Kamis, 01 Februari 2018

MUNDUR DEMI KEHORMATAN

Pada satu hari sekitar bulan September 2003 aku menerima berita bahwa Tim Itjenal akan mengadakan wasrik khusus ke Yasbhum. Sepengetahuanku Wasrik khusus dilaksanakan apabila ada indikasi pelanggaran atau penyimpangan. Aku bertanya dalam hati, ada apa dengan Yasbhum? Kok selama ini tidak ada laporan apa-apa dari pejabat Pengawas?

Aku kemudian mengecek kepada Pengurus tetapi semua mengatakan tidak ada masalah. Kemudian aku bertanya kepada Pengawas Yayasan yang seharusnya menjadi counterpart Inspektorat dalam hal pengawasan terhadap Yayasan, ternyata jawabannya juga tidak merasa pernah
dihubungi.

Keesokan harinya tim wasrik yang dipimpin Irbin Itjenal tanpa didahului dengan entry briefing seperti lazimnya wasrik, langsung memeriksa yayasan. Aku sengaja membiarkan saja karena ingin tahu apa maunya. Mereka minta AD/ART, Prokera Tahun 2003, dan surat-surat lain yang berkaitan dengan keuangan yayasan.

Pada hari keempat pemeriksaan aku mendapat informasi dari Pengurus
bahwa tim wasrik sudah sampai pada tahap akhir pemeriksaan.
Temuan yang berhasil di monitor diantaranya adalah adanya kegiatan
yang tidak terdapat dalam program tetapi dilaksanakan. Hal ini mereka anggap sebagai penyimpangan Prokera.
Tim juga menemukan adanya pemberian pinjaman yang dinilai sebagai
pelanggaran terhadap UU Perbankan.
Disamping itu juga ditemukan adanya beberapa piutang yang sudah jatuh tempo tetapi tidak dilaksanakan eksekusi jaminan.

Mendengar informasi seperti itu aku minta pengurus menghubungi tim, apakah saya selaku Ketua Pembina Yayasan bisa menyampaikan pendapat sebagai crosscheck temuan sebelum hasil wasrik ditulis dan dibukukan, seperti yang lazim berlaku dalam prosedur wasrik. Ternyata mereka bersedia.

Setelah tim wasrik dan seluruh pengurus dan pengawas yasbhum berkumpul, aku kemudian menyampaikan sbb.:

Pertama, sebagai mantan Irjenal sedikit banyaknya tahu bagaimana prosedur kerja wasrik di lingkungan institusi TNI-AL.
Pada dasarnya tujuan wasrik adalah untuk mengamankan anggaran yang sudah dialokasikan untuk mendukung program seperti yang tertuang di dalam prokera. Oleh karena itu titik berat kegiatan wasrik
adalah ‘mencocokan pelaksanaan kegiatan dengan program kegiatan’. Kalau cocok berarti betul, dan kalau tidak cocok berarti salah.

Aku tegaskan bahwa setiap program yang tertuang di dalam Prokera dari setiap institusi dinas TNI pasti sudah didukung dengan anggaran yang tersedia dari APBN dalam jumlah tertentu. Dan semuanya
tertuang di dalam Prokera. Artinya, bahwa anggaran itu sudah ada, sudah siap, dan tinggal menggunakan.

Kalau mau membandingkan Prokera dinas dengan yayasan barangkali serupa dengan Prokeranya yayasan seperti : Rockefeller Foundation, Nobel Foundation, Lyon Club, Rotary Club, dan Davis Cup atau Thomas Cup, karena yayasan semacam itu semuanya sudah mempunyai dana yang tersedia dari donasi seorang atau banyak orang. ‘Tugas’ yang diberikan kepada
foundation atau yayasan semacam itu hanyalah bagaimana melaksanakan pemilihan dan menentukan siapa-siapa yang akan menerima bantuan, atau kepada siapa bantuan akan diberikan. Kalau bidangnya olah raga misalnya, ya bagaimana kompetisi diselenggarakan untuk mengetahui siapa yang menjadi juara dan pantas menerima piala atau bonusnya.

Sebaliknya pada yayasan semacam Yasbhum, yayasan TNI atau kebanyakan yayasan yang ada di Indonesia, proses pendanaan dan cara kerjanya sangat berbeda. Di situ memang ada Prokera, yang di dalamnya juga berisi program dan rencana anggaran untuk mendukung
program. Tetapi dukungan anggaran yang direncanakan dan tertuang dalam Prokera ‘masih di awang-awang’, atau istilah populernya masih ‘angin sorga’. Belum ada duitnya. Justru yayasan itulah yang berkewajiban / bertugas untuk mencari dananya yang akan digunakan untuk mendukung program kegiatannya.

Oleh karena itu, untuk memeriksa yayasan semacam Yasbhum, yang harus dijadikan ukuran keberhasilan bukan ‘bagaimana prosesnya’tetapi ‘bagaimana output-nya’, yaitu berapa dana yang bisa dihasilkan?
Kemudian pertanyaan berikutnya adalah: Apakah dana yang dihasilkan cukup untuk mendukung program kegiatan yang tertuang di dalam Prokera?
Kalau temuan wasrik jawabannya ‘tidak’, artinya yayasan ini JELEKatau gagal; tetapi kalau temuan wasrik jawabannya ‘bisa’ artinyayayasan ini BAIK atau berhasil; bahkan kalau jawabannya ‘bisa, malah
lebih’ berarti yayasan itu BAIK SEKALI. Sebab kalau prosesnya benar sesuai dengan Prokera tetapi duitnya tidak dapat, sama saja artinya dengan parasit, karena program (bantuan sosial) tetap harus dilak-
sanakan, sedangkan dukungan tidak ada atau tidak mencukupi. Agar program tetap bisa dilaksanakan oleh pengurus, mau tidak mau dengan resiko menanggung malu, terpaksa harus mengambil dana yang tersedia di yayasan. Atau dengan kata lain: menggerogoti kekayaan yayasan (Yasbhum) yang telah berhasil dihimpun oleh pengurus Yasbhum pada periode atau tahun-tahun sebelumnya.
Kalau itu yang terjadi lama kelamaan tentu Yasbhum akan bangkrut.

Sisa Anggaran (siar) yang dari sudut pandang wasrik dinas adalah salah
karena tidak mampu melaksanakan program kegiatan yamg sudah dicanangkan, tetapi kalau di yayasan semacam Yasbhum justru diharap-
kan, asal semua program sudah seluruhnya direalisasi. Apabila hal tersebut bisa dicaapai berarti operasional yayasan berjalan efektif dan efisien.
Siar yang di yayasan disebut SHU (sisa hasil usaha), akan dibukukan untuk menambah kekayaan yayasan.

Kedua, masalah pemberian pinjaman yang dianggap melanggar UU Perbankan, aku jelaskan bahwa dari sudut pandang yuridis formal mungkin itu betul, namun kita harus melihatnya dari sudut pandang kepentingan prajurit, yaitu kesejahteraan, yang merupakan tujuan dibentuknya Yasbhum. Oleh karena itu harus diteliti dulu kenapa hal itu dilaksanakan, yang tidak lain maksudnya adalah untuk lebih memaksimalkan pendapatan Yasbhum. Sebab kalau hanya mengandalkan deposito dari simpanan kekayaan yang ada saja, Yasbhum tidak akan bisa menutup kebutuhan anggaran untuk mendukung program.

Ketiga, masalah piutang yang telah melewati waktu tapi belum diadakan sita jaminan, hal itu karena atas permintaan peminjam untuk bisa ditunda dulu, dan sudah ada kesepakatan bahwa mereka tetap akan memberikan bunganya. Dengan cara demikian Yasbhum akan terus
menerima tambahan pemasukan dari bunga pinjaman tanpa harus mencari ‘nasabah’ baru atau membuat perjanjian baru yang prosesnya tidak sederhana.

*** .
Beberapa minggu setelah wasrik, Yasbhum diminta paparan tentang Anggaran Dasar, aset yang dimiliki, pelaksanaan prokera 2003, dan rencana kerja yang akan datang, di depan forum rapat staf Kasal yang
dipimpin oleh Wakasal.

Selaku Ketua Pembina, aku menyampaikan pengantar secara umum, diantaranya bahwa Anggaran Dasar (AD) Yasbhum sudah selesaidiperbarui, dan sudah di-akta-kan di kantor notaris Kun Hidayat, SH dengan nomor akta 17 tanggal 17 Oktober 2003. Penyusunannya diserahkan kepada notaris dan oleh notaris sudah dikonsultasikan keBiro Hukum Departemen Kehakiman dan HAM, karena disanalah yang berwenang mengesahkannya nanti, sehingga pada waktu diajukan untuk
pengesahan tidak akan dikembalikan lagi untuk perbaikan.

Kepada forum aku juga menyampaikan bahwa permintaan Kasal untuk penambahan dana untuk mendukung kebijakan peningkatan THR tahun 2003 bagi prajurit dan PNS sebesar 7 milyar – yang berarti meningkat sebesar 3 M dari program tahun sebelumnya – masih bisa didukung, bahkan pada tutup tahun buku 2003 nanti insyaallah kekayaan yasbhum
masih akan bisa meningkat dengan penambahan SHU sekitar 7,1 M.
Ketua Pengurus kemudian menyampaikan laporan secara rinci pelaksanaan prokera termasuk kekayaan aset, yang dilengkapi dengan penjelasan dari Bendahara, Kabalakgiat Sosial, dan Kabaladia Perumahan.

Ternyata tanggapan dari Wakasal dan Staf, hanya pada masalah Anggaran Dasar Yasbhum, yang menurut mereka isinya tidak sesuai dengan keinginan pimpinan Angkatan Laut, yang konon menghendaki
agar peran Kasal dalam mengendalikan Yasbhum secara explisit harus dicantumkan di dalam AD. Di samping itu beliau-beliau juga menginginkan agar beberapa jabatan di Yasbhum dijabat oleh pejabat aktif secara ex-officio. Wakasal bahkan menambahkan, kenapa Yasbhum
tidak meniru Yayasan Kartika Eka Paksi milik TNI AD yang semua pengelolanya dijabat oleh militer yang masih dinas aktif.

Atas tanggapan tersebut aku jelaskan bahwa Anggaran Dasar yayasan tidak mungkin lepas dari Undang-Undang nomor 16 tahun 2001 tentang Yayasan. Kita tidak bisa memaksakan hal yang berbeda dari apa yang sudah diatur di dalam UU. Selanjutnya, kalau Yasbhum harus mencontoh TNI AD berarti setback, mundur, karena kita sudah maju sangat jauh di depan mereka. Aku sampaikan bahwa Tim wasrik BPK sendiri pernah mengatakan bahwa Yasbhum adalah yayasan di lingkungan TNI/Polri yang dinilai paling baik dan perlu dijadikan contoh untuk Angkatan lain dan Polri.

Ketua Pengurus Yasbhum kemudian menambahkan penjelasanku, bahwa pada intinya AD yang disusun adalah menindak lanjuti keputusan Kasal nomor Kep/01/I/2000 yang diantaranya menyatakan bahwa organisasi Yayasan di lingkungan TNI AL, dalam hal ini Yasbhum, Yayasan Nala, dan Yayasan Hang Tuah, harus terlepas dari institusi dinas. Hal itu adalah untuk menindak lanjuti pengarahan Panglima TNI, dengan mengacu kepada arahan BPK, dan dengar pendapat dengan komisi-I DPR, yaitu agar: “tidak ada seorangpun pejabat dinas TNI/Polri yang terlibat di dalam Yayasan atau PT”.
Selain itu apabila Yasbhum ada keterkaitan dengan dinas, maka dengan mengibarkan bendera reformasi BPKP akan turun untuk memeriksa, dan semua kekayaan yayasan bisa saja akan dianggap sebagai aset
negara, dan Yasbhum dianggap sebagai bagian dari BUMN, sehingga harus dilepaskan dari TNI-AL.
Kalau hal itu yang terjadi maka maksud para pendiri, yang nota bene adalah pemimpin Korps Marinir atau KKO waktu itu, yang membentuk Yayasan Bhumyamca (disingkat Yasbhum) dengan tujuan untuk membantu pimpinan Korps dalam upaya menyejahterakan prajurit dan keluarganya menjadi berantakan karena tidak lagi jelas strukturnya.

Ternyata forum tetap tidak bisa menerima penjelasanku maupun penjelasan dari Ketua Pengurus. Wakasal selaku Pimpinan rapat bahkan mengatakan bahwa kita jangan berpegang pada keputusan yang dulu-dulu, karena Yasbhum onderbow Kasal, dan sekarang Kasalnya sudah
ganti, Wakasalnya sudah beda, dan para Asisten Kasal juga sudah baru.
“Apakah kami tidak boleh membuat kebijaksanaan yang berbeda?” katanya.
Oleh karena itu pada akhir rapat beliau memutuskan akan segera dibentuk tim untuk merevisi Anggaran Dasar Yasbhum yang baru yangsudah berhasil kami aktakan tadi.

Aku betul-betul kecewa mendengar apa yang diputuskan dalam rapat. Terbersit di dalam benakku niat untuk mundur dari jabatanku di Yasbhum, tapi aku masih harus mempelajari situasinya.

***
Selesai rapat aku langsung kembali ke kantor. Sampai di kantor aku kemudian mengumpulkan data-data yang terdapat pada Laporan Auditor Peters, Taufik & Rekan, untuk mengetahui kekayaan Yasbhum sejak mulai aku ditempatkan di Yasbhum pada awal tahun buku 2000, tahun buku 2001, 2002, sampai dengan Laporan Semester Pertama Tahun Buku 2003. Aku juga minta kepada bendahara untuk menyusun prediksi aktiva Yasbhum pada tutup buku akhir tahun 2003 nanti.
Setelah aku dapatkan semua, aku kemudian mempelajarinya satu per
satu.
Ternyata aku menemukan fakta, bahwa disana tercatat kekayaan Yasbhum pada akhir tahun buku 1999 adalah Rp.53.710.126.756,59.
Sedangkan prediksi kekayaan pada tutup tahun 2003 akan menjadi  Rp.85.917.277.683,95.
Ini berarti selama empat tahun aku menjabat kekayaan Yasbhum meningkat sekitar Rp.32.207.150.927,36.
Sedangkan dana yang sudah dan akan dikeluarkan Yasbhum untuk mendukung program bantuan sosial (diluar biaya operasi dan administrasi umum) selama 4 tahun mencapai Rp.40.594.064.833,00
Ini berarti, kalau Yasbhum bisa disamakan dengan PT, maka selama empat tahun aku menjabat, Yasbhum telah menghasilkan deviden sebesar lebih dari 72 milyar.

Aku perlukan minta klarifikasi kepada Bendahara Yasbhum apakah catatan yang aku dapatkan benar adanya? Bendahara menjelaskan bahwa semua itu bukan Yasbhum yang menyusun tetapi laporan hasil audit dari akuntan publik, yang tentunya bisa dipertanggungjawabkan.

Melihat kenyataan seperti itu niat mundurku dari Yasbhum yang tadinya masih ‘lonjong’ kini sudah bulat dan mantap, karena aku akan bisa meninggalkan Yasbhum dengan ‘tanpa beban’.

Aku kemudian menuangkannya kedalam tulisan.

Empat hari setelah paparan, hari kedua bulan puasa Ramadhan, tepatnya hari Selasa tanggal 28 Oktober 2003, aku menghadap Kasal untuk menyampaikan surat pengunduran diri sebagai Ketua Pembina Yasbhum. Alasan yang aku tulis dalam surat tersebut adalah selain karena
aku sudah lebih tiga tahun menjabat di Yasbhum, juga untuk memberikan kesempatan kepada purnawirawan yang lebih muda. Alasan normatif yang lebih bernuansa formalitas.
Namun selain alasan normatif, ada alasan lain yang tidak aku tuangkan dalam tulisan, tetapi aku sampaikan kepada Kasal secara lisan, yaitu bahwa : “aku merasa bukan saja sudah tidak dipercaya lagi, tetapi bahkan dicurigai oleh para yuniorku yang sekarang menjadi pejabat teras di TNI-AL”.

Aku sampaikan kronologisnya mulai dari turunnya wasrik khusus tanpa alasan yang jelas, sampai dengan paparan didepan forum rapat staf Kasal yang dipimpin oleh Wakasal, tetapi tanggapan yang aku terima jauh dari pemahaman orang yang mengetahui permasalahan yayasan.
Aku juga menyampaikan kepada Kasal bahwa aku tidak mau dipaksa untuk berbuat bodoh dengan merubah Anggaran Dasar Yasbhum, yang disusun oleh ahlinya (notaris profesional), dengan mengacu kepada UU no.16 tahun 2001 tentang Yayasan, dan sudah dikoordinasikan ke Biro Hukum Depkeh & HAM, yang jelas mempunyai kewenangan untuk mengesahkan.
Sesuai ketentuan undang-undang, untuk bisa merubah akta Anggaran Dasar Yayasan (dhi Yasbhum) harus melalui proses keputusan rapat Pembina, yang nota-bene aku ada disitu. Jadi agar aku tidak menjadi penghalang, lebih baik aku mundur untuk kemudian diganti oleh siapapun yang mau diatur untuk mengikuti selera beliau-beliau.

Mendengar apa yang aku sampaikan, Kasal menyatakan terkejut, tidak menduga bahwa staf telah bertindak sejauh itu. Beliau minta maaf karena telah terlalu mempercayakan kepada Wakasal secara penuh, masalah-masalah yang beliau anggap sebagai masalah rutin, termasuk masalah Yasbhum, tanpa pemantauan. Beliau berjanji akan membahas lagi masalah ini dengan staf, dan minta agar aku untuk sementara masih tetap aktif sebagai Ketua Pembina Yasbhum.

Tiga bulan kemudian, berdasarkan surat telegram Kasal nomor ST/71/2004 tanggal 30 Januari 2004, secara resmi aku diberhentikan dari jabatanku sebagai Ketua Pembina Yasbhum, terhitung mulai tanggal 1 Pebruari 2004.

Pada saat kami menyusun Memorandum Serah Terima Jabatan, prediksi jumlah peningkatan aktiva tahun 2003 yang semula kami perkirakan ternyata tidak sepenuhnya tercapai. Hal ini disebabkan karena deviden PT. JBY tahun 2002 sebesar Rp.4.2 milyar yang sudah diputuskan pada saat RUPS bulan Maret 2003, sampai saat aku meninggalkan Yasbhum oleh PT.JBY belum bisa diserahkan, dengan alasan dananya masih berada di fihak ketiga. Di samping itu untuk mendukung proses pembangunan perumahan prajurit, Yasbhum juga diminta untuk segera membayar biaya sertifikasi tanah TNI-AL di Ciangsana sebesar sekitar Rp. 1 milyar.

Persis tanggal 1 Pebruari 2004 aku menyerahkan jabatan Ketua Pembina Yasbhum kepada Laksda TNI (Pur) Leo Dumais, untuk selanjutnya meninggalkan Yasbhum, terminal terakhirku di TNI-AL
yang aku cintai, dengan ‘langkah tegap’.


***
(Copas dari buku "Sosok Seorang MARINIR BANYUMAS", Otobiografi Mayjen TNI (Mar) Sudarsono Kasdi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar