Sabtu, 20 Januari 2018

KADET MABUK

KADET MABUK  (1965)

RI ABN adalah unsur Komando Jenis Kapal Amfibi (Kojen Amfib) Armada RI yang tergabung dalam Satuan Gugus Angkut dalam Operasi Dwikora.
Pada waktu itu KRI ABN bertugas mengangkut kendaraan amfibi (ranfib) tank dan panser KKO dari Surabaya menuju ke Bintan, dalam rangka persiapan serbuan pasukan ke Singapura. Kami para Kopral Kadet mendapat tugas sebagai Pengawas di atas anjungan. Sesekali kami diperintahkan untuk memegang kemudi. Waktu itu kebanyakan dari kami baru pertama kali naik kapal laut. Tidak heran kalau banyak dari kami yang mabuk laut. Kebetulan ombak di sekitar selat Karimata memang sedang besar-besarnya.
Pada satu hari hampir seluruh awak kapal yang sedang bertugas jaga larut malam mabuk semua kecuali Palaksa, seorang Bintara Jaga dan aku sendiri. Di anjungan sudah siap dua ember untuk menampung muntah. Salah satunya oleh palaksa dikalungkan ke leher kelasi pengemudi karena terlalu seringnya dia muntah. Begitu kapal oleng ke kiri dan ke kanan yang cukup besar si kelasi sambil tetap berpegang pada kemudi bergumam seolah bertanya kepada dirinya sendiri : “Pirang derajat iki leee?”.
Seorang temanku yang kebetulan juga bertugas jaga malam itu tidak hadir. Palaksa bertanya kepadaku, yang aku jawab bahwa temanku tidak bisa bangun karena mabuk laut. Palaksa memerintahkan aku memanggilnya, tetapi tetap saja temanku tadi tidak mau bangun. Kemudian Palaksa sendiri didampingi aku untuk menunjukkan tempat tidurnya, turun ke kamar kami untuk membangunkannya. Ternyata temanku tadi tetap tidak mau bangun, bahkan menjawab dengan suara pelan sedikit gemetar: ”Tembak saja kepala saya Palaksa!” Rupanya semenjak kapal memasuki selat Karimata dia sudah mabuk laut sehingga sama sekali tidak bisa makan, karena bau makanan saja meskipun hanya roti kabin (semacam roti keras pengganti makan yang disiapkan apabila dapur kapal tidak bisa berfungsi) mau muntah, meskipun sebetulnya sudah tidak ada lagi yang keluar dari dalam perutnya kecuali cairan lambung berwarna kuning bercampur liur. Waktu itu memang belum dikenal obat anti muntah semacam ‘Antimo’ seperti yang sekarang banyak kita temukan di apotik.
Mendengar jawaban temanku tadi Palaksa bukannya marah tetapi malah membetulkan letak selimutnya dan kembali ke anjungan.
Keesokan harinya setelah ombak reda Palaksa memerintahkan temanku tadi ngenteng geladak kapal (membersihkan karat dengan palu) hampir sehari penuh.

***
(Copas dari buku "Sosok Seorang MARINIR BANYUMAS", Otobiografi Mayjen TNI (Mar) Sudarsono Kasdi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar