksekusi jaminan.

Mendengar informasi seperti itu aku minta pengurus menghubungi tim, apakah saya selaku Ketua Pembina Yayasan bisa menyampaikan pendapat sebagai crosscheck temuan sebelum hasil wasrik ditulis dan dibukukan, seperti yang lazim berlaku dalam prosedur wasrik. Ternyata mereka bersedia.

Setelah tim wasrik dan seluruh pengurus dan pengawas yasbhum berkumpul, aku kemudian menyampaikan sbb.:

Pertama, sebagai mantan Irjenal sedikit banyaknya tahu bagaimana prosedur kerja wasrik di lingkungan institusi TNI-AL.
Pada dasarnya tujuan wasrik adalah untuk mengamankan anggaran yang sudah dialokasikan untuk mendukung program seperti yang tertuang di dalam prokera. Oleh karena itu titik berat kegiatan wasrik
adalah ‘mencocokan pelaksanaan kegiatan dengan program kegiatan’. Kalau cocok berarti betul, dan kalau tidak cocok berarti salah.

Aku tegaskan bahwa setiap program yang tertuang di dalam Prokera dari setiap institusi dinas TNI pasti sudah didukung dengan anggaran yang tersedia dari APBN dalam jumlah tertentu. Dan semuanya
tertuang di dalam Prokera. Artinya, bahwa anggaran itu sudah ada, sudah siap, dan tinggal menggunakan.

Kalau mau membandingkan Prokera dinas dengan yayasan barangkali serupa dengan Prokeranya yayasan seperti : Rockefeller Foundation, Nobel Foundation, Lyon Club, Rotary Club, dan Davis Cup atau Thomas Cup, karena yayasan semacam itu semuanya sudah mempunyai dana yang tersedia dari donasi seorang atau banyak orang. ‘Tugas’ yang diberikan kepada
foundation atau yayasan semacam itu hanyalah bagaimana melaksanakan pemilihan dan menentukan siapa-siapa yang akan menerima bantuan, atau kepada siapa bantuan akan diberikan. Kalau bidangnya olah raga misalnya, ya bagaimana kompetisi diselenggarakan untuk mengetahui siapa yang menjadi juara dan pantas menerima piala atau bonusnya.

Sebaliknya pada yayasan semacam Yasbhum, yayasan TNI atau kebanyakan yayasan yang ada di Indonesia, proses pendanaan dan cara kerjanya sangat berbeda. Di situ memang ada Prokera, yang di dalamnya juga berisi program dan rencana anggaran untuk mendukung
program. Tetapi dukungan anggaran yang direncanakan dan tertuang dalam Prokera ‘masih di awang-awang’, atau istilah populernya masih ‘angin sorga’. Belum ada duitnya. Justru yayasan itulah yang berkewajiban / bertugas untuk mencari dananya yang akan digunakan untuk mendukung program kegiatannya.

Oleh karena itu, untuk memeriksa yayasan semacam Yasbhum, yang harus dijadikan ukuran keberhasilan bukan ‘bagaimana prosesnya’tetapi ‘bagaimana output-nya’, yaitu berapa dana yang bisa dihasilkan?
Kemudian pertanyaan berikutnya adalah: Apakah dana yang dihasilkan cukup untuk mendukung program kegiatan yang tertuang di dalam Prokera?
Kalau temuan wasrik jawabannya ‘tidak’, artinya yayasan ini JELEKatau gagal; tetapi kalau temuan wasrik jawabannya ‘bisa’ artinyayayasan ini BAIK atau berhasil; bahkan kalau jawabannya ‘bisa, malah
lebih’ berarti yayasan itu BAIK SEKALI. Sebab kalau prosesnya benar sesuai dengan Prokera tetapi duitnya tidak dapat, sama saja artinya dengan parasit, karena program (bantuan sosial) tetap harus dilak-
sanakan, sedangkan dukungan tidak ada atau tidak mencukupi. Agar program tetap bisa dilaksanakan oleh pengurus, mau tidak mau dengan resiko menanggung malu, terpaksa harus mengambil dana yang tersedia di yayasan. Atau dengan kata lain: menggerogoti kekayaan yayasan (Yasbhum) yang telah berhasil dihimpun oleh pengurus Yasbhum pada periode atau tahun-tahun sebelumnya.
Kalau itu yang terjadi lama kelamaan tentu Yasbhum akan bangkrut.

Sisa Anggaran (siar) yang dari sudut pandang wasrik dinas adalah salah
karena tidak mampu melaksanakan program kegiatan yamg sudah dicanangkan, tetapi kalau di yayasan semacam Yasbhum justru diharap-
kan, asal semua program sudah seluruhnya direalisasi. Apabila hal tersebut bisa dicaapai berarti operasional yayasan berjalan efektif dan efisien.
Siar yang di yayasan disebut SHU (sisa hasil usaha), akan dibukukan untuk menambah kekayaan yayasan.

Kedua, masalah pemberian pinjaman yang dianggap melanggar UU Perbankan, aku jelaskan bahwa dari sudut pandang yuridis formal mungkin itu betul, namun kita harus melihatnya dari sudut pandang kepentingan prajurit, yaitu kesejahteraan, yang merupakan tujuan dibentuknya Yasbhum. Oleh karena itu harus diteliti dulu kenapa hal itu dilaksanakan, yang tidak lain maksudnya adalah untuk lebih memaksimalkan pendapatan Yasbhum. Sebab kalau hanya mengandalkan deposito dari simpanan kekayaan yang ada saja, Yasbhum tidak akan bisa menutup kebutuhan anggaran untuk mendukung program.

Ketiga, masalah piutang yang telah melewati waktu tapi belum diadakan sita jaminan, hal itu karena atas permintaan peminjam untuk bisa ditunda dulu, dan sudah ada kesepakatan bahwa mereka tetap akan memberikan bunganya. Dengan cara demikian Yasbhum akan terus
menerima tambahan pemasukan dari bunga pinjaman tanpa harus mencari ‘nasabah’ baru atau membuat perjanjian baru yang prosesnya tidak sederhana.

*** .
Beberapa minggu setelah wasrik, Yasbhum diminta paparan tentang Anggaran Dasar, aset yang dimiliki, pelaksanaan prokera 2003, dan rencana kerja yang akan datang, di depan forum rapat staf Kasal yang
dipimpin oleh Wakasal.

Selaku Ketua Pembina, aku menyampaikan pengantar secara umum, diantaranya bahwa Anggaran Dasar (AD) Yasbhum sudah selesaidiperbarui, dan sudah di-akta-kan di kantor notaris Kun Hidayat, SH dengan nomor akta 17 tanggal 17 Oktober 2003. Penyusunannya diserahkan kepada notaris dan oleh notaris sudah dikonsultasikan keBiro Hukum Departemen Kehakiman dan HAM, karena disanalah yang berwenang mengesahkannya nanti, sehingga pada waktu diajukan untuk
pengesahan tidak akan dikembalikan lagi untuk perbaikan.

Kepada forum aku juga menyampaikan bahwa permintaan Kasal untuk penambahan dana untuk mendukung kebijakan peningkatan THR tahun 2003 bagi prajurit dan PNS sebesar 7 milyar – yang berarti meningkat sebesar 3 M dari program tahun sebelumnya – masih bisa didukung, bahkan pada tutup tahun buku 2003 nanti insyaallah kekayaan yasbhum
masih akan bisa meningkat dengan penambahan SHU sekitar 7,1 M.
Ketua Pengurus kemudian menyampaikan laporan secara rinci pelaksanaan prokera termasuk kekayaan aset, yang dilengkapi dengan penjelasan dari Bendahara, Kabalakgiat Sosial, dan Kabaladia Perumahan.

Ternyata tanggapan dari Wakasal dan Staf, hanya pada masalah Anggaran Dasar Yasbhum, yang menurut mereka isinya tidak sesuai dengan keinginan pimpinan Angkatan Laut, yang konon menghendaki
agar peran Kasal dalam mengendalikan Yasbhum secara explisit harus dicantumkan di dalam AD. Di samping itu beliau-beliau juga menginginkan agar beberapa jabatan di Yasbhum dijabat oleh pejabat aktif secara ex-officio. Wakasal bahkan menambahkan, kenapa Yasbhum
tidak meniru Yayasan Kartika Eka Paksi milik TNI AD yang semua pengelolanya dijabat oleh militer yang masih dinas aktif.

Atas tanggapan tersebut aku jelaskan bahwa Anggaran Dasar yayasan tidak mungkin lepas dari Undang-Undang nomor 16 tahun 2001 tentang Yayasan. Kita tidak bisa memaksakan hal yang berbeda dari apa yang sudah diatur di dalam UU. Selanjutnya, kalau Yasbhum harus mencontoh TNI AD berarti setback, mundur, karena kita sudah maju sangat jauh di depan mereka. Aku sampaikan bahwa Tim wasrik BPK sendiri pernah mengatakan bahwa Yasbhum adalah yayasan di lingkungan TNI/Polri yang dinilai paling baik dan perlu dijadikan contoh untuk Angkatan lain dan Polri.

Ketua Pengurus Yasbhum kemudian menambahkan penjelasanku, bahwa pada intinya AD yang disusun adalah menindak lanjuti keputusan Kasal nomor Kep/01/I/2000 yang diantaranya menyatakan bahwa organisasi Yayasan di lingkungan TNI AL, dalam hal ini Yasbhum, Yayasan Nala, dan Yayasan Hang Tuah, harus terlepas dari institusi dinas. Hal itu adalah untuk menindak lanjuti pengarahan Panglima TNI, dengan mengacu kepada arahan BPK, dan dengar pendapat dengan komisi-I DPR, yaitu agar: “tidak ada seorangpun pejabat dinas TNI/Polri yang terlibat di dalam Yayasan atau PT”.
Selain itu apabila Yasbhum ada keterkaitan dengan dinas, maka dengan mengibarkan bendera reformasi BPKP akan turun untuk memeriksa, dan semua kekayaan yayasan bisa saja akan dianggap sebagai aset
negara, dan Yasbhum dianggap sebagai bagian dari BUMN, sehingga harus dilepaskan dari TNI-AL.
Kalau hal itu yang terjadi maka maksud para pendiri, yang nota bene adalah pemimpin Korps Marinir atau KKO waktu itu, yang membentuk Yayasan Bhumyamca (disingkat Yasbhum) dengan tujuan untuk membantu pimpinan Korps dalam upaya menyejahterakan prajurit dan keluarganya menjadi berantakan karena tidak lagi jelas strukturnya.

Ternyata forum tetap tidak bisa menerima penjelasanku maupun penjelasan dari Ketua Pengurus. Wakasal selaku Pimpinan rapat bahkan mengatakan bahwa kita jangan berpegang pada keputusan yang dulu-dulu, karena Yasbhum onderbow Kasal, dan sekarang Kasalnya sudah
ganti, Wakasalnya sudah beda, dan para Asisten Kasal juga sudah baru.
“Apakah kami tidak boleh membuat kebijaksanaan yang berbeda?” katanya.
Oleh karena itu pada akhir rapat beliau memutuskan akan segera dibentuk tim untuk merevisi Anggaran Dasar Yasbhum yang baru yangsudah berhasil kami aktakan tadi.

Aku betul-betul kecewa mendengar apa yang diputuskan dalam rapat. Terbersit di dalam benakku niat untuk mundur dari jabatanku di Yasbhum, tapi aku masih harus mempelajari situasinya.

***
Selesai rapat aku langsung kembali ke kantor. Sampai di kantor aku kemudian mengumpulkan data-data yang terdapat pada Laporan Auditor Peters, Taufik & Rekan, untuk mengetahui kekayaan Yasbhum sejak mulai aku ditempatkan di Yasbhum pada awal tahun buku 2000, tahun buku 2001, 2002, sampai dengan Laporan Semester Pertama Tahun Buku 2003. Aku juga minta kepada bendahara untuk menyusun prediksi aktiva Yasbhum pada tutup buku akhir tahun 2003 nanti.
Setelah aku dapatkan semua, aku kemudian mempelajarinya satu per
satu.
Ternyata aku menemukan fakta, bahwa disana tercatat kekayaan Yasbhum pada akhir tahun buku 1999 adalah Rp.53.710.126.756,59.
Sedangkan prediksi kekayaan pada tutup tahun 2003 akan menjadi  Rp.85.917.277.683,95.
Ini berarti selama empat tahun aku menjabat kekayaan Yasbhum meningkat sekitar Rp.32.207.150.927,36.
Sedangkan dana yang sudah dan akan dikeluarkan Yasbhum untuk mendukung program bantuan sosial (diluar biaya operasi dan administrasi umum) selama 4 tahun mencapai Rp.40.594.064.833,00
Ini berarti, kalau Yasbhum bisa disamakan dengan PT, maka selama empat tahun aku menjabat, Yasbhum telah menghasilkan deviden sebesar lebih dari 72 milyar.

Aku perlukan minta klarifikasi kepada Bendahara Yasbhum apakah catatan yang aku dapatkan benar adanya? Bendahara menjelaskan bahwa semua itu bukan Yasbhum yang menyusun tetapi laporan hasil audit dari akuntan publik, yang tentunya bisa dipertanggungjawabkan.

Melihat kenyataan seperti itu niat mundurku dari Yasbhum yang tadinya masih ‘lonjong’ kini sudah bulat dan mantap, karena aku akan bisa meninggalkan Yasbhum dengan ‘tanpa beban’.

Aku kemudian menuangkannya kedalam tulisan.

Empat hari setelah paparan, hari kedua bulan puasa Ramadhan, tepatnya hari Selasa tanggal 28 Oktober 2003, aku menghadap Kasal untuk menyampaikan surat pengunduran diri sebagai Ketua Pembina Yasbhum. Alasan yang aku tulis dalam surat tersebut adalah selain karena
aku sudah lebih tiga tahun menjabat di Yasbhum, juga untuk memberikan kesempatan kepada purnawirawan yang lebih muda. Alasan normatif yang lebih bernuansa formalitas.
Namun selain alasan normatif, ada alasan lain yang tidak aku tuangkan dalam tulisan, tetapi aku sampaikan kepada Kasal secara lisan, yaitu bahwa : “aku merasa bukan saja sudah tidak dipercaya lagi, tetapi bahkan dicurigai oleh para yuniorku yang sekarang menjadi pejabat teras di TNI-AL”.

Aku sampaikan kronologisnya mulai dari turunnya wasrik khusus tanpa alasan yang jelas, sampai dengan paparan didepan forum rapat staf Kasal yang dipimpin oleh Wakasal, tetapi tanggapan yang aku terima jauh dari pemahaman orang yang mengetahui permasalahan yayasan.
Aku juga menyampaikan kepada Kasal bahwa aku tidak mau dipaksa untuk berbuat bodoh dengan merubah Anggaran Dasar Yasbhum, yang disusun oleh ahlinya (notaris profesional), dengan mengacu kepada UU no.16 tahun 2001 tentang Yayasan, dan sudah dikoordinasikan ke Biro Hukum Depkeh & HAM, yang jelas mempunyai kewenangan untuk mengesahkan.
Sesuai ketentuan undang-undang, untuk bisa merubah akta Anggaran Dasar Yayasan (dhi Yasbhum) harus melalui proses keputusan rapat Pembina, yang nota-bene aku ada disitu. Jadi agar aku tidak menjadi penghalang, lebih baik aku mundur untuk kemudian diganti oleh siapapun yang mau diatur untuk mengikuti selera beliau-beliau.

Mendengar apa yang aku sampaikan, Kasal menyatakan terkejut, tidak menduga bahwa staf telah bertindak sejauh itu. Beliau minta maaf karena telah terlalu mempercayakan kepada Wakasal secara penuh, masalah-masalah yang beliau anggap sebagai masalah rutin, termasuk masalah Yasbhum, tanpa pemantauan. Beliau berjanji akan membahas lagi masalah ini dengan staf, dan minta agar aku untuk sementara masih tetap aktif sebagai Ketua Pembina Yasbhum.

Tiga bulan kemudian, berdasarkan surat telegram Kasal nomor ST/71/2004 tanggal 30 Januari 2004, secara resmi aku diberhentikan dari jabatanku sebagai Ketua Pembina Yasbhum, terhitung mulai tanggal 1 Pebruari 2004.

Pada saat kami menyusun Memorandum Serah Terima Jabatan, prediksi jumlah peningkatan aktiva tahun 2003 yang semula kami perkirakan ternyata tidak sepenuhnya tercapai. Hal ini disebabkan karena deviden PT. JBY tahun 2002 sebesar Rp.4.2 milyar yang sudah diputuskan pada saat RUPS bulan Maret 2003, sampai saat aku meninggalkan Yasbhum oleh PT.JBY belum bisa diserahkan, dengan alasan dananya masih berada di fihak ketiga. Di samping itu untuk mendukung proses pembangunan perumahan prajurit, Yasbhum juga diminta untuk segera membayar biaya sertifikasi tanah TNI-AL di Ciangsana sebesar sekitar Rp. 1 milyar.

Persis tanggal 1 Pebruari 2004 aku menyerahkan jabatan Ketua Pembina Yasbhum kepada Laksda TNI (Pur) Leo Dumais, untuk selanjutnya meninggalkan Yasbhum, terminal terakhirku di TNI-AL
yang aku cintai, dengan ‘langkah tegap’.


***
(Copas dari buku "Sosok Seorang MARINIR BANYUMAS", Otobiografi Mayjen TNI (Mar) Sudarsono Kasdi)

*KESAN & PESAN MAYJEN TNI (MAR/PURN) SUDARSONO KASDI*
Dalam Rangka Wisuda Purna Wira Pati TNI-AL tahun 2000

Sewaktu kecil tidak ada sedikitpun terbersit keinginanku menjadi pelaut, namun kenyataannya aku menjadi prajurit Angkatan Laut. Empat tahun aku mengikuti penggemblengan pembentukan perwira laut di AAL. Jujur, tidak banyak yang saya dapat kecuali kebanggaan pada korps dan kecintaanku pada Angkatan Laut. Sejak saat itu saya tidak pernah rela apabila ada yang menyia-nyiakan korps, atau mensemena-menakan Angkatan Laut. Bahkan kini di masa saya sudah purnabakti.

Hampir 32 tahun saya mengabdi TNI-AL. Waktu yang cukup lama untuk membuatku tau banyak. Namun karena berbagai keterbatasan, termasuk keterbatasan kewenangan jabatan yang pernah saya emban, dan keterbatasan kemampuan dalam menghadapi kendala yang ada, ke-
tahubanyak-anku tadi tidak mampu untuk mewujudkan semua harapan teman-teman (perwira), bahkan tidak harapanku sendiri.
Meskipun demikian saya tidak kecewa atau menyesali, karena saya yakin masih banyak teman-teman perwira (muda) yang masih memiliki kesempatan dan kelebihan daripada saya, termasuk mungkin yang lebih memiliki ‘unggah-ungguh’ daripada saya.
‘Kurang memiliki unggah-ungguh’ adalah predikat yang pernah diberikan kepadaku dalam satu forum Wanjakti untuk menetapkan satu jabatan tertinggi di Korps. Saya tidak bisa menerima tuduhan tersebut namun tidak ada peluang bagiku untuk bisa mengklarifikasikannya. Apa boleh buat, saya terpaksa harus introspeksi
sendiri, dan alhamdulillah akhirnya saya bisa ‘mengerti dan memahami’.

Saya memang pernah menolak untuk menerapkan falsafah Cina “seperti ilalang di atas bukit”, dan saya juga tidak mau menerima bahwa “dunia adalah panggung sandiwara”, dan mentabukan perilaku seekor “bunglon”, meski konsekwensinya saya harus menerima predikat “kurang punya unggah-ungguh” itu tadi.

Masalahnya adalah apakah kelebihan, kesempatan dan unggah-ungguh yang dipunyai oleh teman-teman tadi tampil seiring dengan idealisme Korps?
Bila ya, maka kebesaran dan jati diri TNI-AL yang diwariskan oleh para pendahulu akan lestari terjaga. Tetapi bila tidak, maka meski mungkin saja TNI-AL bisa tampil ‘megah dan meriah’ namun kemegahannya tidak beda dengan megahnya dandanan penari remo murahan yang penuh dengan polesan bedak penutup kudis, atau meriahnya grup banci-banci pinggir jalan yang penuh dengan genit kepalsuan.

Korps Marinir mengenal 6 tuntutan Korps, dimana salah satu butirnya menyatakan bahwa “Marinir bukan warisan tetapi amanah titipan generasi”.
Ini adalah bagian dari esprit de corps yang selama empat tahun tiada hentinya dicoba tanamkan di dalam dada setiap kadet AAL. Ini adalah sesuatu yang menyangkut tanggungjawab setiap anggota dari sebuah institusi apapun atau manapun, apalagi institusi yang anggotanya diwenangi untuk memegang senjata.

Sengaja saya mengangkat butir ini karena saya menganggap relevan dengan situasi kini yang sarat dengan rongrongan dan dorongan interes yang mampu menyapu harga diri. Selagi masih aktif dalam dinas mungkin kita memiliki peluang meraup
harta sembari ‘angkat telor’ mengemis jabatan dan pangkat, bahkan bisa saja berbuat apapun yang kita mau, karena anak buah toh akan diam saja. Tetapi, jangan pernah mengira mereka tidak mempedulikan tingkah kita, dan menerima begitu saja kebohongan dan kemunafikan kita. Tidak, mereka sangat peduli, dan tidak mau menerimanya. Hanya mereka memang tidak berbuat sesuatu, atau tepatnya belum berbuat sesuatu. Suatu saat kelak setelah kita purnawira, jangan kaget apabila menyaksikan mantan anak buah yang membuang muka pada saat melihat kita, atau bahkan meludah di depan kita, karena semua itu semata-mata adalah ‘karma’ dari tingkah kita yang menganggap TNI-AL milik moyangnya. Seperti kata pepatah “Siapa menabur angin akan menuai badai”.

Adalah keliru mereka yang beranggapan bahwa pemimpin memiliki “piutang” terhadap anak buah karena jasa pembinaannya, karena sebenarnya peran pemimpin dalam hal ini adalah kewajiban semata. Sebaliknya justru pemimpinlah yang banyak ‘berhutang’ kepada anak buah. Bukan uang, tetapi mungkin harapan yang dilupakan atau diabaikan, apalagi alasannya bukan karena tidak mampu, tetapi lebih karena tidak mau, karena otaknya telah terkontaminasi racun kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Hutang semacam itu bisa jadi akan terbawa sampai ke liang kubur. Dan bila itu yang terjadi, maka ‘Dia Yang Di Atas Sana’ yang akan menagihnya.

Oleh karena itu pada akhir masa bakti ini saya ingin berpesan, pesan seorang teman kepada teman yang lebih muda: “Tetap konsisten kepada sumpah kita untuk berbakti kepada negara dan bangsa me-
lalui TNI-AL”. Wujudnya adalah loyalitas dan pengabdian tanpa pamrih.
Loyalitas atau pengabdian ada lima macamnya dan berjenjang turun dengan urutan sbb.:

▪ Yang pertama adalah iman kepada Tuhan YME(faithful to God),
▪ Yang ke dua mengabdi kepada negaramu (faithful to your country), kemudian
▪ Berbakti kepada korps (faitful to the corps), berikutnya
▪ Loyal kepada teman (faithful to your comrade), dan yang terakhir
▪ Loyal kepada diri sendiri (faithful to yourself).

Tidak ada dari kelima loyalitas tadi yang menyebut faithful to your superior, karena
superior maupun subordinates adalah comrades yang harus diperlakukan
seimbang secara wajar. Berani mengoreksi atasan yang tidak benar pada dasarnya adalah langkah kongkrit loyalitas dari seorang bawahan terhadap atasan.

Saat kini, di alam reformasi negeri ini, TNI-AL sedang berada di posisi depan sebuah pacuan. Namun keberadaannya di depan bukannya karena kuda TNI-AL yang lebih hebat, atau jokinya yang lebih jago. Penyebab sebenarnya adalah karena kuda yang lain sedang berantakan dan jokinya bertumbangan diterpa badai reformasi yang melanda mereka.

Di depan kita kini terbentang banyak titian peluang. Pertanyaannya adalah, titian mana yang akan dipilih, dan siapa yang akan ditugasi sebagai jokinya. Sebab apabila salah memilih titian dan/atau keliru menetapkan jokinya, saya khawatir TNI-AL akan mengalami nasib yang sama dengan mereka, dengan resiko yang mungkin lebih parah. Namun apabila kita bijak dalam memilih, Insya Allah dalam waktu yang tidak terlalu lama TNI-AL akan dapat kembali berjaya dan disegani dunia, seperti yang pernah dialami pada awal tahun enampuluhan.
Mudah-mudahan ini bukan sekedar mimpi dari seorang purnawirawan.

Kepada teman-teman yang masih dalam dinas aktif, saya ucapkan selamat bekerja, dan selamat berjuang dalam upaya mencapai cita-cita kita bersama untuk mewujudkan TNI-AL yang mampu menjamin tegaknya kedaulatan dan hukum di seluruh kawasan laut yuridiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jalesu bhumyamca jayamahe.--


Jakarta, awal Mei tahun 2000
SUDARSONO KASDI
Mayjen TNI (Mar/Purn)

***
(Dikutip dari buku “Awal & Akhir Pengabdianku sebagai Prajurit Matra
Laut”, Wisuda Purna Wira 2000)