Sabtu, 03 Februari 2018

TRAVELING KELILING EROPA  (1977)

Lebih dari satu tahun sejak menikah dan mengajak isteriku tinggal di London, kami tidak banyak melakukan perjalanan ke luar London, apalagi ke luar negeri Inggris. Hal itu dikarenakan pada dua minggu setelah
kami menikah dokter memberitahuku
bahwa isteriku mengandung. Dengan
pertimbangan untuk menjaga segala
kemungkinan yang tidak kami harapkan
terjadi pada ibu dan atau calon bayi,
maka selama isteriku mengandung
perjalanan kami batasi hanya di dalam
negeri Inggris. Itupun dengan catatan
harus bisa pergi pulang dalam satu hari.
Obyek wisata di dalam kota London
yang terkenal di seluruh dunia seperti:
Big Ben, Trafalgar Square, Westminster
Abey, Buckingham Palace, Tower of
London, dan Piccadilly Circus dengan
patung Eros (Anteros) sudah semuanya
pernah kami kunjungi. Juga obyek-obyek kunjungan turis lainnya. Di sekitar Piccadilly Ciscus ada obyek turis terkenal yang namanya London Hippodrome, sebuah bangunan tua di pojokan Charing Cross Road dan Leicester Square, terdapat cabarete restaurant ‘The Talk of the Town’,
tempat dimana bintang penyanyi dunia seperti Diana Ross, Judy Garland, Shirley Bassey, The Temptations, Frank Sinatra, Sammy Davis Jr, Tom Jones, Engelbert Humperdink, Lulu, Cliff Richard, Matt Monro, Stevie Wonder, Neil Sedaka dan masih banyak lagi pernah tampil. Di dekat sini, di Covent Garden, juga ada gedung sandiwara yang namanya St. Martin’s Theatre. Kami sempat nonton lakon sandiwara (play) fenomenal ‘The Mousetrap’ yang sudah dimainkan terus menerus di sini sejak tahun 1952. Sampai hari ini di St. Martin Theatre, Covent Garden, West End, London, telah digelar “The Mousetrap”, cerita misteri pembunuhan yang ditulis pengarang novel Agatha Cristie, lebih dari 24.000 kali. Tercatat pada tanggal 22 April 1955 adalah pagelaran yang ke-1000 kali, 9 Desember 1964 yang ke-5.000 kali, 17 Desember 1976 yang ke-10.000 kali, dan pada tanggal 16 Desember2000 adalah pagelaran yang ke-20.000 kali.

Tempat bersejarah yang tidak terlalu jauh seperti Windsor Castle, salah satu istana kerajaan Inggris terkenal yang terletak di Windsor, wilayah Berkshire, juga pernah kami kunjungi. Pada waktu isteriku hamil tua kami bahkan sempat juga menonton Farnborough International Air Show, pameran kedirgantaraan yang digelar setiap tiga tahun di Farnborough, Hampshire.

Sampai satu hari, kami mendapat informasi Dubes akan segera ditarik kembali ke tanah air. Aku lantas berfikir kapan lagi akan ada kesempatan untuk bisa mengajak keluarga lagi ke Eropa?. Kemudian aku ajak isteriku berunding, bagaimana kalau sebelum kembali ke tanah air terlebih dahulu
kita mengadakan perjalanan ke daratan Eropa. Sebab kalau kita sudah kembali ke Indonesia berarti aku juga harus kembali ke Korps Marinir. Sejak saat itu rasanya akan sangat sulit bagi kami untuk bisa mendapatkan kesempatan pergi ke luar negeri lagi. Apalagi aku pikir, melihat
banyak negara pasti akan menambah pengalaman sekaligus memperluas
wawasan, yang pasti akan sangat bermanfaat bagi masa depan karirku.

Waktu itu usia anakku Cula, sudah lebih sepuluh bulan, dan selama itu kami happy-happy saja, dalam arti tidak pernah ada masalah berarti yang berkaitan dengan kepengasuhan bayi.
Isteriku setuju dengan catatan bahwa semua sudah aku pertimbangkan dan persiapkan dengan baik. Sama sekali tidak terfikir bahwa kembali ke Korps berarti harus siap hidup dengan fasilitas yang sangat terbatas, khususnya sarana transportasi dan rumah tinggal. Artinya adalah bahwa kami harus punya uang untuk membeli atau menyewa rumah untuk tempat tinggal kami dan keluarga, atau setidaknya untuk ‘over-vebe’ rumah dinas, sebuah ‘budaya’ konyol yang insyaallah sudah aku niatkan untuk aku tabukan.

Aku ajukan cuti selama dua minggu. Itinerary route aku buat melalui delapan negara yaitu: Perancis, Monaco, Italia,
Swiss, Austria, Jerman, Belanda, dan Belgia. Sebetulnya aku juga ingin ke Spanyol, tetapi aku khawatir tidak akan cukup waktu, karena ijin cutiku hanya selama dua minggu. Permintaan visa kunjungan sama sekali tidak ada kesulitan. Mungkin karena aku dan isteriku pemegang paspor diplomatik.

Sehari menjelang keberangkatan semua pakaian, perlengkapan tidur dan makan termasuk rice cooker, beras dan lauk-pauk yang tahan lama, yang menurut kami akan
diperlukan selama dalam perjalanan, kami susun rapi di dalam bagasi mobil. Cot (tempat tidur bayi) dan segala perlengkapan, pakaian, makanan dan minuman bayi kami susun di jok belakang.

Sekitar pukul enam pagi, tanggal 9 September 1977 dengan mengendarai mobil pribadiku FIAT 132 nomor plat PGH292L kami berangkat dari London menuju ke pelabuhan penyeberangan.
Dari London aku menuju Dartford kemudian masuk motorway M2. Rochester dan Chatham kami by-pass, sampai akhirnya kami keluar M2 di Faversham. Selanjutnya kami ke Dover melalui Canterbury.
Kami bermaksud menyeberang ke benua
Eropa melalui celah sempit di sisi utara
English Channel yang bernama selat
Dover (strait of Dover). Orang Perancis
menamakannya Pas de Calais. Calais
adalah kota pelabuhan penyeberangan
Perancis. Pas de Calais juga dijadikan
nama wilayah di sekitar sana (Prancis
Utara) dengan ibukota Arras (ATRECHT).
Sebetulnya ada pilihan kapal yang lebih
cepat yaitu hoovercraft, tapi aku memilih menggunakan kapal biasa dengan
pertimbangan selain ongkosnya lebih
murah juga karena kami bisa lebih santai bernostalgia menikmati indahnya
suasana laut. Yang kami tuju juga bukan Calais, tetapi Boulogne, pelabuhan penyeberangan lain yang berada 34 mil di selatan Calais. Pada waktu itu penyeberangan hoovercraft hanya antara Dover – Calais.

Setelah sekitar satu jam pelayaran, kapal merapat di Boulogne. Begitu debarkasi keluar kapal tiba-tiba aku sadar bahwa saat itu aku sudah berada di daratan Perancis, dimana aturan lalu lintasnya – yang juga berlaku di seluruh negara di daratan Eropa – menggunakan jalur kanan. Berbeda dengan aturan berlalu lintas di Inggris dan negara-negara Commonwealth lain yaitu di jalur kiri seperti juga yang berlaku di Indonesia.

Awalnya aku rada kagok. Setiap kali aku akan masuk ke jalan selalu saja aku menengok ke kanan. Itu adalah keharusan bagi setiap pengemudi untuk mewaspadai kemungkinan adanya mobil yang akan melintas dari arah kanan. Tentu saja aku terkejut setengah mati karena
tiba-tiba saja ada mobil yang justru melintas dihadapanku dari arah kiri.
Kekagokanku tadi sempat berlangsung sekitar setengah jam sebelum kemudian aku terbiasa untuk mengemudi di jalur kanan.

Dari Boulogne kami menuju ke Paris melalui Arras. Menjelang masuk ke kota Paris aku mampir ke sebuah rest area untuk mengisi bahan bakar. Lahan parkirnya cukup luas. Nampak beberapa kendaraan pengangkut container terparkir di sana. Di situ juga terdapat restoran yang menjual makanan cepat saji dan mini market yang menjual berbagai keperluan. Toiletnya lumayan banyak, berjejer rapi pada bangunan tersendiri, lengkap dengan kloset BAB dan douche mandi yang bersih. Karena hari sudah menjelang malam maka aku putuskan untuk istirahat di sini. Namun karena di sekitar situ tidak ada dormitory
untuk kami menginap maka terpaksa kami tidur di mobil. Kebetulan sejauh itu si baby Cula tidak ada masalah.

Keesokan hari setelah makan pagi kami meneruskan perjalanan masuk ke kota Paris. Kotanya demikian bersih, indah dan tertib. Konon kota ini tidak pernah berubah bentuk sejak tahun 1860.
Semua jalan di dalam kota tidak menggunakan aspal atau semen, tetapi
conblock. Dengan panduan ‘Road Book of Europe’ keluaran AA yang sudah aku siapkan dari London tidak ada kesulitan sama sekali untuk menuju dan menemukan tempat-tempat yang ingin kami kunjungi.
Sasaran utama tentu Eiffel Tower dan Arc de Triomphe. Mobil aku parkir tepat di bawah tower, kemudian kami turun untuk melihat-lihat dan berfoto-ria dengan latar belakang Eiffel Tower dan Arc de Triomphe.
Pada tahun 2006 aku bersama isteri dan anakku yang bontot, sempat berwisata ke Prancis, ternyata untuk melihat Eiffel kami harus berjalan kaki karena kendaraan sudah tidak lagi bisa melintas di bawah tower.

Kami juga sempat mengunjungi Notre-Dame Catedral, sebuah gereja yang dijadikan ajang cerita novel Victor Hugo yang ditulis pada tahun 1829 berjudul The Hunchback of Notre-Dame.
The Huncback of Notre-Dame yang dalam versi Perancis berjudul Notre-Dame de Paris (“Our Lady of Paris”) adalah sebuah cerita drama yang mengisahkan tentang seorang penarik lonceng gereja bertubuh bungkuk yang bernama Quasimodo, yang gagal menyelamatkan Esmeralda, seorang gadis Gypsy cantik yang diasuh oleh seorang paderi (archdeacon) gereja Notre-Dame, yang dicintai banyak pemuda termasuk Kapten Phoebus.

Setelah menginap satu malam di sebuah hotel kecil, keesokan harinya 11/09/77 kami meneruskan perjalanan melalui A6 melintasi kota-kota Marne dan Auxerre, menuju Dijon. Dari Dijon kami meneruskan perjalanan menuju Pontarlier, kota terluar Perancis yang berbatasan langsung dengan Swiss (SWTZERLAND).
Di pos perbatasan Swiss paspor kami diminta petugas custom untuk dicap. Kemudian kami melanjutkan perjalanan melalui kota Neuchatel di tepi danau yang namanya juga Neuchatel. Kami sempat berhenti tapi tidak lama, sekedar untuk melemaskan kaki sambil melihat peman-
dangan danau Neuchatel yang sangat luas. Hari sudah cukup sore ketika kami masuk kota Bern (BERNE). Langsung aku mencari hotel untuk bermalam.

Bern adalah ibukota Negara Swiss. Kotanya tidak besar tetapi rapi dan bersih. Hampir semua bangunannya, khususnya di pusat kota peninggalan jaman lama sehingga tidak mengherankan kalau ‘kota lama’ yang berada di tengah kota Bern belakangan dijadikan salah satu dari sepuluh
historic old town yang dilindungi Unesco (UNESCO World Heritage Sites).

***
Pagi-pagi keesokan harinya kami sudah bersiap untuk berangkat ke Grindelwald, sebuah resor wisata gunung yang sangat terkenal di Swiss. Grindelwald terletak di sisi utara pegunungan Alpen (ALPS) dan
dikelilingi tiga puncak spektakuler pegunungan Alpen yaitu: Eiger, Mönch dan Jungfrau.
Dalam perjalanan menuju Interlaken kami disuguhi dengan pemandangan alam yang sangat indah. Mungkin yang terindah yang pernah aku saksikan. Kadang kami harus menembus kawasan dimana pada sisi kiri dan kanan adalah hutan khas Eropa, tapi
lebih sering kami harus melalui kawasan terbuka lembah hijau yang sangat luas. Di sana-sini terlihat beberapa noktah pohon, yang menambah indahnya pemandangan. Di celah hamparan rumput nun jauh di sana kadang terlihat sekumpulan titik bangunan rumah. Salah satunya nampak sangat menonjol dilihat dari bentuknya, yang kami tengarai sebagai gereja. Di tepi jalan raya kami justru tidak menemukan sebuah bangunan rumahpun, kecuali beberapa cekungan datar dimana ditempatkan
sebuah kran air dibentuk seperti kayu bercabang yang bertuliskan “Trinken
Verboten”. Aku tidak tahu apa maksudnya, kenapa air pegunungan yang demikian
jernih dan sejuk tidak boleh diminum. Karena khawatir airnya tidak sehat maka kamipun tidak berani meminumnya, kecuali untuk membersihkan si baby dan membasuh muka dan tangan. Jauh di depan sana nampak berderet rangkaian gunung cadas berwarna merah bata yang seolah menyala diterpa matahari pagi. Di sana-sini terlihat salju yang menyelimuti
punggungnya.

Kemudian kami sampai ke jalan yang menyusur tepi sebuah danau besar, sebelum berbelok di pertigaan mengikuti petunjuk arah menuju ke Grindelwald.
Cukup banyak kendaraan yang menuju
ke atas, meski tidak sampai memacetkan trafik. Di kiri dan kanan sepanjang jalan yang relatif sempit berderet rumah-rumah khas Switzerlad yang nyaris mepet ke jalan. Rata-rata rumah bertingkat dua dengan balkon yang dihiasi bunga warna-warni. Juga di daun pintunya. Indah dan lucu
karena terkesan layaknya rumah boneka
mainan anak-anak.

Di Grindelwald kami sempat naik cable car ke Pfingstegg, tempat awal pendakian para turis yang ingin bemain ski atau sekedar akan mendaki gunung salju. Mereka yang naik bersama kami semuanya menggendong ransel punggung dengan dua stick penahan terlipat rapi di atasnya. Beberapa orang diantaranya juga menenteng sepasang papan luncur ski.
Tepat di depan pintu keluar pemberhentian kereta gan-tung di puncak bukit terjal terdapat café yang menyediakan minuman dan makanan cepat saji. Kami mengambil tempat duduk di salah satu payung tenda. Dari sini kita bisa melihat berbagai kegiatan wi-sata, seperti skiing, hiking, dan layang gantung. Di kejauhan aku lihat kereta api merayap pelan mendaki gunung menuju puncak.

Cukup lama kami berada di sini. Hari sudah menjelang sore ketika kami kemudian turun. Kami menginap di sebuah penginapan yang masih berada di kawasan Grindelwald.
Pagi hari 13/09/77 kami turun kembali ke Bern, tidak berhenti tetapi langsung menuju ke kota berikutnya yaitu Geneve (GENEVA). Geneve atau Jenewa adalah ibukota Swiss yang sekaligus juga kota dunia, pusat berbagai kegiatan diplomasi antar negara-negara anggauta PBB. Setiap anggauta militer pasti mengenal, atau setidaknya pernah mendengar Konvensi Jenewa, yaitu hukum internasional tentang kemanusiaan
dalam menangani personil non kombatan dan tawanan perang yang ditanda tangani oleh 194 perwakilan negara-negara anggauta PBB pada tahun 1949. Palang merah Internasional juga berpusat di sini.

***
Dari Geneve kami kembali masuk ke wilayah negara Perancis melalui Chambery, Grenoble dan Chateau Arnoux, kemudian mengambil jalan simpang ke kiri menuju Cannes, kawasan elit di pesisir laut Mediterania yang sebagian besar penghuninya adalah para milyarder dan
selebriti tingkat dunia. Mungkin seperti Beverly Hills di West Hollywood, California, USA.
Cannes dulunya adalah desa kecil yang dihuni oleh petani dan nelayan. Pada tahun 1830 Raja Henry Peter Brougham dari Inggris dalam satu perjalanan politiknya ke Italia melalui tempat tersebut. Tertarik keindahan alamnya King Henry kemudian membeli sebagian kawasan di sini, dan mengajak rekan-rekan politiknya untuk mengembangkan Riviera Perancis. Kaum
bangsawan Perancis dan asing kemudian membangun rumah berlibur di wilayah ini, dan menjadikan Cannes sebagai kota peristirahatan (resort). Cannes kini dikenal sebagai tempat diselenggarakannya festival film dunia (Cannes Film Festifal) yang rutin dilaksanakan sejak 1946 pada setiap bulan Mei.

Setelah berfoto dengan latar belakang bangunan dan pantai yang kami pikir cukup mewakili kekhasan Cannes, kami kemudian melanjutkan perjalanan menyusur pantai ke arah timur menuju Nice. Nice (baca: Niez) adalah kota Perancis yang juga berada di pesisir laut Mediterania yang merupakan kota turis utama dan resort nomor satu di Riviera Perancis.
Riviera adalah nama kawasan pesisir teluk Mediterranean Sea (laut Tengah) di selatan Perancis sampai barat laut Italia. Tapi sekarang ‘riviera’ digunakan untuk sebutan kawasan pantai bukan hanya di laut Mediterania tetapi juga untuk kawasan pesisir lain yang pada musim panas dipadati oleh turis.

Di sisi utara jalan raya yang menyusuri pantai berdiri banyak bangunan yang begaya khas Romawi. Mungkin karena dulu Romawi pernah menguasai negeri ini.
Nice adalah kota Perancis yang berbatasan langsung dengan Monaco.
Kami sempat bermalam di salah satu hotel tidak terlalu besar, presis menghadap ke Laut. Ribuan perahu layar (yaht) terparkir di sepanjang pantai yang terletak di sebuah cekungan besar teluk. Ada satu hotel besar baru yang dibangun bertingkat-tingkat seperti potongan piramida yang aku lupa namanya.

***
Lepas dari Nice 15/09/77 kami langsung masuk ke Monaco. Sama sekali tidak ada pemeriksaan untuk keluar Perancis dan masuk ke Monaco.
Monaco adalah sebuah negara kota (city-state) terkecil kedua setelah Vatikan. Isteriku sempat heran, ada apakah gerangan, kok banyak bendera merah putih berkibar di atas gedung-gedung, termasuk di atas tower istana yang menjulang tinggi di depan latar bukit batu.
Negerinya Prince Rainier III yang memperistri aktris cantik AS Grace Kelly ini, yang rasanya lebih tepat disebut kota Monaco, terlihat demikian indah dan bersih. Sepanjang jalan yang biasa digunakan sebagai circuit balap mobil Grand Prix Formula I berdiri bangunan-bangunan bernuansa khas Romawi yang relatif berhimpit satu sama lain. Suasananya waktu itu terkesan sepi. Tidak banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Juga di Monte Carlo, kawasan judi yang sangat terkenal itu. Mungkin akan berbeda suasananya apabila di malam hari, seperti
halnya Las Vegas di Nevada, USA, yang keduanya adalah kota judi dan hiburan malam.

Dari Monaco kami melanjutkan perjalanan dengan tetap menyusuri motor way ke arah timur menuju Italia.
Begitu keluar dari Monaco, sebelum menyeberang perbatasan Italia, kami masuk kembali ke wilayah Perancis. Monaco memang negara yang semua sisinya berbatasan dengan Perancis, kecuali sisi selatan yang langsung menghadap ke laut Tengah (Mediteranean Sea).
Sampai saat itu motorway yang aku lalui begitu mulus dan enak untuk dilalui. Namun begitu masuk ke wilayah Italia motorwaynya begitu terasa berbeda. Mungkin karena dibuat dari beton cor, yang pada waktu itu belum dikenal di negeri kita. Namun yang jelas biaya pembuatannya pasti jauh lebih mahal karena daerahnya yang berupa jurang dan bukit yang terdiri dari batu cadas. Maka tidak heran kalau hampir seluruh motorway di kawasan San Remo yang merupakan pintu masuk ke Italia dari arah barat harus dibuat terowongan menembus bukit dan jembatan yang menyeberangi jurang. Dan itu bukan hanya satu, dua, atau lima, tapi berpuluh jumlahnya. Aku sampai tidak sempat
mematikan lampu mobil karena begitu keluar dari terowongan dan melintasi jembatan menyeberangi jurang tiba-tiba harus masuk kembali ke terowongan dan jembatan berikutnya dan berikutnya.

Genoa (GENOVA) kami lalui tanpa singgah kecuali untuk mengisi bahan bakar. Lepas dari Genoa kami tidak lagi melalui motorway tetapi mencoba jalan alternatif sekaligus untuk melihat keadaan pedesaan di Italia. Ternyata jalannya berkelok-kelok dan berputar menyusuri bibir jurang memutari bukit-bukit cadas. Alhasil tidak ada keindahan alam yang sempat aku nikmati karena mataku lebih berkonsentrasi pada jalan berliku yang harus kami lalui. Hampir tidak pernah kami berpapasan dengan kendaraan lain kecuali sebuah truk penghisap debu jalan (street sweeper) yang sedang menyapu debu dan pasir batu reruntuhan dari atas bukit.

Hari sudah mulai gelap ketika kami masuk ke pedesaan. Desanya terlihat sangat sepi, bahkan kendaraanpun hampir tidak ada yang terlihat lalu lalang. Cukup lama kami mencari tempat untuk menginap. Sampai akhirnya kami menemukan sebuah penginapan kecil, sebuah rumah biasa yang kamarnya disewakan bagi pendatang. Receptionistnya seorang perempuan setengah tua berpostur tinggi besar dengan tampang angker khas Italia. Sementara aku mencoba berkomunikasi dengannya, istriku nempel di sisiku sambil memegang erat lenganku. Aku rasa ini adalah pertanda bahwa hatinya keder melihat penampilan perempuan Italia berwajah angker yang ada di depanku. Apa boleh buat, tiada pilihan lain kecuali harus menerima kenyataan bahwa kami butuh tempat menginap.
Apalagi malam sudah semakin larut. Namun, begitu melihat bayi Cula yang kami bawa, perempuan tadi wajahnya berubah cerah dan sangat bersahabat. Didekatinya Cula, mengelus pipinya dengan punggung
jarinya dan menanyakan berbagai pertanyaan yang kami sama sekali
tidak tau artinya tetapi faham maksudnya. Maklum karena sepotongpun aku tak faham bahasa Italia, kecuali grazie yang artinya “terima-kasih”.

Setelah berkomunikasi menggunakan bahasa seadanya akhirnya kami diterima menginap di sini. Aku lihat tidak ada tamu lain yang menginap waktu itu. Tidak ada juga makanan yang disiapkan untuk tamu.
Untungnya kami membawa rice cooker sehingga kami bisa menanak nasi untuk makan malam dan makan pagi besok harinya.
Hampir semalaman Cula rewel dan menangis. Kami sampai berfikir, jangan-jangan rumah ini ada ‘penunggu’ nya. Ternyata pada pagi harinya kami lihat gigi Cula sudah tumbuh. Bukan satu atau dua tapi empat. Pantesan semalaman rewel terus. Ternyata hantunya adalah empat gigi yang nongol secara bersamaan.
Kami tertawa gembira melihatnya. Demikian juga Cula.

***
Kota Italia yang pertama kami kunjungi
adalah Pisa, dimana terdapat Menara
Miring Pisa (Leaning Tower of Pisa) atau
dalam bahasa aslinya disebut Torre
Pendente di Pisa. Menara setinggi sekitar
55 meter ini memang terlihat miring.
Cukup banyak turis yang mengantri untuk
naik ke atas menara. Kami sendiri tidak
berminat untuk naik, selain pasti akan
repot karena harus mengendong bayi juga
karena kami pikir tidak ada manfaatnya.
Aku perhatikan kawasan sekeliling-nya
juga bukan obyek pemandangan yang
bagus karena kelihatannya hanya rumah-
rumah penduduk biasa.

Setelah berfoto ria kami meneruskan perjalanan, kembali masuk ke jalan raya yang menyusuri pantai menuju ke Roma (ROME). Mulai dari Livorno sudah tidak ada lagi jalan bebas hambatan atau motorway. Oleh karena itu kami terpaksa melalui jalan biasa menembus kota-kota kecil di sepanjang pantai barat Italia.

Sampai Roma mobil langsung aku arahkan ke Colosseum, yang merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia yang paling dikagumi. Colosseum adalah sebuah bangunan arena pertun-jukan berbentuk elips yang disebut Flavian Amphitheatre yang dibuat pada sekitar tahun 70 SM dan dirancang untuk bisa menampung 40.000
penonton. Aku tidak tahu apakah nenek moyang kita pada waktu itu sudah lepas dari jaman batu.
Bangunan yang dimaksudkan sebagai
arena pertunjukan spektakuler pertarungan antara gladiator, antara binatang, atau bahkan antara manusia (tahanan) dan binatang, sebagian sudah runtuh termakan usia, namun masih nampak megah, sehingga kita masih bisa membayangkan bagaimana majunya
bangsa ini, dikala bangsa kita mungkin masih hidup pada zaman pra-sejarah.

Tidak jauh dari Amphi-theatre terdapat peninggalan sebuah istana yang
dinamakan Domus Aurera. istana yang dibangun oleh Kaisar Nero setelah
kebakaran Roma pada sekitar tahun 64M ini juga sudah hancur dimakan usia.
Pada saat kami duduk santai sambil memandangi Colosseum ada segerombolan anak remaja yang mendekati kami. Tadinya aku sedikit curiga, tapi
ternyata mereka hanya ingin melihat bayi Cula yang duduk dengan tenangnya di kereta dorong. Mereka minta ijin untuk bisa melihat.

Setelah aku ijinkan rame-rame mereka mengajak bicara dan bercanda dengan Cula. Aku lihat Cula seperti menanggapi ucapan mereka dengan gerak tangan dan suara baby-nya. Tidak jarang Cula tertawa terkekeh mendengar atau melihat canda remaja Italia itu. Aku tidak tahu apakah
Cula yang belum satu tahun usianya sudah menguasai bahasa Italia.
Melihat aku membawa kamera mereka minta untuk bisa difoto bersama Cula. Sungguh satu foto kenangan, khususnya bagi Cula, yang sulit untuk diulang.

***
Dari Roma 17/09/77 kami berputar kembali ke arah utara dengan tujuan Venice (VENEZIA) melalui Florence (FIRENZE).
Memasuki Florence aku sengaja melambatkan kendaraan sambil sight-
seeing. Tiba-tiba aku seperti mendengar ada bunyi gesekan di roda belakang sebelah kiri. Aku minta isteriku untuk membuka jendela, dan ternyata bunyi gesekan terdengar lebih jelas. Khawatir akan menjadi masalah dalam perjalanan maka begitu aku lihat ada service station
berlogo FIAT aku langsung masuk. Aku jelaskan maksudku dengan bahasa seadanya. Roda kemudian dibongkar. Ternyata kampas remnya (brake pad) habis, sehingga batang logamnya menggesek sampai melukai piringan rem (brake disk). Piringan lantas dibuka dan diganti baru. Pembongkaran dan penggantian hanya memakan waktu sekitar 30 menit.

Karena hari sudah waktu makan maka kami mampir ke sebuah resto/café yang rame dikunjungi orang. Rupanya mereka adalah para pekerja yang sedang break untuk makan siang. Aku lihat hampir semuanya memesan spaghetti, dan satu botol plastik besar ukuran 2 liter berisi cairan bening yang bertuliskan ‘Aqua Minerale’. Mereka enak saja makan spaghetti dengan garpu dan minum air itu yang langsung ditenggak dari botolnya. Akupun ikut-ikutan memesan spaghetti dan satu botol besar minuman yang bertuliskan Aqua Minerale itu. Begitu aku teguk isinya aku langsung tersentak dan air mata mengalir keluar tanpa bisa dibendung (mbrebes mili). Botol yang tadinya aku duga berisi air putih bermineral ternyata air soda yang sangat keras untuk ukuranku.

Selesai makan kami meneruskan perjalanan ke arah Padua (PANDOVA). Di antara Bologna – Ferrara mobil aku masukkan ke sebuah rest area, untuk sekedar buang air kecil dan mengganti pampers Cula.
Aku lihat di atas motorway terdapat jembatan yang digunakan sebagai
café. Kami naik ke salah satu counter semacam Starbuck yang aku lupa
namanya, sekedar untuk duduk sambil melihat pemandangan dan kendaraan-kendaraan yang melintas di bawahnya.
Untuk sekedar basa-basi aku memesan secangkir kopi dengan menggunakan bahasa Inggris. “Coffee please !” kataku. Pramuria yang melayaniku kemudian mengambil cangkir, meletakkannya di bawah satu alat yang aku kira sebuah coffee maker, dan menarik sebuah tuas.
Kemudian cangkir itu disodorkan kepadaku sambil menyebutkan harganya. Aku lihat di dasar cangkir ada sedikit, kalau tak hendak
dikatakan beberapa tetes, cairan hitam yang beraroma kopi. Meski terheran-heran tetap saja aku bayar sesuai harga yang dia minta. Aku mencoba meminum cairan hitam yang tidak lebih dari satu teguk itu.
Ternyata itu memang kopi. Tapi … kenapa sedikit amat?
Aku kemudian memanggil kembali pramuria tadi. Dengan bahasa Inggris yang aku upayakan sefasih mungkin, mencoba lagi memesan kopi dengan menyebut “a cup of coffee”, dengan harapan akan diberi
secangkir penuh kopi. Ternyata yang disodorkan tetap saja beberapa tetes kopi di dasar cangkir. Sambil garuk kepala yang tidak gatal aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Kebetulan aku lihat ada pengunjung yang sedang menikmati secangkir penuh kopi. Aku memberitahu si pramuria
dengan bahasa isyarat sambil menunjuk cangkir kopi yang ada di depan
tamu tadi. “O.. capuchino ..!” katanya. Kemudian dia menarik kembali cangkir “kopi” yang disodorkannya tadi, dan beberapa saat kemudian kembali menyodorkan secangkir penuh kopi … eh capuchino.

***
Venice yang dikenal sebagai ‘City of Water’, ‘City of Bridges’, City of Canals’, atau ‘The Floating City’ aku lihat betul-betul kota dimana air menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari rumah tinggal penduduknya. Di tepi kanal-kanal langsung tanpa berbatas berderet rapat bangunan-bangunan termasuk bangunan rumah tinggal penduduk. Meski dikelilingi kanal-kanal tapi aku tidak melihat ada alat trans-
portasi bermesin seperti speed-boat. Yang ada hanya Gondola yang di dayung oleh satu orang Gondolier, yang berdiri di atas
trap papan di atas buritan yang sengaja dibuat lebih tinggi, sambil memainkan satu dayung panjang yang dicantolkan pada lambung perahu. Mirip dengan cara meng-
umpil sekoci di steger-nya pak Goro sewaktu praktek mendayung di jaman kadet AAL dulu. Bedanya kalau mengumpil dayungnya dikaitkan di buritan sekoci, tetapi kalau gondola selain dayungnya panjang juga mengayuhnya dari salah satu
sisi perahu.
Di sini juga banyak kami temukan perajin seni berbagai bentuk binatang dan bunga yang dibuat dari pipa kaca yang dibakar dengan seprotan api pembakar (welding-torch). Kami sempat membeli satu, berbentuk dua burung walet yang sedang
meloloh anak-anaknya di sebuah sarang diatas dahan pohon. Sayang dalam perjalanan ada beberapa bagiannya yang patah.

Dari Venezia kami kembali masuk motorway ke arah Verona, kemudian belok ke kanan meluncur ke arah Trento dan Bozen (BOLZANO) sebelum masuk ke wilayah Austria. Tujuan kami adalah
INNSBRUCK, sebuah kota kecil yang masuk wilayah Austria.
Kami menginap di sebuah hotel kecil, sebuah bangunan berlantai satu yang berada presis di tepi danau. Aku lihat hampir seluruh bangunan hanya satu lantai. Hanya beberapa yang dua lantai, sehingga semua bangunan yang berdiri berjenjang di lereng bukit terlihat jelas dan indah, Suasana malam itu sungguh sepi, tapi justru karena itu terasa sangat damai, indah dan aman. Kebetulan langit juga sangat cerah. Nampak dengan jelas kerlip jutaan bintang-bintang, mengimbangi
gemerlapnya ribuan lampu yang berserak di sekeliling danau.

***
Keesokan harinya 19/09/77 kami meneruskan perjalanan ke Jerman.
Kota pertama yang kami kunjungi adalah Munich (MUNCHEN). Sengaja Munchen aku jadikan salah satu tujuan karena di sini terdapat bangunan stadion dengan artistektur modern yang baru saja digunakan sebagai ajang pertandingan Olimpiade 1972, dimana 11 atlet Israel
tewas pada saat terjadi serangan aksi kelompok teroris ‘Black September’ pimpinan Muhammad Oudeh alias Abu Daoud.

Kami sempat mampir ke sebuah restoran. Kebetulan pengunjungnya cukup banyak. Dan semuanya aku lihat minum bir
dari gelas bertangkai ukuran satu pint. Di
tengah meja juga tersedia ceret beling yang
juga berisi bir. Isteriku mencoba memesan air putih tapi ternyata tidak ada. Juga teh tidak tersedia. Yang ada hanya bir. Kami sampai sempat menduga kalau orang Jerman, baik pria maupun wanita, minuman sehari-harinya adalah bir. Bukan wine, bukan sampagne, dan bukan air putih, apalagi teh.

Di Munich kami menginap satu malam. Di kamar kami masak air untuk minum dan bekal esok hari.
Dari Munich 20/09/77 kami lanjut ke STUTTGART melalui Augsburg – Ulm. Beberapa puluh mil sebelum Stuttgart, pada saat kami sedang beristirahat setelah mengisi bensin di sebuah pom bensin, tiba-tiba datang puluhan mobil polisi yang mengadakan razia terhadap mobil mobil yang lewat. Waktu itu sekitar pukul 9 malam. Mobilku sendiri tidak diperiksa. Mungkin selain karena nomornya Inggris, juga karena ada sticker CD (Corps Diplomatic) menempel di butt belakang. Aku sempat bertanya kepada seseorang, ada apa? Aku mendapat jawaban bahwa beberapa minggu terakhir memang sering diadakan razia, untuk menemukan Andreas Baader, tokoh teroris Jerman yang paling dicari waktu itu, yang pada tahun 1970 berhasil melarikan diri dari penjara
dibebaskan oleh teman-teman kelompoknya.
Andreas Baader adalah salah satu pentolan teroris Jerman beraliran ekstrim kiri yang menamakan diri mereka Rote Armee Faktion (RAF) atau yang lebih kita kenal dengan ‘Tentara Merah’, bersama mantan jurnalis kawakan Ulrike Meinhof, dan Gudrun Ensslin yang tidak lain adalah kekasih Andreas Baader itu sendiri. Pada waktu itu Gudrun dan Ulrike beserta tiga tokoh lain (Andreas, Holger dan Paspe)
pada tahun 1972 sudah berhasil ditangkap dan ditahan di penjara Stammheim, Stuttgart.

Pada mulanya RAF adalah kelompok gerakan generasi muda yang menginginkan tumbangnya rezim kapitalisme Jerman Barat, yang menurut mereka masih lekat dengan citra Nazi. Kanselir Jerman 20
tahun setelah berakhirnya Perang Dunia II, Kurt Georg Kiesinger, adalah mantan anggota Nazi. Pada tahun 1967, dalam sebuah demonstrasi untuk menentang kunjungan pasangan Shah Iran, Mohammad Reza Pahlevi, dan istrinya yang terkenal, Farah Diba, polisi menembak mati seorang mahasiswa bernama Benno Ohnesorg. Salah seorang tokoh gerakan yang bernama Gudrun Ensslin kemudian menyerukan radikalisme dalam aktivitas gerakan untuk melawan apa yang dia sebut sebagai babi-babi Generasi Auschwitz. Auschwitz adalah kamp konsentrasi yang sangat mengerikan di jaman Nazi. Untuk itu mereka perlu mempersenjatai diri. Maka lahirlah Red Army Faction (RAF) yang beranggotakan kalangan intelektual, antara lain mahasiswa perfilman, pengacara, hingga bekas anggota Partai Komunis Jerman.

Dari Stuttgart kami menuju Frankfurt melalui Karlsruhe – Heidelberg – dan Darmstadt. Autobahn (istilah Jerman untuk motorway), sangat mulus dan nampaknya tidak ada sama sekali pembatasan kecepatan berkendara. Mobilku sempat bergetar hebat sewaktu sebuah mobil lain
menyalib dengan kecepatan yang tidak dapat aku bayangkan. Speedo-meter mobilku saja sudah menunjuk angka 130 mil. Mungkin karena itu Highway Patrol yang di Jerman disebut Die Autobahn-polizei mengendarai sedan sport Porche dengan sunroof di atap yang digunakan untuk nongolin separuh badannya.

Di Frankfurt kami hanya melihat-lihat sebentar, karena selain tidak ada obyek yang menarik, juga karena kami akan meneruskan ke Bonn, ibukota Jerman Barat, dimana salah satu oom isteriku kebetulan tinggal untuk belajar di sini.
Di Bonn kami sempat mampir ke KBRI sebelum dipindahkan ke Berlin paska runtuhnya tembok Berlin pada tahun 1989.
Empat tahun setelah selesainya Perang Dunia II, pada tahun 1949 Jerman
dibagi dua : Jerman Barat (Westdeutsche Bundesrepublik) dengan ibukota Bonn,
dan Jerman Timur (Deutsche Demokratishe Republik) dengan ibukota Berlin Timur. Setelah berakhir perang dingin dan tembok Berlin diruntuhkan, pada tahun 1990 ke dua Jerman melaksanakan reunifikasi menjadi satu Jerman yang
kemudian dinamakan Bundesrepublik Deutchland (Federal Republic of Germany)
dengan ibukota Berlin.

Bonn adalah salah satu kota di daratan Eropa yang terletak di pinggir sungai Rhine. Kotanya relative tidak besar dan sepi. Hampir seluruh bangunannya adalah bangunan lama, termasuk gedung KBRI di
Bernkasteler Strasse 2, yang selain tua juga tidak besar kalau tak ingin disebut sangat sempit. Nyaris sama sempitnya dengan KBRI London di Grosvenor Square 38.
Keesokan harinya 21/09/77 kami meneruskan perjalanan ke Belanda
melalui Köln – Dusseldorf dan Arnhem.

***
Begitu masuk ke negeri Belanda kesan saya yang pertama adalah bahwa negeri ini betul-betul datar. Tak ada sedikitpun gundukan tanah yang pantas disebut bukit - apalagi gunung. Betul-betul flat, rata.
Di kiri dan kanan motorway banyak terdapat dataran padang rumput yang dipagari dua lajur papan kayu setinggi dada orang dewasa. Beberapa puluh sapi yang kebanyakan berkulit belang hitam dan putih nampak sedang merumput, persis seperti gambar pada bungkus kaleng sebuah merek susu kental manis. Jumlahnya tidak terlalu banyak, tidak seperti yang bisa kita lihat di padang rumput/ranch di Arizona atau Texas, yang jumlahnya bisa ratusan atau bahkan ribuan.

Kota Belanda pertama yang kami kunjungi adalah Utrecht. Dari Utrecht kami
meneruskan perjalanan ke Amsterdam, salah satu kota terbesar Belanda. Beberapa
restoran Indonesia kami temukan di sini, namun rasa masakannya jauh berbeda
dengan rasa aslinya. Mungkin karena sudah disesuaikan dengan lidah Eropa.
Kami juga sempat berkunjung ke Volendam di muara sungai IJ, yang dulunya sebuah teluk yang kemudian direklamasi. Volendam adalah sebuah kota kecil di selatan Edam, Holland Utara, yang merupakan waterfront-nya Amsterdam di IJsemeer Lake. Kota nelayan yang sangat spesifik dengan bentuk bangunan-bangunan dan budaya asli Belanda.
Kami sempat berfoto di sebuah studio
foto dengan berpakaian tradisional
Belanda: jubah panjang, selop kayu wungkul dan kopiah tinggi berwarna hitam sambil menghisap pipa panjang, sementara isteriku dan si baby Cula berpakaian rok lebar barwarna-warni, dan juga berselop kayu wungkul.

Dari Volendam kami kembali ke Amsterdam. Keesokan harinya 22/09/77 kami langsung menuju ‘s-Gravenhage atau DEN HAAG (The Hague), kota pemerintahan dan parlemen Belanda, dimana juga terletak kantor-kantor perwakilan Negara asing termasuk KBRI, sehingga dapat dikatakan de facto Den Haag adalah ibukota Belanda, meskipun de jure ibukota Belanda adalah Amsterdam, dimana Ratu dan keluarga kerajaan bertahta di Royal Palace (Koninklijk Paleis op de Daam) yang persis
berdiri di tengah kota.

***
Pagi sekali tanggal 23/09/77 kami sudah berangkat menuju Belgia (BELGIUM) melalui Breda. Breda adalah kota dimana The Dutch Royal Academy atau Koninklijke Militaire Academie (KMA) berada.
Kadet KMA sesuai major yang dipilihnya dapat menjadi perwira The Dutch Army atau The Dutch Air Force. Beberapa mantan petinggi TNI alumni KMA diantaranya adalah: alm. Marsekal Soeryadarma (KSAU) lulusan KMA 1929, Mayjen TNI R. Poerbonegoro (Sekmilpres) dan R.
Soewardi (Gubernur pertama Akmil) lulusan KMA 1930, Mayjen Untung Sridadi dan Jenderal Rudini (Kasad) lulusan tahun 1953. Konon sewaktu menjadi kadet KMA, karena bentuk tubuhnya yang pendek
kekar, pak Rudini oleh para instrukturnya dipanggil Hannibal, panglima pasukan Romawi yang memimpin perang Kartago yang konon terhebat di sepanjang
sejarah Romawi.

Sekitar pukul 9 pagi kami sudah
masuk ke Brussels (BRUXELLES).
Salah satu obyek yang kami kunjungi
tentu patung anak kecil yang sedang pipis
Manneken Pis, yang merupakan symbol
kedekatan (cohabitation) antara Belanda
dan Perancis.
Tidak lupa kami juga mengunjungi Atomium di Heysel Park, yang dibangun dalam rangka Brussels World’s Fair 1958
Bangunan setinggi 102 meter yang
terdiri dari 9 bola logam besar yang
dihubungkan satu sama lain, yang
menggambarkan struktur atom kristal
baja yang diperbesar milyaran kali. Dari
bola yang paling atas kita bisa melihat
pemandangan kota Brussels.
Setelah puas berfoto ria kami melan-
jutkan perjalanan menuju ke Ostend
(OOSTENDE) yang juga pelabuhan
penyeberangan dari daratan Eropa
menuju ke pelabuhan Dover.

***
Sekitar tengah hari kami sudah sampai kembali ke daratan Inggris, dan langsung meluncur menuju ke London.
Alhamdulillah pada tanggal 23 September 1977 sesaat setelah gelap kami tiba kembali di rumah, dalam keadaan sehat walafiat, tidak kurang suatu apa.
Ada perasaan gembira yang berlebih, kangen dengan rumah, seolah kami telah meninggalkannya demikian lama. Padahal tidak lebih dari dua minggu lamanya, bahkan hanya 13 hari.

***
(Copas dari buku "Sosok Seorang MARINIR BANYUMAS", Otobiografi Mayjen TNI (Mar) Sudarsono Kasdi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar