Minggu, 04 Februari 2018

HUKUMAN ATAS PERINTAH  (1987)

Kejadiannya berawal dari persiapan penggantian Satuan Tugas Pengawal Perbatasan di daerah Kepulauan Natuna. Pada waktu itu penugasan untuk mengawal pulau-pulau di daerah perbatasan sekitar
kepulauan Natuna menjadi tanggung jawab Yonif-2 Mar dimana aku menjabat sebagai komandannya. Personil Satgas berkekuatan sekitar satu Kompi, yang dibagi menjadi beberapa pos jaga, yang berlokasi di
pulau-pulau: Tarempa, Natuna Besar, Jemaja, Matak, Subi, Serasan dan pulau Laut. Penggantian dilaksanakan setiap 6 bulan, tetapi setiap dua bulan dilaksanakan rollering penggeseran antar pos, yang diatur oleh Komandan Satgas. Jarak antar pulau antara belasan sampai ratusan mil.

Penugasan pengamanan perbatasan laut di wilayah Kepulauan Natuna, seperti halnya di wilayah Kepulauan Sangir Talaud, adalah salah satu penugasan yang terberat bagi anggota. Contohnya di P. Laut, yang merupakan pulau terluar yang terletak paling utara dari wilayah Negara kita. Di sana ditempatkan dua pos jaga di pantai terluar, yang masing-masing berkekuatan tiga orang, dilengkapi senapan mesin berat
(SMB) kaliber 12.7 mm. Mungkin sulit dibayangkan, dimana mereka bertiga selama berbulan-bulan hanya mengawasi laut yang tidak pernah menciptakan pemandangan lain kecuali ombak. Lokasi pos jauh dari pemukiman penduduk, sedangkan musuh yang dihadapi tidak jelas apa atau siapa. Mereka justru merasa ada hiburan apabila satu saat ada pengungsi
Vietnam yang terpaksa mendarat karena perahunya bocor atau untuk mencari tambahan bekal.
Satgas dilengkapi dengan sarana perahu karet untuk mendukung pelaksanaan patroli. Namun karena lautnya demikian luas dan pada musim-musim tertentu ombaknya sangat ganas, maka penggunaan perahu karet menjadi kurang begitu efektif, bahkan kadang menjadi sangat berbahaya. Bisa dibayangkan bagaimana seandainya selagi mereka melaut tiba-tiba terjadi masalah dengan perahu karetnya. Oleh karena itu mereka sering memanfaatkan perahu rakyat, yang masyarakat setempat memberi nama pom-pom karena bunyi mesinnya, dengan memberikan imbalan bahan bakar minyak solar (HSD). Oleh karena itu dari hasil monitoring pada Satgas yang sedang bertugas, Pasi-2/Ops Yonif menyarankan agar Satgas pengganti ditambah bekal bahan bakar HSD-nya, sedangkan bahan bakar jenis premium (MT87) yang hampir tidak pernah digunakan kecuali pada pos-pos di pulau Natuna Besar yang diperlengkapi dengan sepeda motor sebagai sarana hubungan antar pos jaga bisa dikurangi. Aku selaku DanYon sudah menyampaikan masalah ini ke Brigif sekitar satu bulan sebelum waktu pergantian.

Namun ternyata pada hari pelaksanaan embarkasi, WadanYon melaporkan bahwa logistik yang diterima dari perbekalan Kormar tidak sesuai dengan permintaan, khususnya BBM, dimana justru MT87 yang lebih banyak diberikan daripada HSD.
Aku kemudian berusaha berkoordinasi dengan Staf Brigif, tetapi ternyata semua pejabat sudah meninggalkan kantor. Aku ingat waktu itu hari Jumat siang. Padahal waktunya sangat mendesak, karena pada sore harinya pasukan dan perbekalan sudah harus embarkasi, karena malamnya kapal akan segera tolak.
Untuk mengatasi masalah tersebut, Wadan menyarankan agar MT87 ditukar dengan HSD. Tanpa berpikir panjang aku langsung setuju, dan aku perintahkan untuk segera dilaksanakan. Malam harinya, dimana aku
kebetulan tugas jaga sebagai Perwira Dinas Brigif, WadanYon melaporkan bahwa masalah BBM sudah bisa terselesaikan, dimana kebutuhan Satgas atas BBM sudah terdukung sesuai dengan pengajuan.
Bahkan dari tukar menukar tadi masih dapat tambahan dua drum kero (minyak tanah) yang juga langsung diberikan kepada Satgas untukdapat digunakan sebagai bahan bakar lampu penerangan. Dilaporkan juga bahwa KRI telah bertolak meninggalkan dermaga Kolinlamil
sekitar pukul 23.00.

Hari Senin, selesai apel siang aku dipanggil menghadap Dan Brigif. Beliau menyampaikan bahwa Dan Kormar menilpon beliau, memberitahu bahwa DanYonif-2 telah mengelapkan BBM Satgas. Mendengar berita tersebut kepalaku terasa seperti disambar petir. Aku jelaskan kepada beliau masalahnya. Aku sampaikan bahwa pada pada hari Jumat lalu aku sudah berusaha minta bantuan perbekalan ke Staf Brigif sesuai kebutuhan Satgas seperti yang pernah aku ajukan, tetapi semua pejabat sudah tidak ada ditempat. Akhirnya aku mengambil keputusan untuk menukar HSD ke pom bensin luar, dan semua hasil penukaran dibawa oleh Satgas. Aku memang tidak melaporkan yang aku lakukan karena aku pikir masalahnya sudah teratasi.
Mendengar penjelasanku beliau mengatakan bisa mengerti apa yang
telah aku kerjakan.

Namun dua hari kemudian, ternyata aku menerima Surat Keputusan Dan Brigif tentang Penjatuhan Hukuman Disiplin berupa Teguran, dimana salah satu alamat tembusan adalah Dan Kormar.
Saat itu juga aku langsung menghadap Dan Brigif untuk menanyakan kenapa bisa demikian. Kemudian beliau menunjukan sebuah nota dari Dan Kormar, yang isinya perintah agar Dan Brigif memberikan peringatan keras berupa hukuman disiplin terhadapku. Aku kemudian minta ijin untuk menghadap Dan Kormar guna menjelaskan masalahnya.

Setelah beliau mengijinkan, aku langsung
berangkat ke Mako Kormar di jalan Prapatan. Tapi ternyata Dan Kormar sedang dinas ke Surabaya, dan Kas Kormar juga sedang tidak berada di tempat. Melihat aku ada di gedung utama Kormar, Irkormar
menanyakan aku ada keperluan apa? Setelah aku sampaikan bahwa aku
bermaksud menghadap Dan Kormar, beliau mengatakan bahwa beliaulah pada saat itu yang tertua di Kormar, dan mempersilahkan aku untuk menghadap beliau. Aku kemudian menghadap beliau di kantornya.
Aku kemudian menunjukkan Skep Dan Brigif tentang Hukuman Disiplinku. Aku sampaikan semua permasalahan dan keberatanku atas nota Dan Kormar yang memerintahkan Dan Brigif untuk menghukumku.

Ternyata beliau bukannya memahami persoalan yang aku hadapi, tetapi malah mengatakan bahwa menurut beliau tidak ada yang perlu dimasalahkan, karena hukumannya hanya teguran, sehingga tidak perlu masuk tahanan.
Atas penjelasan beliau seperti itu aku sampaikan kalau aku tetap tidak bisa menerima. Bagaimanapun hukuman tadi akan menjadi sebuah catatan cela pada buku konduiteku. Oleh karena itu aku
tetap ingin menghadap Dan Kormar untuk bisa membatalkan keputusan tersebut.

Nggak ada hujan nggak ada angin tiba-tiba beliau ‘meledak’, berdiri membungkukkan badannya ke arahku yang duduk di seberang meja kerja beliau, berteriak sangat keras sambil mengacungkan telunjuknya ke mataku, “Matamu picek ya? Lihat ini, baca! Ini kan teguran, kamu
tidak dihukum! Dst, dst, …..”

Darahku terasa langsung naik ke kepala dan dadaku berdebum keras. Aku menatap lurus ke matanya. Sepertinya ada setan di sampingku yang berbisik ke telingaku, “Ludahi saja mukanya!” berulang-ulang. Untungnya aku masih tetap sadar.
Setelah beliau menarik kembali tangannya dan berdiri tolak pinggang sambil matanya masih melotot kepadaku, aku bangkit berdiri dan langsung keluar sambil membanting pintu kantornya. Aku langsung kembali ke Cilandak.

Sejak itu, dimanapun aku bertemu beliau, aku tidak pernah mau menghormat, tetapi justru memasang ‘muka berak’ sambil memandang matanya tanpa berkedip. Kebetulan waktu itu ada beberapa kali kegi-
atan di Cilandak dimana beliau ikut hadir.

Sekitar dua bulan aku perlakukan beliau seperti itu. Sampai pada suatu hari ketika ada kegiatan olah raga bersama perwira di seluruh jajaran satuan Marinir Jakarta, dimana hadir Dan Kormar dan seluruh staf.
Selesai olah raga acara dilanjutkan dengan minum dan makan makanan kecil di depan Mako Brigif. Pada waktu aku menuju ke sana sudah banyak perwira yang terlebih dahulu tiba, termasuk diantaranya pejabat
teras Kormar. Tiba-tiba aku merasa ada yang merangkulku sambil berkata kepada yang hadir, “Ini adikku lho, tolong Dan Brigif diperhatikan!”. Aku menoleh untuk mengetahui siapa yang merangkulku?
Astaghfirullah hal adzim .... ternyata Ir Kormar..!!!
Dan Brigifpun langsung menjawab, “Oh, baru tahu aku! Siap, kebetulan dia memang baik kok”.
Kemudian beliau bertanya kepadaku bagaimana kabarku, apakah baik-
baik saja. Aku betul-betul salah tingkah dibuatnya. Dengan sedikit tergagap aku menjawab, “Baik!”.Aku yakin tampangku pasti tersipu-sipu, karena aku bisa merasakannya. Cukup lama beliau merangkulku sebelum kemudian mempersilahkan aku untuk mengambil minum.

Sejak itu perasaan marah dan benciku terhadap beliau lenyap sama sekali, dan aku kembali bersikap sebagaimana seharusnya seorang bawahan terhadap atasan.

***
(Copas dari buku "Sosok Seorang MARINIR BANYUMAS", Otobiografi Mayjen TNI (Mar) Sudarsono Kasdi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar