Sabtu, 20 Januari 2018

THREE MUSKETEER MASUK KOTA

THREE MUSKETEER MASUK KOTA (1965)

Seperti halnya di AAL, pada hari-hari pesiar kepada kami, "Kadet Cilandak", juga diberikan kesempatan untuk pesiar.
Suatu hari aku bersama dua temanku asal Banyumas, Kpl Kdt Hantopo dan Kpl Kdt Paiman Eko Susanto, berniat ikut-ikutan pesiar. Tujuannya tidak jelas, tapi kalau bisa kami ingin melihat tempat-tempat terkenal yang sering kami dengar di radio atau membaca di koran, seperti Tugu Monas, Lapangan Banteng, atau Gelora Bung Karno. Menurut sopir bus, sesuai rute pengantaran pesiar yang akan dilalui kami bisa turun di Pasar Minggu, Pancoran, Jatinegara, atau Kwini sebagai tujuan akhir. Ditambahkannya bahwa bus penjemputan nanti akan melalui tempat itu juga. Kami memilih akan turun di Jatinegara, sebuah nama yang sepertinya lebih familiar di benak kami. Tiba di satu tempat yang belakangan aku ketahui adalah pertigaan Gg Kelor dan Matraman - Jatinegara (sekarang Jalan Slamet Riyadi) bus berhenti dan kami bertiga dipersilahkan turun. Kepada kami diingatkan untuk menunggu penjemputan di sini juga tidak lebih dari pukul sebelas malam.
Dengan berpakaian tenue II/B (gabardine abu-abu) lengkap dengan ponyard di kiri paha, kami turun. Setelah tolah-toleh sebentar kami bertanya kepada seseorang yang kebetulan kami temui di sana, kemana arah menuju Gelora Bung Karno, Lapangan Banteng atau Monas? Kami mendapat jawaban katanya jauh sekali.
Mendengar jawaban seperti itu Paiman langsung menyahut, "Kadet AAL sudah terbiasa berjalan jauh". Ditambahkannya, "kami bahkan pernah berlari dari Bumi Moro ke Wonokromo pulang pergi!"
Yang ditanya tidak berkomentar. Mungkin karena dia tidak faham Surabaya, atau mungkin juga karena dia berfikir akan percuma saja menanggapi ucapan Three Musketeer gendeng yang lagi kesasar di Jakarta. Dia lantas menunjuk jalan Matraman ke arah utara. Bertiga kami berjalan mengikuti arah yang ditunjuk orang tadi.
Dalam formasi syaf tiga khas kadet, dengan langkah mantap kami susuri jalan Matraman. Pada waktu itu khususnya pada malam hari, jalan Matraman belum ramai seperti saat ini. Kendaraan yang melintaspun masih sangat jarang. Suasana terasa sangat sepi. Yang terdengar hanya “pyek,... pyek,... pyek,...” bunyi rantai kecil yang beradu dengan tiga ponyard yang menggantung di samping kiri paha kami, diselingi dengan bunyi khas “kiyet, ...kiyet” dari sepatu pesiar ALRI yang jarang kami pakai. Kombinasi bunyi ponyard dan sepatu yang ditimbulkan oleh langkah teratur tiga kadet mampu menciptakan komposisi bunyi-bunyian indah layaknya irama lagu merdu tanpa syair.
Kami merasa sepertinya semua orang yang kami jumpai, termasuk para pengendara mobil yang berpapasan maupun yang menyalip, semuanya melihat ke arah kami.
Sampai di jalan pertigaan Salemba kami sempat ragu, karena langit di ujung jalan yang mengarah ke kiri lebih terang dari pada jalan yang lurus. Kami bertanya kepada seseorang kemana arah jalan itu, yang dijawab bahwa jalan itu menuju ke Hotel Indonesia (HI).

Mendapat jawaban itu kami kemudian berunding sebentar. Temanku Hantopo mengusulkan ke HI saja, alasannya selain langit di atasnya lebih terang, juga karena dia pernah mendengar HI adalah hotel termegah di Indonesia. Akhirnya kami sepakat untuk merubah arah haluan 90 derajat ke kiri menuju HI. Kaki sudah mulai terasa lemas tetapi masih mampu tetap berjalan tegap gaya kadet.
Sampai bunderan HI kami berhenti untuk menikmati pemandangan Hotel Indonesia, hotel termegah yang ada pada waktu itu. Kami kitari jalan melingkar yang mengelilingi dua lempeng tiang beton yang di puncaknya berdiri patung sepasang muda-mudi yang sedang melambaikan tangan sambil memegang seikat bunga. Belakangan aku tahu itu adalah patung ‘Selamat Datang’ yang dibangun bersamaan dengan pembangunan Hotel Indonesia dan Gelanggang Olah Raga (Gelora) Bung Karno untuk menyambut datangnya para atlit peserta pesta olah raga negara-negara berkembang atau Ganefo.
Rasa penat sementara tidak terasa. Mungkin karena terhibur oleh perasaan bangga menyaksikan bangsa ini telah memiliki hotel megah. Kami lihat jalan ke arah selatan langitnya terang benderang. Dari seseorang kami mendapat penjelasan bahwa di arah sana adalah Gelora Bung Karno, yang menurut keterangannya sudah tidak jauh lagi. Tanpa berpikir panjang kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Gelora Bung Karno sesuai arah yang ditunjukkan oleh orang tadi.
Belum terlalu jauh berjalan ternyata rasa penat dan loyo mulai muncul kembali. Aku tarik tangan Paiman untuk melihat jam di tangan kirinya. Jarum jam menunjukkan pukul 21.50. Aku berucap seperti bertanya kepada diriku sendiri, “Apa kira-kira bisa sampai di Gang Kelor sebelum jam sebelas ya?”. Tiba-tiba temanku Hantopo berhenti. Tanpa diperintah lagi aku juga ikut berhenti kemudian diikuti pula oleh Paiman. “Bagaimana ini Man?” tanya Hantopo kepada Paiman.
“Memangnya jam berapa tadi kita dari Gang Kelor?” Paiman malah balik bertanya, yang aku jawab, “sekitar jam setengah delapan”. Dengan suara datar seolah tidak ada yang perlu dipersoalkan Paiman berkata, “Ya, nggak nyampe dong!”. Mendengar apa yang dikatakan Paiman aku langsung balik kanan, dan berjalan kembali menuju ke arah HI sambil setengah berteriak “Ngaco tenan kalian, ayo sudah, kita kembali, wong Gelora Bung Karno nggak kemana-mana, kapan-kapan kan bisa!”. Paiman ikut balik kanan mengikuti dibelakangku sambil tertawa cekikikan, yang kemudian diikuti oleh Hantopo sambil mengerutu, “Dasar kamu, Man... Man!”.
Ternyata perjalanan kembali jauh lebih sengsara ketimbang berangkatnya. Sampai di UI Salemba badan betul-betul sudah loyo. Rasa penat, capai, dan haus campur-baur melanda kami. Kaki sudah mulai kaku dan bahu sudah sulit untuk diangkat dan ditarik ke belakang agar tetap bisa terlihat tegap. Sementara itu jalan masih cukup jauh. Di sepanjang jalan yang kami lalui sama sekali tidak ada restoran atau rumah minum yang pantas untuk disinggahi kadet. Di depan RS. St. Carolus kami lihat ada warung dorong dimana di depannya terdapat dua becak yang sedang parkir. Beberapa botol limun yang terlihat dipajang di depan lampu petromak menciptakan semburat korona sinar kuning, hijau dan merah yang sungguh menggoda selera tiga insan dahaga. Namun meski leher rasa tercekik dan jakun bergerak naik turun seirama dengan langkah kaki pemiliknya, namun indahnya pancaran sinar petromak belum mampu menggoyahkan kepribadian tiga kadet laut yang sedang dirundung dahaga. Kami hanya bisa memandang dan membayangkan betapa nikmatnya, tetapi tidak ada keberanian untuk mampir di situ. Motto ‘Hree Dharma Shanti’ benar-benar kami tegakkan, meskipun sikap dan cara berjalan khas kadet ‘kepala tegak, dagu ditarik, dada dibusungkan dan pandang lurus ke depan’ sudah tidak lagi bisa dipertahankan. Perasaan lemas dan loyo memaksa kedua pundak jatuh terkulai dan punggung terpaksa harus sedikit membungkuk. Apabila ada kendaraan lewat yang lampunya menyorot kearah kami, kami berusaha berjuang sekuat tenaga menegakkan kepala dan membusungkan dada sambil mengumpat pelan, “Sialan, cepat lewaaaat, monyong!” Untunglah saat itu jalan sudah sepi, sehingga hanya sesekali saja ada kendaraan yang melintas.
Sampai di Gang Kelor keadaan sudah sangat sepi. Rumah di sekitar tempat menunggu bus juga sudah gelap, kecuali satu dua lampu penerang di luar rumah. Tanpa ada yang memberi komando kami bertiga mengambil sikap jongkok, kemudian meluruskan lutut untuk melemaskan kaki. Kemudian kami duduk di broeg yang menutup got di depan salah satu rumah. Sikap yang tidak akan ditemui di buku Pedoman Kehidupan Kadet atau Ketentuan Pemakaian Tenue II-B. Apa boleh buat, dari pukul 19.30 tadi kami belum sempat menekuk penuh lutut atau meluruskan kaki. Saat itu jarum jam Paiman menunjukkan hampir pukul dua belas malam. Berarti tidak ada lagi harapan akan ada jemputan. Kami semua diam tanpa mendiskusikan jalan keluar dari ‘nasib’ yang sedang melanda dan akan menimpa kami bertiga. Untung tidak begitu lama ada kendaraan lewat yang menuju ke arah Manggarai. Bertiga kami berdiri memandangi dengan penuh harap. Betapa kecewa karena kendaraan yang ternyata sebuah mobil Gaz Komando warna gelap lewat melintasi kami begitu saja. Terdengar jelas hembusan panjang napas keluar dari hidung kami bertiga menandakan sikap pasrah pada situasi yang sedang kami alami. Tetapi tiba-tiba terdengar bunyi berderit gesekan ban mobil dengan aspal jalan. Kemudian kami lihat mobil tadi berhenti sekitar 30 meter dari tempat kami berdiri. Sesaat kemudian mobil tadi mundur kembali kearah kami, dan berhenti tepat di depan kami bertiga. Kami dengar pengemudinya berteriak, “Kadet, kalian mau kemana malam-malam begini?” Kami jawab bahwa kami mau pulang ke asrama KKO Cilandak. Kemudian pengemudi tadi mempersilahkan kami naik. Tanpa menunggu perintah ulangan kami langsung naik ke kabin belakang. Kami lihat disamping pengemudi duduk seorang ibu muda. Dari pembicaraan selama di kendaraan kami tahu bahwa pengemudi tadi adalah seorang perwira menengah TNI-AD berpangkat Mayor bersama isterinya. Menurut ceritanya, beliau tinggal di kawasan Cijantung. Kami hanya bergumam seolah faham apa yang disampaikan, meskipun sebenarnya tidak seorangpun dari kami bertiga yang tahu dimana itu Cijantung. Kami diantarkan sampai ke depan pintu gerbang ksatrian KKO Cilandak.
Pada saat kami melapor ke petugas jaga, aku lihat jam dinding di penjagaan menunjukkan sudah hampir pukul dua malam. Kebetulan Perwira Jaga sudah istirahat. Oleh Bintara jaga kami hanya diminta mencoret nama kami di daftar pesiar, sebagai tanda bahwa kami sudah masuk kembali ke asrama. Alhamdulillah, Tuhan Maha Tahu kami sudah sangat loyo. Bisa dibayangkan seandainya Perwira Jaga mengetahui kami terlambat pulang pesiar, pasti kami diperintahkan berlari untuk mengukur keliling lapangan apel Ksatrian Cilandak beberapa kali putaran.

***
(Copas dari buku "Sosok Seorang MARINIR BANYUMAS", Otobiografi Mayjen TNI (Mar) Sudarsono Kasdi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar